Ilmu Tafsir menjadi salah satu keilmuan dalam Studi Qur’an yang senantiasa berkembang. Penafsiran al-Qur’an telah diawali sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw sampai hari ini. Banyak karya berkenaan dengan penafsiran al-Qur’an dengan berbagai metode yang telah dihasilkan para Ulama. Ibnu ‘Abbas, Imam ath-Thabari, Ibnu Katsir, Jalaluddin as-Suyuti, Jalaluddin al-Mahalli, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Wahbah al-Zuhaili, Sayyid Quthub dan masih banyak lagi selainnya merupakan nama-nama Ulama yang terkenal dalam Ilmu Tafsir bahkan karya mereka masih menjadi rujukan utama dalam kajian Qur’an kekinian. Tidak hanya datang dari Tanah Arab, ulama Tafsir pun hadir dari Indonesia, sebut saja Abdurrauf as-Singkili, Syekh Nawawi al-Bantani, Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Mahmud Yunus, Buya Hamka dan Quraish Shihab menjadi Ulama tafsir terkenal dari dalam negeri.
Indonesia dan Penafsiran al-Qur’an
Islam hadir di Indonesia sudah pasti tidak dapat terpisahkan dari sumber utamanya yakni al-Qur’an. Menurut Nurdin Zuhdi bahwa pengkajian al-Qur’an telah hadir sejak abad ke-17 di Indonesia, dimana al-Qur’an diajarkan di masjid, surau, langar, madrasah bahkan juga di rumah. (Pasaraya Tafsir Indonesia, 45). Hingga senantiasa berkembang yang pada akhirnya kita mengenal dan akrab dengan ulama-ulama Tafsir Indonesia beserta karyanya. Sehingga Indonesia tidak hanyak dikenal dengan penduduk Islam terbesar tetapi juga mampu melahirkan ulama dan karya dalam bidang penafsiran al-Qur’an.
Berangkat dari banyaknya minat terhadap pengkajian tafsir al-Qur’an, sehingga menghadirkan nuansa baru dalam proses penyusunan dan metode penyajiannya. Di Indonesia itu sendiri memiliki dua haluan besar gaya penyusunan tafsir, yakni secara perseorangan dan secara kolektif yang dibentuk timnya secara khusus, inilah yang menurut Islah Gusmian disebut sebagai sifat mufasir. (Khazanah Tafsir Indonesia, 176). Oleh karena itu, dapat kita temukan tafsir yang disusun oleh Lembaga seperti yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia dalam hal ini timnya dibentuk oleh Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an. Bahkan belakangan ini, salah satu organisasi kemasyarakatan di Indonesia yang juga memiliki kajian primer pada bidang dakwah yakni Muhammadiyah melahirkan sebuah karya tafsir kolektif dengan nama Tafsir at-Tanwir.
Tawaran dari Tafsir at-Tanwir ?
Selayaknya sebuah karya yang baru hadir tentu membawa sebuah terobosan atau gagasan baru. Karena tafsir itu sendiri merupakan ilmu yang sangat dinamis serta senantiasa berkembang mengikuti zaman. Tafsir at-Tanwir terbit pertama kali pada bulan Mei tahun 2016. Dalam kata sambutan Haedar Nashir yang terdapat dalam kitab ini dinyatakan bahwa; “Kehadiran Tafsir at-Tanwir diperuntukkan guna memperkaya khazanah penafsiran al-Qur’an yang lebih komprehensif dalam rangka membangun peradaban utama”. (Tafsir at-Tanwir, xiii). Sedangkan dalam hasil wawancaranya yang dimuat di republika.co.id, Yunahar Ilyas mengatakan “Kelak tafsir ini (Tafsir at-Tanwir) akan menghadirkan sesuatu yang berbeda dengan tidak melakukan pengulangan dari kitab tafsir yang sudah ada sebelumnya. Beliau menegaskan bahwa tafsir ini harus mencerahkan”.
Salah satu gagasan ‘baru’ yang diusung dalam Tafsir at-Tanwir adalah metode penyajian tafsirnya. Tim Penyusun menyebut metodenya dengan istilah Tahlīlī Cum Mauḍū’i. Metode ini sendiri mencoba menggabungkan dua metode dalam satu penyajian, yakni analisis dan tematik. Dimana tafsir ini akan disusun sesuai urutan mushaf kemudian dikelompokkan dalam berbagai tema. Hal ini juga disandarkan pada gagasan bahwa tafsir ini memberikan porsi terhadap riwayah dan dirayah. Kemudian, Ustadi Hamsah menambahkan alasan dari penamaan metode ini karena Tafsir at-Tanwir tidak menggunakan tahlīlī secara 100% dan tidak juga mauḍū’i 100 persen. Oleh karenanya metodenya digabungkan sehingga menghasilkan istilah baru dalam penyajian tafsir sebagaimana yang dimaksud.
***
Wujud implementasi penerapan gagasan metode penyajian tafsir ini dapat dilihat salah satunya dalam Tafsir at-Tanwir Juz 1 yang telah dibuat oleh Tim Penyusun. Sebagaimana metode penyajian tahlīlī pada umumnya melakukan penafsiran al-Qur’an berdasarkan urutan surah. Dalam penyajian pada jilid pertama ini, termuat penafsiran Qs. Al-Fatihah dan sebagian Qs. Al-Baqarah yakni ayat 1 – 141. Namun, sebagaimana gambaran penerapannya kita melihat penafsiran surah al-Fatihah. Dalam menafsirkan surah ini secara keseluruhan berjumlah 84 halaman, yang diawali dengan menjelaskan kedudukan surah al-Fatihah. Kemudian dalam al-Fatihah itu terdapat dua tema besar yaitu ‘Pandangan Hidup’ dan ‘Jalan Hidup’ sebagai inti al-Qur’an. Penjelasan selanjutnya bagi tim penyusun bahwa al-Fatihah memberikan uraian cara bagi manusia untuk memperkuat kesadaran keimanan pada Allah Swt. Terakhir, uraian makna al-Fatihah membangun komitmen seorang hamba dalam mengabdi (Tafsir at-Tanwir, 82-83).
Sebagai sebuah karya tafsir yang disusun secara kolektif, tafsir at-Tanwir membutuhkan waktu yang lama dalam penyusunannya, karena Juz 1 tafsir ini terbit pada tahun 2016 sedangkan Juz 2 nya baru launching kembali pada tahun 2022 yang lalu. Wallahu a’lam.
Leave a Reply