Ulama sebagaimana umumnya dipahami adalah pembawa estafet kenabian (waratsatu al anbiyaa). Apa yang disebut pewaris adalah orang yang berhak mendapatkan dan melanjutkan warisan tersebut. Nabi Saw. adalah lentera kehidupan di balik bayang gelap hidup manusia, membawa risalah Tuhan untuk mengajak pada tauhid, memberi penghormatan pada kemanusiaan dan sebagai referensi beragama.
Menjadi ulama bukanlah perkara mudah. Di sana ada suara Nabi dan wahyu Allah yang harus diantar dalam sendi kehidupan manusia. Menjadi ulama berarti mengembang jejak perjuangan Nabi dan kalam Tuhan. Karena itu, ulama bukan sebagai profesi atau jabatan, tapi ia seleksi alam bagi mereka yang bisa menyambungkan risalah Nabi dengan kehidupan manusia.
Femonema Meng-ulama-kan
Problemnya, meng-ulama-kan yang bukan ulama menjadi sesuatu yang mudah di masyarakat bahkan yang semestinya di-ulama-kan justru tak dianggap ulama. Konon, Gus Dur pernah menyampaikan akan datang masa yang bukan ulama/ustadz menjadi ulama di mata ummat. Ungkapan ini, agaknya sudah terjadi di masyarakat dengan biasnya makna ulama.
Dampaknya, suara risalah kenabian tak lagi terdengar sebagaima mestinya. Sebab yang tak semestinya dan hakikatnya ulama seolah menjadi wakil ummat dan mewakili suara kenabian. Dalam al-Qur’an setidaknya pada QS Fathir 28 dijelaskan hakikat ulama:
“Demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan ternak ada yang bermacam macam warnanya (dan sejenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Allah memberi keyword bahwa di antara hamba yang punya rasa takut kepada Allah adalah ulama. Ini menjadi penegasan bahwa rasa takut yang tinggi adalah ciri utama sebagai ulama. Menurut Raghib al-Asfahani rasa takut (khasyah) yaitu rasa takut pada sesuatu dilandasi sikap mengagungkan. Makna ini memberi isyarat takutnya ulama kepada Allah disebabkan adanya rasa pengaguman terhadap Allah.
Imam ar-Razi memberi penekanan bahwa orang yang alim, ia akan tahu hakikat dirinya dengan Allah yang menyebabkan ia semakin tinggi rasa takut dan harapannya kepada Allah. Ciri ulama ini sebagai penegasan bahwa posisi ulama lebih tinggi derajatnya di sisi Tuhan ketimbang ahli ibadah saja (anna al-‘aalim a’laa darajatan min al ‘aabid).
Kemuliaan itu disebabkan bukan hanya karena dia punya ilmu, tapi karena ilmunya yang mengantarkan ia menjadi tinggi rasa takut dan kerendahan hatinya. Mengutip ungkapan Zamakshyari, siapa saja yang diberikan dan ditambahkan ilmunya bertambah pula rasa takutnya.
Hakikat Ulama
Mengapa rasa takut menjadi ciri utama sebagai ulama? Menurut Ibn Ajibah karena ulama-lah yang senantiasa mencoba merenungkan segala ke-Maha Kuasa-Nya. Atas perenungan itu ia semakin memahami tak ada yang lebih besar dari segalanya kecuali Allah. Sehingga tak ada ruang bagi dirinya untuk menyombongkan diri.
Penafsiran ini sejatinya mempertegas bahwa ulama itu mereka yang dengan ilmunya menjadi lebih takut. Takut untuk merasa diri paling benar atas pemahamannya, takut merendahkan yang berbeda denganya, takut untuk tidak mengamalkan apa yang dia pahami dan sebagainya.
Singkatnya, hakikat ulama adalah jika ia melahirkan akhlak yang baik bagi dirinya. Atas alasan itu pula, Imam al-Ghazali memberi nasihat jika ingin mencari seorang guru, carilah guru yang menjadikan akhlak sebagai pegangan hidupnya. Artinya hakikat ulama menuntun kepada jalan kedamaian, mengajarkan penghormatan kepada manusia dan takut untuk merusak nilai kemanusiaan.
Sebab kata al-Qurthubi tidaklah dianggap sebagai orang alim/ulama jika ia tak memiliki khasyah (rasa takut) yang kuat dalam dirinya.
Tidak Semua Alim Itu Ulama
Dari pandangan ini, penulis dapat menarik benang merah bahwa hakikat ulama adalah mereka yang bisa memainkan peran akalnya untuk memikirkan atau merenungi dengan dorongan spiritual-batin yang semakin tajam dan bersih. Artinya ulama adalah buah dari ia menjadi orang yang arif. Menurut Nasaruddin Umar, orang yang arif ialah orang yang alim, tapi orang yang alim belum tentu arif.
Sebuah pegangan bagi kita bahwa orang yang berilmu atau ulama adalah mereka yang sudah selesai dengan persoalan batin-spritualnya. Ilmunya menjadikan ia semakin rendah hati, meneduhkan ummat dan melihat perbedaan dengan kaca mata kasih-sayang. Ibn ‘Ubbad, seorang tokoh sufi mengakatakan bahwa hakikat ilmu melahirkan rasa takut, sikap rendah hati dan berakhlak dengan akhlak iman.
Dengan kata lain, kurang tepat menganggap sebagai ulama apalagi menjadikan referensi dalam beragama jika pemahaman agamanya membawa kita pada kejumudan, tak terbuka dengan ruang perbedaan terlebih merasa pemahaman keagamannya paling benar.
Editor: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply