Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Tematis: Matahari Sebagai Dhiya’ Dan Bulan Sebagai Nur

matahari
Sumber: Okezone Techno.com

Al-Qur’an memandang alam bukanlah hal yang bermakna kecuali apabila ia dapat membantu  manusia dalam memahami dan mendekatkan diri pada sang pencipta. Matahari dan bulan merupakan benda-benda langit yang memiliki keunikan dan kebermanfaatan yang sangat luar biasa bagi kehidupan di dunia.Matahari di dalam Al-Qur’an disebut dengan kata asy-Syam, yang disimbolkan sebagai dhiya’ dan siraj. Keduanya memiliki makna yang sama yaitu sama-sama menjelaskan bahwa sumber energi matahari berasal dari dirinya sendiri dan sinar yang muncul dari matahari ini berfungsi sebagai penerang kegelapan. Sedangkan bulan disimbolkan sebagai nur yang memiliki makna bahwa sumber cahayanya berasal dari pantulan matahari. Untuk itu, penulis ingin mengkaji mengenai matahari sebagai dhiya’ dan bulan sebagai nur.

Lafal Dhiya’ Dan Nur Dalam Kajian Bahasa Arab

Matahari dalam Kamus Al-Azhar Indonesia-Arab disebut dengan asy-Syam. Matahari juga disimbolkan sebagai siraj, yang berarti sebuah obor atau sebagai wahhaaj yang berarti lampu yang bersinar terang atau sebagai dhiya’ yang berarti sinar kemuliaan. Ketiganya cocok untuk menggambarkan matahari, karena ketiganya menghasilkan cahaya sendiri.

Sedangkan dalam Kamus al-Munawwir Indonesia-Arab bulan disebut dengan qamar, yang disimbolkan dengan lafal muniir, yang berarti badan yang memberi cahaya (nur). Sedangkan lafal nur bermakna cahaya, yang dalam KBBI cahaya diartikan sebagai sinar atau terang. Al-Qur’an juga menyebut cahaya dengan lafal dhiya’ atau dengan lafalmuniir,akan tetapi kata tersebut hanya untuk mensifati benda langit saja.

Lafal nur yang disebut dalam Al-Qur’an selalu dalam bentuk mufrad (tunggal), hal ini berbeda dengan lawan katanya yaitu zhulumat yang selalu berbentuk jamak. Ini dikarenakan bahwa sumber suatu cahaya hanya satu, yakni dari Allah SWT sedangkan kegelapan mempunyai berbagai sumber yang beraneka ragam.

Baca Juga  Komparasi Tafsir Syi’ah: Tafsir Al-Qummi dan Tafsir Majma’ al-Bayan

Kajian Matahari Sebagai Dhiya’ Dan Bulan sebagai Nur Dalam Al-Qur’an

Lafal nur yang berarti cahaya dalam Al-Qur’an terdapat 43 lafal, dengan berbagai derivasinya terdapat dalam 49 lafal, 39 ayat, dan 23 surah yang berbeda. Pada Mu’jam al-Mufaras lafal dhiya’ disebutkan sebanyak 3 kaliyang berarti sinar kemuliaan, sedangkan lafalsiraj di dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 4 kali yang bermaknasebuah obor. Dan Allah SWT berfirman dalam beberapa ayat:

وَّ جَعَلْنَا سِرَاجًا وّهَّاجًا ۖ (13) 

Dan Kami menjadikan pelita yang terang-benderang (matahari)” (an-Naba’ {78}:13)

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَّا لْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗمَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَ ۗ مَاخَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَـقِّ ۚ يُفَصِّلُالْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ (5)

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui“(Yunus {10}: 5)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan matahari sebagai dhiya’ yang artinya sinar yang terpancar darinya yang sangat menyilaukan mata. Matahari dengan sinarnya merupakan sumber kehidupan, sumber panas dan sumber tenaga yang dapat menggerakkan makhluk-makhluk Allah SWT yang diciptakan-Nya.

وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا ۙ وَّجَعَلَالشَّمْسَسِرَاجًا (16)

Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)?“(Nuh {71}: 16).

Pada Tafsir Misbah, Quraish Shihab menafsirkan bahwa Allah SWT menjadikan surya pelita pada ayat tersebut setelah sebelumnya menyatakan bahwa dia menjadikan bulan sebagai nur mengisyaratkan bahwa terdapat perbedaan antara keduanya. Matahari dijadikan sebagai pelita artinya sumber cahayanya berasal dari dirinya sendiri sedangkan bulan disebut sebagai nur(cahaya) karena bulan tidak dapat memantulkan cahayanya sendiri.

Baca Juga  Man Rabbuka: Teolog, Filosof dan Ilmuwan Beda Jawaban

Sedangkan pada Tafsir Al-Azhar, Hamka menafsirkan bahwa menurut keterangan para ahli, bulan tidaklah memancarkan cahaya dengan sendirinya. Bulan itu pada asalnya adalah gelap. Oleh karena pantulan sinar matahari barulah bulan nampak seakan-akan memantulkan cahaya. Laksana rumah beratap seng di tepi bukit yang jauh kelihatan di tengah hari memancarkan sinar. Padahal itu bukan sinar atap rumah, melainkan sinar surya yang memantul kepadanya. Dalam ayat ini tidaklah dijelaskan secara terperinci bahwa bulan itu tidaklah memancarkan cahaya sendiri, melainkan mengeluarkan sebagai kilatan dari pantulan cahaya matahari.

Setelah Tuhan menerangkanlangit yang tujuh susun, disabdakan-Nya pula bahwa bulan bercahaya  fi hinna, artinya pada semuanya. Pada semua langit yang tujuh susun  itu. Ungkapan ini pun mengambil kesadaran dan perhatian dari manusia yang menengadah pada langit. Mereka tidaklah melihat dan menyaksikan langit tujuh susun. Manusia hanya melihat atau menengadah ke atas, dilihatnya langit karena jauh dan tidak kelihatan di mana ujung penglihatan, yang kelihatan oleh manusia hanyalah bahwa bila hari terang bulan, seluruh langit yang kelihatan olehnya terpengaruh juga oleh cahaya bulan tersebut. Bintang-bintang tidak semua kelihatan. Sebab cahayanya telah dipudarkan oleh cahaya bulan, sehingga seakan-seakan seluruh langitlah yang diliputi oleh keindahan dan kemesraan cahaya bulan.

Kemudian apakah maksud dari “Matahari sebagai pelita?” bukankah cahaya pelita tidak seterang cahaya bulan?. Padahal dikatakan bahwa cahaya bulan adalah pantulan cahaya matahari.

Dan maksud dari “matahari sebagai pelita”, bukan dari segi cahayanya. Melainkan dari segi dirinya sendiri. Bukankah pelita memancarkan sinar dari dalam dirinya sendiri, karena minyak yang diisikan kedalamnya. Jika minyak itu habis, maka cahaya tersebut akan hilang. Dan selama minyak itu masih ada, maka cahayanya pun masih keluar. Demikianlah matahari, sinar atau cahayanya datang dari dalam dirinya. Sebab zat pembakar yang ada dalam tubuh matahari itu tidak kering-kering, tidak habis-habis, dan tidak pula didatangkan dari luar. Sungguh matahari adalah salah satu diantara beribu-ribu keajaiban dari ketentuan Ilahi yang sangat menakjubkan manusia yang suka berfikir.  

Baca Juga  Kompleksitas Latar Belakang Terbentuknya Kitab Tafsir Indonesia

Editor: An-Najmi