“(Allah) Yang Maha Pengasih, telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia. Dia mengajarinya pandai menjelaskan. Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan. Tetumbuhan dan pepohonan tunduk (kepada-Nya). Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan), Agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.
Bumi telah Dia bentangkan untuk makhluk(-Nya). Padanya terdapat buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, biji-bijian yang berkulit, dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)?” (Q.S. Ar-Rahman: 1-13)
Tuhan telah menciptakan manusia beserta ruang untuk mereka hidup. Ruang ini telah dibentangkan untuk manusia, berupa langit dan bumi beserta apa yang terkandung di dalamnya. Semua itu diciptakan secara seimbang. Tugas manusia bukan hanya saja memanfaatkan, namun juga menjaga keseimbangan. Tidak merusak, atau sekedar mengurangi keseimbangan tersebut. Untuk itu manusia dibekali Al-Quran sebagai petunjuk dan akal untuk berpikir.
***
Belakangan sedang ramai dibicarakan soal konsensi tambang yang diberikan oleh pemerintah untuk organisasi keagamaan. Ada yang menolak dan menerima, ini hal yang biasa dalam kebijakan publik. Sejauh ini NU dan Muhammadiyah, sebagai dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, telah menerima. Tentu menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat umum ketika organisasi keagamaan diberikan wewenang untuk mengelola tambang. Apakah mereka mampu mengelola tambang dengan baik? Sejauh mana nilai kebermanfaatannya? Atau mungkin menambah daftar panjang konflik agraria yang ada di Indonesia?
Dalam teori sosial, masyarakat memang tidak bisa dilepaskan dengan adanya konflik. Kekuasaan menjadi salah satu sumbernya (Zuber, 2013). Baik kekuasaan politik maupun sumber daya. Mengingat sumber daya yang terbatas diperebutkan untuk menjadi ruang hidup, baik bagi para elit maupun masyarakat bawah. Mereka memiliki karakteristik, idiologi, dan kepentingannya masing-masing.
Namun, secara naluri (Henslin, 2007), mereka yang menang akan berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk dirinya atau kelompoknya sendiri. Cenderung mengabaikan kelompok lain. Ini adalah fakta sosial yang tidak terhindarkan.
Sejauh ini organisasi keagamaan hadir dengan banyak memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat umum. Terutama dalam hal pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan kegiatan sosial. Tentu menjadi tantangan tersendiri ketika mereka menerima untuk mengelola tambang. Apa kira-kira yang akan mereka lakukan? Mengingat nilai konflik dan nilai manfaat dari tambang sama besarnya. Mampukah mereka memberi contoh baik dalam pengelolaan tambang? Tambang yang mampu memberikan nilai manfaat bagi masyarakat umum, bukan hanya untuk kelompok mereka sendiri.
Al-Qur’an sendiri telah mengingatkan kita sebagai manusia untuk tidak hanya memanfaatkan, tapi juga menjaga keseimbangan ciptaan-Nya. Ini adalah soal keberlanjutan ruang hidup. Tidak hanya untuk generasi sekarang, tapi juga untuk generasi selanjutnya. Tambang memang memberikan manfaat yang besar untuk kehidupan kita, seperti menghasilkan listrik dari uap membakaran batu bara (PLTU). Kita sejauh ini masih bergantung padanya. Ini fakta yang tidak terbantahkan. Namun, perlu juga dipikirkan untuk dampak kedepannya.
***
NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang akan mengelola tambang, harus bisa memberikan percontohan baik dalam pengelolaan tambang. Mereka harus berpegang teguh pada Al-Quran, yang berpesan agar tidak hanya memanfaatkan tapi juga menjaga secara adil. Tidak mengurangi sedikitpun nilai-nilai keberlanjutan untuk masa depan.
Dua organisasi keagamaan ini harus lebih dulu melakukan kajian ilmiah terkait ini. Kajian ilmiah yang dilakukan secara profesional dan tidak terburu-buru. Ini diperlukan untuk mengukur kejauhan nilai manfaat, kedalaman nilai konflik, dan keberlanjutan untuk masa depan. Jika tidak ada nilai keberlanjutan mereka harus berani untuk meninjau ulang kembali keputusannya, dan menolak. Mengingat hal dasar yang membedakan kita dengan hewan adalah akal dan budi pekerti (hati).
Kita sebagai manusia, yang diberikan akal dan budi, tidak bisa melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja. Secara ekonomi tambang memang menggiurkan. Namun, perlu juga dilihat dari aspek lingkungan, sosial, budaya, dll. Ini perlu dilakukan agar dampak-dampak buruk dari aktivitas pertambangan bisa diminimalisir. Potensi konflik pasti ada, karena kita makhluk sosial. Untuk itu kita diberikan Al-Quran sebagai petunjuk dan akal untuk berfikir. Kajian mendalam dan tidak terburu-buru atas pengelolaan tambang bisa memperkecil potensi adanya konflik.
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply