Manusia mendapatkan mandat yang istimewa di sisi Allah. Keistimewaan itu salah satunya karena ada potensi besar untuk berpikir, memahami dan merenungi apa yang terjadi dalam kehidupannya. Bahkan dengan pikirannya ia mampu untuk menciptakan pengetahuan, peradaban dan kebudayaan yang itu semua hanya bisa dilakukan oleh manusia. Kemampuan ini pula, alasan manusia dinyatakan oleh Allah sebagai ahsani taqwiim (makhluk sempurna).
Akal Sebagai Keistimewaan Manusia
Atas peran dan kemampuan akal pada manusia, Tuhan menyebutkannya sebagai ulul albaab. Sebagaimana penegasan pada Q.S. Ali Imran 190-191: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal . (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS Ali ‘Imran 190-191).
Ayat ini bentuk dorongan kepada manusia untuk mengoptimalkan dan mengasah akal pikirannya agar memahami alam semesta. Tuhan ingin menegaskan bahwa merenungi dan mampu mengambil pelajaran dari setiap peristiwa semesta bagian dari cara mendekati dan mengingat-Ku. Pandangan ini diperkuat dengan membaca peristiwa munculnya (asbab nuzul) ayat ini yang penulis kutip pada kitab Zamakhsyari (baca: Tafsir al-Kasysyaf).
Suatu waktu Ibn ‘Umar pernah bertanya kepada Aisyah perihal apa kesan yang paling menakjubkan dari Nabi, tetiba Aisyah meneteskan air mata mendengar pertanyaan tersebut. Tapi Aisyah berusaha menjawabnya, bahwa apa yang ada pada Nabi semuanya sangat berkesan.
Aisyah pun menceritakan suatu malam Nabi Saw. satu selimut denganku. Lalu Nabi bertanya, apakah engkau mengizinkan aku untuk beribadah pada Tuhanku? Dengan senang hati Aisyah menjawab aku rela dan sangat senang dengan keinginanmu. Silahkan wahai baginda Nabi.
Berpikir dan Mengambil Pelajaran
Singkat cerita, Nabi segera berwudhu untuk sholat di masjid. Dalam shalatnya Nabi Saw. membacakan satu ayat hingga dalam setiap gerakan shalatnya, kerap meneteskan air mata yang membasahi jenggotnya. Bahkan ke tempat sujudnya. Saking lamanya itu berlangsung sampai masuk waktu subuh. Alhasil Bilal pun datang untuk mengumandangkan adzan. Ia mendapati Nabi Saw. menangis.
Dengan penasaran ia bertanya, “Mengapa engkau wahai Nabi menangis padahal dosamu telah dijamin diampuni oleh Allah?”, tanya Bilal. “Wahai Bilal aku tak bisa menahan tangisanku sebab malam ini aku menerima wahyu Allah tentang peciptaan langit dan bumi sebagai tanda orang-orang berpikir (seperti ayat di atas sebelumnya)”. Bahkan Nabi menegaskan pada Bilal sungguhnya merugilah yang hanya membaca ayat ini, tapi lupa mengambil pelajaran dan memikirkannya.
Peristiwa yang dialami Nabi adalah satu dalil yang menunjukkan ruang kebebasan untuk memikirkan ciptaan-Nya, melahirkan satu gagasan, ilmu pengetahuan dan peradaban. Bayangkan saja Nabi meneteskan air mata betapa besarnya potensi pada diri manusia yang harus dimanfaatkan untuk memahami alam semesta. Tapi satu catatan penting dalam ayat ini, orang yang berpikir dan menggunakan akalnya disebut ulul albaab. Dan di antara dicirinya ialah terbiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun (yadzkuruuna Allah qiyaaman, wa qu’uudan wa a’laa junuubihim).
Menurut Quraish Shihab, ulul albaab adalah orang yang terus mengingat Allah baik laki-laki atau perempuan dengan ucapan, perilaku atau hatinya pada seluruh situasi dan kondisi. Kala ia beraktivitas, pada kondisi mana pun ia memikirkan tentang ciptaan Allah. Karena itu, proses berpikir manusia, tak bisa dengan menafikan dengan zikir. Atau dengan kata lain berpikir tak cukup sebagai ulul albab jika tak dilandasi dengan zikir. Singkatnya zikir harus beriringan dengan berpikir.
Antara Zikir dan Pikir
Mengapa mengingat Tuhan (yadzkuruuna Allaah) mesti berbarengan dengan berpikir (yatafakkaruuna)? Menurut Imam al-Alusi dalam Tafsir al-Ma’aani, keutamaan berpikir dibagi dalam dua hal. Pertama, berpikir dan menggunakan akal dengan sebaik-baiknya adalah cara yang bisa menyambungkan sampai kepada Allah. Sedangkan ibadah adalah cara manusia untuk mendapatkan pahala. Sudah barang tentu, yang bisa menyambungkan kepada Allah dan selainnya pasti itu jauh lebih baik.
Kedua, bentuk perenungan dan penghayatan manusia (tafakkur), bagi Al Alusi, dianggap sebagai amalan hati (amalun al qalbi). Sedangkan ketaatan adalah amalan anggota tubuh. Nah ibadah hati jauh lebih mulia ketimbang ibadah jasmani. Pandangan al-Alusi ini adalah tafsiran terhadap hadis berpikir sesaat lebih baik dari pada beribadah enam puluh tahun.
Alhasil, dzikir dan proses berpikir merupakan satu cara mempertegas diri sebagai hamba yang mampu melahirkan peradaban dan pengetahuan pada alam semesta. Dan semua proses berpikir demikian sejalan dengan nafas awal peneguhan Islam dipundak Nabi, yaitu iqra’ bismirabbik (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu).
Editor: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply