Semenjak reformasi digulirkan pada 1998 yang lalu, hampir tiap tahun kita dihadapkan kepada berbagai bentuk pemilihan umum. Mulai dari pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati-Walikota, bahkan sampai ke tingkat desa. Demikian halnya pada lembaga perwakilan, entah itu DPD, DPR, dan DPRD.
Semua orang ingin menjadi pemimpin. Semua orang merasa berhak untuk menjadi kepala. Baik dari kalangan politikus, birokrat, seniman, artis, saudagar, tokoh masyarakat. Bahkan alim ulama sekalipun. Semuanya berebut mengejar jabatan dan kedudukan tanpa mengenali siapa dirinya, bagaimana kemampuanya, atau kelayakannya.
Sebagian besar hanya memandang prestasi, prestise, mendapatkan fasilitas mewah, gạji besar, wewenang yang luas dan seterusnya. Mereka tidak menyadari bahwa jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan terhadap orang orang yang di pimpinnya.
Sebagai agama yang sempurna, islam tidak hanya membahas tentang ibadah saja. Akan tetapi juga mengatur soal politik, proses politik, dan etika-etika politik. Mulai dari mencari pemimpin sampai apa yang menjadi tanggung jawab pemimpin atas rakyatnya.
Dalam Al-Qur’an, kata pemimpin disebutkan dalam bentuk “ulil amri”, “umarak”“imam”, “auliya”, “khalifah”, dan sebagainya. Lalu siapakah itu pemimpin?
Seorang ahli pendidikan, Ahmad Rusli, mengatakan dalam kertas kerjanya, bahwa pemimpin adalah individu yang diamanahkan memimpin subordinat ke arah mencapai maslahat yang ditetapkan. Artinya, pemimpin adalah pribadi yang memegang kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab. Untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya dalam upaya mencapai kemaslahatan bersama.
Seorang bupati bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat di kabupatennya. Camat bertanggung jawab terhadap rakyat di kecamatannya. Wali Nagari bertanggung jawab terhadap rakyat di nagarinya. Seorang ayah bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Dan seorang pemuda bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Begitulah seterunya.
Sebuah tanggung jawab besar yang harus dipertanggung jawabkan, tidak hanya di dunia, lebih-lebih di akhirat nanti. Harus kita sadari bahwa setiap kita juga adalah pemimpin. Setiap kita juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah berat. Ayah, bertanggung jawab terhadap agama, pendidikan dan sandang-pangan anak-anaknya.
Suami, bertanggung jawab terhadap istrinya. Mamak bertanggung jawab terhadap kemenakannya. Kakak bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita menunaikan tanggung jawab ini? Sudahkah kita menjadi ayah yang baik? Mamak yang baik? Kakak yang baik? Sudahkah orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita, berada pada jalan yang ditetapkan oleh Islam? Sudahkah kita menjadi pemimpin yang baik? Pemimpin yang sesuai dengan tuntunan dan tuntutan Al-Qur’an?
Rasulullah SAW bersabda : “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya.
Prinsip utama dalam kepemimpinan Islam adalah keadilan. Allah mengingatkan kita dalam Surat Al-Maidah ayat 8:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah. Menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Maka sebagai pemimpin dalam status dan kedudukan kita masing-masing, wajib bagi kita untuk berlaku adil. Janganlah karena dorongan cinta dan kasih sayang, lantas kita berlaku zalim. Jangan juga karena rasa tidak suka, rasa benci yang tidak beralasan, kemudian kita berlaku tidak adil.
Suami yang tidak adil akan membuat istrinya durhaka. Orang tua yang tidak adil akan membuat anak-anaknya celaka. Pemuda yang tidak adil akan membuat dirinya sengsara. Pemimpin yang tidak adil, akan membuat rakyatnya murka. Dan hukum yang tidak adil akan membuat negeri jadi neraka.
Pertikaian dan permusuhan yang kita rasakan, sesungguhnya berawal dari rasa keadilan yang ternoda. Kalau istri polisi tidak pakai helm, tidak punya SIM, dibebaskan begitu saja. Jika anak didiknya yang tampil pada sebuah festival, walaupun biasa-biasa saja, akan dimenangkan menjadi juara. Demikian pula, apabila anaknya salah, selalu dibenarkan. Apabila calonnya kalah, dituduh kecurangan. Apabila kawan mendapat promosi, dibilang ambil muka. Begitulah seterusnya.
Kita perlu kembali kepada amalan Qur’an. Marilah kita mulai keadilan ini dari diri pribadi kita. Tanamkan kepada anak-cucu dan kemenakan kita. Jika dalam lingkungan kecil sebuah kepemimpinan kita telah terlatih untuk berbuat adil, menerima perlakuan yang adil, insya Allah, kita akan menjadi orang yang bahagia. Baik di dunia ini, lebih-lebih diakhirat kelak.
Dan menjadi pemimpin kita harus bercermin dan mengambil cara strategi Rasulullah dalam memimpin dan mengemban amanah. Yaitu selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan mengutamakan akhlakulkarimah dalam memimpin. Seperti ini pemimpin yang sesuai dengan konsep Al-Qur`an dan dinanti nantikan oleh masnyarakat. Aamiin ya Rabbal Alamin.
Leave a Reply