Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tamanni dalam Balaghah Al-Qur’an: QS. Al-A’raf 53

tamanni
Sumber: dok. pribadi

Setiap manusia tentunya memiliki angan-angan atau khayalan yang ingin diwujudkan. Munculnya keinginan tersebut biasanya berawal dari sesuatu yang disenanginya. Akan tetapi, tidak semua khayalan tersebut dapat terwujud dan bisa dikatakan mustahil terjadi sebab terdapat kesulitan untuk mencapainya. Tentang adanya kemustahilan akan angan-angan seorang manusia, dalam Al-Qur’an terdapat contohnya yakni QS. al-A’raf [7]: 53 yang akan dibahas dalam artikel ini tentang tamanni.

Pengertian Tamanni

Tamanni dalam ilmu balaghah atau stilistika merupakan bagian dari ilmu ma’ani pada uslub insya’i yang talab. Menurut ‘Ali al-Jarim wa Mustafa Amin, Tamanni yaitu menginginkan sesuatu yang disenangi yang tidak diharapkan terjadi. Entah karena tidak mungkin atau karena mungkin tetapi ada hal yang tidak dipatuhi dalam memperolehnya.

Al-Tamanni adalah mengharapkan sesuatu yang disenangi atau yang diingini. Terdapat kesulitan dalam mewujudkannya karena ketidakmungkinannya atas gambaran orang yang berangan-angan. Perangkat asli dari al-Tamanni. Yakni لُيْتَ (semoga, hendaknya, sekiranya) dan memiliki perangkat yang lain diantaranya هَلْ – لَوْ – لَعَلَّ – عَسَى (apakah – jika – barangkali – semoga). Dan faidah balaghah dari Tamanni dapat terealisasi apabila menggunakan perangkat yang empat di atas (ghairu al-Asliyyah).

Contoh al-Tamanni menggunakan adat هل ada dalam surah al-A’raf ayat 53. Yang berisi tentang orang-orang terdahulu yang tidak percaya terhadap Al-Qur’an dan masih mempercayai ajaran nenek moyang. Di hari kiamat kelak mereka berkhayal akan pertolongan yang didapatkannya. Allah Ta’ala berfirman:

فَهَلْ لَّنَا مِنْ شُفَعَاۤءَ فَيَشْفَعُوْا لَنَآ اَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِيْ كُنَّا نَعْمَلُۗ قَدْ خَسِرُوْٓا اَنْفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ

Artinya: “Maka adakah pemberi syafaat bagi kami yang akan memberikan pertolongan kepada kami atau agar kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami akan beramal tidak seperti perbuatan yang pernah kami lakukan dahulu? Sungguh, mereka telah merugikan diri sendiri dan telah hilang lenyap dari mereka apa pun yang dahulu mereka ada-adakan.”

Baca Juga  Mengenal Ahli Qiraat Masa Awal Menurut Imam adz-Dzahabi

Penafsiran Ayat

Dalam tafsir Kementrian Agama RI pada kalimat sebelumnya dalam ayat ini menerangkan tentang bagaimana keadaan orang-orang yang tidak mau menjadikan Al-Qur’an; sebagai petunjuk dan pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Mereka lebih percaya pada ajaran nenek moyang yang menyesatkan dari pada ajaran yang dibawakan oleh Rasulullah saw yakni Al-Qur’an. Janji dan ancaman Allah akan terbukti di hari kiamat kelak. Yakni orang yang beriman akan mendapatkan kebahagiaan dan sebaliknya, orang yang kafir akan mendapatkan hukuman dan kesengsaraan.

Tibalah hari kiamat itu mereka tidak bisa menghindar dari hukuman. Mereka hanya dapat berangan-angan kalau saja ada pertolongan dari orang atau sesuatu yang pernah diagungkan atau disembah; seperti nenek moyang yang dijadikan sesembahan. Mereka juga berkhayal untuk dikembalikan hidup ke dunia, agar dapat kembali bekerja dan beramal baik sesuai dengan ajaran Allah. Angan-angan seperti ini tidak mungkin terjadi. Sebab mereka tidak bisa kembali lagi ke dunia, karena seluruh alam semesta telah hancur. Karena itu, di akhir ayat ini disebutkan bahwa mereka telah merugi.

Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Mishbah disebutkan bahwa orang-orang kafir itu mengakui bahwa mereka pendosa. Mereka bertanya “apakah ada bagi kami pemberi syafa’at baik dari mereka yang kami andalkan dahulu atau selainnya, agar kami terhindar dari siksa. Atau dapatkah kami dikembalikan ke dunia lagi untuk beramal shaleh; sebagaimana tuntunan para rasul yang berbeda dengan perbuatan buruk yang pernah kami lakukan?” Tentunya hal tersebut hanyalah angan-angan mereka saja yang tidak akan pernah terwujud. Merujuk pada penafsiran QS. al-Baqarah [2]: 48, Quraish Shihab telah mengemukakan bahwa tidak semua orang mampu meraih apa yang ia harapkan.

Baca Juga  Review Buku: Fahmi Salim dan Penolakan yang Bernuansa Hermeneutis

Penjelasan Tamanni

Pada dasarnya هَلْ merupakan adat istifham yang asli, tetapi dapat berubah dari makna aslinya seperti digunakan pada al-Tamanni dalam beberapa uslub. Pada ayat di atas menggunakan هَلْ sebagai al-Tamanni karena sesungguhnya hal itu tidak dapat terjadi. Namun, intensitas hubungan antara keinginan dan harapan itu membuat mutamanni (pengharap) berilusi atas kemungkinan terjadinya; maksud mutamanni di sini adalah orang kafir.

Dalam tafsir al-Qurtubi dikatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat istifham (pertanyaan) yang di dalamnya terkandung makna pengharapan. Dan lafaz فَيَشْفَعُوْا sebagai nas}ab yang berfungsi sebagai jawaban atas istifham pada kalimat sebelumnya. Sedangkan dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanzil, lafaz هَلْ merupakan istifham yang boleh digunakan dalam berharap (al-Tamanni). Dan seperti penjelasan al-Qurtubi, lafaz فَيَشْفَعُوْا di-nas}ab-kan atas jawaban istifham atau al-Tamanni tersebut.

Maka dengan adanya orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Al-Qur’an yang kemudian pasti mendapat hukuman dan dalam kesengsaraan, mereka hanya bisa berangan-angan tentang pertolongan yang membantunya dari siksaan. Demkian sebagai bukti atas ketidak kemungkinan terkabulnya suatu permintaan (al-Tamanni) yang dibuktikan oleh Allah dalam ayat di atas.