Kajian mengenai perkembangan keilmuan tafsir selalu dibumbui dengan ragam peristiwa besar hingga berpengaruh kepada pemikiran seseorang dalam memahami al-Qur’an. Tidak dapat dipungkiri juga tafsir sebagai produk dari pemikiran manusia menghasilkan berbagai interpretasi yang berbeda-beda. Bahkan dari latar belakang tanah kelahirannya saja dapat memberikan corak tafsir yang beragam ditambah dengan perbedaan mazhab, teologi dan lain sebagainya.
Namun, terlepas itu semua itulah yang menjadi warna tersendiri bagi perkembangan tafsir di dunia. Begitu pula dengan salah satu mufasir asal TunisiA yang dikenal dengan Ibnu ‘Arafah. Beliau juga turut berkontribusi dalam menuangkan pemikirannya dalam memahami dan menggali makna al-Qur’an.
Ia memiliki nama lengkap Muhammad bin Muhammad Ibnu ‘Arafah Abu ‘Abdillah al-Warghami al-Tunisi. Tunisia merupakan kota kelahirannya pada tahun 716 H. Beliau merupakan ahli fikih di mazhab Imam Malik sekaligus menjadi pendakwah mazhab Maliki di Masjid Zaitunnah. Masyarakat muslim dari dulu hingga sekarang mengenal beliau dengan nama Ibnu ‘Arafah. (Al-Dzahabi, H. 117)
Dalam rihlahnya, beliau mempelajari ragam cabang ilmu . Dalam ilmu ushul ia belajar dengan Al-Qadhi ibnu ‘Abd al-Salam al-Hawari, ilmu Qira’at dari gurunya Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Salamah al-Anshari. Selain itu, Ibnu ‘Arafah juga belajar secara langsung dengan ayahnya.
Karena begitu banyak cabang ilmu yang beliau selami dan belajar banyak langsung dari pakar yang ditemui, wajar saja Imam ‘Arafah ahli dalam banyak bidang. Hingga pada masanya beliau ditunjuk menjadi rujukan fatwa di Maroko dengan mengajarkan ilmu dan menyampaikan hadis di kalangan bangsawan.
Dikutip dari buku Husein Al-Dzahabi yang berjudul al-Tafsir wa al-Mufassirun, Imam ‘Arafah memiliki begitu banyak karya di berbagai bidang terutama dalam bidang fikih seperti al-Muhktashar al-Kabir fi al-Fiqh, al- Mukhtashar al-Syamil fi al-Masbuth fi al-Fiqh, al–Hudud fi al-Ta’arif al-Fiqhiyyah, al-Thuruq al-Wadhihah fi ‘Amal al-Munashihah, dan Tafsir Ibn ‘Arafah.
Barangkali jika pembaca ingin mencari kitab fikih yang lebih condong ke mazhab Maliki, maka kitab-kitab di atas tadi boleh dijadikan rujukan.
Mengenal Tafsir Ibnu ‘Arafah
Sebenarnya penulis tidak menemukan sumber yang pasti mengenai judul dari tafsirnya beliau. Bahkan dalam buku al-Tafsir wa al-Mufassirun karangan Imam Dzahabi juga tidak ditemukan. Kemungkinan karena tafsir beliau ini berupa kumpulan-kumpulan dari beberapa ceramah beliau dalam suatu majelis ilmu yang ia isi dengan kajian tafsir. Kemudian setiap kajian beliau dikumpulkan oleh murid-muridnya sendiri.
Seperti dari riwayat Al-Busaili, ia adalah Ahmad bin Muhammad Abu al-‘Abbas al-Tunisi. Beliau memiliki dua dokumen yang dia dapatkan dari Ibnu ‘Arafah namun keduanya masih dalam bentuk manuskrip. Dan perlu digarisbawahi bahwa tidak semua isi manuskrip tersebut merupakan ceramah dari Ibnu ‘Arafah.
Di samping itu juga ada riwayat dari al-Ubay, yakni Muhammad bin Khalfah al-Wusytati. Riwayat ini dikatakan yang paling lengkap dari tafsir Ibnu Arafah. Muridnya tersebut mengumpulkan isi kajian dari gurunya hingga menghasilkan beberapa naskah yang paling lengkap. Satu juz dari riwayat tersebut telah dicetak dalam dua jilid. Yakni sampai akhir surah al-Baqarah.
