Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Surah Hud Ayat 61: Menyelami Ekoteosentrisme

lingkungan
Sumber: Pixabay.com

Surah Hud diturunkan di Mekkah setelah surah Yunus terdiri dari 123 ayat. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang bermakna jelas (muhkam) dan bermakna tidak jelas (mutasyabihat). Diberi nama surah Hud karena mengemukakan tentang keimanan, hukum, dan kisah Nabi Hud AS beserta nabi-nabi yang lainnya.

Problematika ekoteologi hendaknya dapat ditelaah secara komprehensif. Sehingga, manusia dapat memahami akan kesatuannya dengan lingkungan alam. Karena alam raya ini merupakan manifestasi keindahan Allah Swt.

Ekoteosentrisme sudah sering ditelaah para ilmuan dan ulama. Kesadaran seperti ini merupakan hal esensial demi terciptanya efektifitas kehidupan. Karena, jargon lumrah “hidup sederhana dan cintailah alam” hanya dijadikan sebagai formalitas belaka.

***

Dewasa ini, ambisi manusia menegasikan keindahan alam raya. Masih maraknya penebangan pohon secara liar, dan perusakan area resapan air. Hingga eksistensi manusia sebagai Khalifah di muka bumi menjadi tidak berarti. Manusia hendaknya menjadi inisiator kebaikan di dunia dan untuk keabadian.

Di dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Tematik karya Kemenag RI dijelaskan bahwa norma-norma yang tertanam di dalam Islam tidak akan terlepas dari tujuan yang mulia. Hal tersebut ialah; hifzuddin (memelihara agama), hifzun nafs (memelihara jiwa), hifzun nashl (memelihara keturunan), hifzul aqli (memelihara akal), hifzul mal (memelihara harta), dan hifzul bi’ah (memelihara alam).

Kekokohan hubungan antara manusia dan lingkungan alam akan melahirkan limpahan kebaikan, baik untuk manusia atau lingkungan alam itu sendiri. Di dalam buku Hukum Tata Lingkungan karya Koesnadi seorang pakar hukum lingkungan menjelaskan bahwa baik makhluk atau pun benda mati yang ada di alam jagad raya ini memiliki relasi erat dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Manusia sebagai Khalifah

Manusia memiliki peran istimewa di muka bumi ini. Secara ekologis manusia mempunyai tujuan yang utama, yakni menjadi bagian dari lingkungan alam. Lalu, secara teologis, manusia pun mengemban amanah akhlak sebagai perwujudan manusia mulia di muka bumi sebagai khalifah. Menyeimbangkan etika ekologis dan teologis sebagai kunci perdamaian antara manusia dan alam.

Baca Juga  Surat Hud Ayat 7: Fenomena Proses Penciptaan Alam Semesta

Allah berfirman di dalam surah al-Baqarah Ayat 30:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٣٠

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Di dalam kitab Tafsir Al Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab, dijelaskan bahwa Khalifah pada ayat ini diartikan sebagai yang menggantikan. Yakni “menggantikan Allah” dalam menegakkan segala kehendak dan yang menjadi ketetapan-Nya. Ayat ini menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri atas kewajiban yang dianugerahkan oleh-Nya, makhluk yang diberikan tugas, dan teritori tempat bertugas (bumi).

Lalu, Muhammad Quraish Shihab mengungkapkan bahwa kekhalifahan memiliki tiga unsur. Pertama, manusia yang dalam hal ini diberi nama khalifah. Kedua, lingkungan alam. Tiga, relasi manusia dengan lingkungan alam. Relasi manusia dan lingkungan alam adalah hubungan sebagai pemelihara yang saling membutuhkan antara satu sama lain.

Kemudian, di dalam kitab Tafsir Al Jawahir Fi At Tafsir Al Qur’an Al Karim karya Tanthawi Jauhari, dijelaskan bahwa manusia itu setara dengan lingkungan alam. Manusia memiliki potensi yang besar untuk berperan atas lingkungan alam. Potensi yang dimaksud ialah potensi positif yang melahirkan spirit dalam melestarikan lingkungan alam. Bukan, potensi negatif yang malah melahirkan kerusakan.

Manusia sebagai Pemelihara Alam

Semesta alam merupakan ciptaan Allah SWT yang sangat indah. Ia menjadikan alam dapat ditaklukan oleh manusia agar manusia dapat mengelola alam dengan baik. Keberadaan manusia adalah suatu hal penting dan strategis dalam memelihara keseimbangan alam.

Baca Juga  Rusaknya Agama Seiring Rusaknya Lingkungan

Allah SWT berfirman di dalam surah Hud ayat 61:

وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ ٦١

Artinya: “Dan kepada kaum samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”

Asbabun nuzul dari surah Hud ayat ini ialah mengenai kisah kaum Tsamud. Mereka menukil hikmah berharga dari pengalaman buruk kaum ‘Ad, sehingga beriman kepada Allah Swt. Alhasil, mereka berhasil membangun peradaban yang elite.

Namun, ternyata keberhasilan itu menjadikannya lalai, tidak memperdulikan lingkungan dan kembali menyembah berhala. Allah mengutus Nabi Shaleh Alaihissalam untuk mengingatkan mereka, akan tetapi kaum Tsamud mengabaikan hal tersebut. Sehingga, pada akhirnya Allah menghukum mereka. Pada ayat ini terdapat perintah terhadap manusia untuk memelihara lingkungan alam dalam perannya sebagai khalifah, menjadikannya sebagai alasan kuat manusia harus menyembah Allah Swt. semata.

***

Di dalam kitab Tafsir Al Jawahir Fi At Tafsir Al Qur’an Al Karim karya Tanthawi Jauhari, dijelaskan bahwa ayat ini menjelaskan keberadaan manusia sebagai pemelihara lingkungan alam. Kalimat ”Wasta’marakum fiihaa” menurut pendapat Tanthawi adalah bahwa manusia merupakan pemelihara muka bumi (alam), lalu Allah SWT telah menakdirkan manusia untuk mengelola segala hal yang ada di muka bumi dengan sebaik-baiknya.

Kemudian, di dalam kitab Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, dipaparkan bahwa manusia menjadi inisiator kebaikan sekaligus pemelihara lingkungan alam. Lewat kedekatan dengan-Nyalah semua itu dapat diperoleh oleh setiap hamba terbaik yang menjadi pilihan-Nya. Makna ayat ini selaras dengan firman-Nya yang lain, yakni surah al-Baqarah Ayat 186:

Baca Juga  Sumbangsi Besar Al-Quran Terhadap Perkembangan Sains Modern

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ ١٨٦

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.”

Tugas manusia sebagai Khalifah adalah memelihara lingkungan alam. Menggenggam erat kesejukan dan keindahannya di dalam lubuk hati. Dengan alam, kita mengerti tentang arti kasih sayang Ilahi. Karena alam, kita menikmati anugerah Allah Yang Maha Suci. Wallahu a’lam.

Editor: An-Najmi Fikri R