Bentuk Penafsiran Ibnu ‘Arafah
Dari berbagai literatur yang didapatkan secara umum model penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu ‘Arafah ialah membacakan beberapa ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut. Pertama beliau menyampaikan bagaimana pendapat dari beberapa ulama yang ahli qiraat, balaghah, dan nahwu. Setelahnya, ia menjelaskan penakwilan dan ragam pendapat yang berkaitan dengan ayat terssebut. Selain itu juga beliau menambahkan pendapat dari ulama dibidang lain, seperti ushul, fuqaha maupun ahli hadis.
Lebih luar biasanya, beliau juga menyebutkan hal-hal yang terperinci secara kebahasaan, dimulai dari sudut balaghah suatu ayat, syair-syair hingga mengkontekskan ayat-ayat tersebut ke dalam kehidupan sosial. Hal tersebut jarang kita temukan dari kebanyakan ustaz dadakan yang kita temui dimana mereka hanya menyampaikan ayat kemudian membaca terjemahan atau memaknai ayat secara tekstualis.
Dan lebih menariknya lagi ialah, Ibnu ‘Arafah juga memberikan kesempatan kepada para muridnya untuk mendiskusikan secara bersama mengenai kajian tafsir yang dibahas, sehingga majelis yang ia ampu menjadi aktif. Namun di penghujung majelis Ibnu ‘Arafah memberikan pernyataan dan penjelasan yang penuh kerendahan hati dan objektif.
Tanasub dalam Penafsiran Ibnu ‘Arafah
Sengaja penulis hanya membahas mengenai tanasub, karena kajian tersebut cukup menarik dan mendapatkan perhatian Ibnu ‘Arafah. Dalam kasus tanasub al-ayat wa al-suwar (kesesuaian ayat dan surat), beberapa ulama seperti Ibnu al-Khatib menganggap bahwa setiap ayat itu memiliki kesesuaian dengan ayat lain. Namun ada juga yang tidak sepakat, sebut saja al-Zamakhsyari yang menganggap bahwa setiap ayat tidak mesti memiliki kesesuaian dengan ayat lainnya.
Bahkan ada ulama yang tidak segan-segan menolak secara mentah adanya tanasub antar ayat ini. Hal tersebut didasari dengan asumsi bahwa bagaimana jika seandainya ulama mengatakan bahwa adanya kesesuaian antar ayat maupun surah. Namun ditemukan di kasus lain bahwa kesesuaian tersebut tidak ditemukan. Maka menurut mereka al-Qur’an bisa saja dianggap berkurang kemu’jizatannya.
Namun bagi Ibnu ‘Arafah dalam al-Qur’an itu memang ada tanasub antar ayat. Namun tidak semua yang tertuang didalam al-Qur’an memiliki tanasub juga. Hal tersebut dapat kita lihat dari penafsirannya mengenai antara ayat 7 surah al-Baqarah dengan ayat sebelumnya.
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” [Q.S. al-Baqarah: 7]
Pada ayat ke 7 dijelaskan mengenai orang-orang kafir yang telah ditutup hatinya, pendengaran serta pandangannya oleh Allah SWT. Menurut beliau, ayat ini mempunyai kesesuaian dengan ayat sebelumnya, dan menganggap bahwa ayat ini menjadi penyebab atau alasan mengapa ayat sebelum ini ada. Ayat sebelum ini berkaitan mengenai orang-orang kafir yang tidak mau mendengarkan peringatan dari Allah SWT.
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” [Q.S. al-Baqarah: 6]
Disini jelas sekali bahwa pada ayat-6 sesuai dengan ayat 7. Pada ayat ke-7 alasan mengapa ayat ke-6 itu ada. Alasan mengapa orang-orang kafir tidak merespon peringatan dari para Nabi mereka dikarenakan mereka telah ditutup pintu hatinya, pendengarannya dan penglihatannya oleh Allah SWT karena tidak adanya keimanan dari mereka.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply