سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ – ١
“Maha Suci Dia, yang telah memperjalankan hambaNya di malam hari dari Masjidil-Haram ke Masjid al-Aqsha, yang Kami berkati sekelilingnya,karena hendak Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (ayat 1)
Ayat ini menegaskan bahwa Tuhan Allah memang telah mengisra’kan, memperjalankan di waktu malam, akan hamba-Nya Muhammad s.a.w. dari Masjidil-Haram, yakni Makkah Al-Mukarramah, ke Masjid al-Aqsha, di Palestina. Al-Aqsha, artinya yang jauh. Perjalanan biasa dengan kaki atau unta dari Makkah ke Palestina itu ialah 40 hari. Di dalam ayat ini sudah bertemu susunan kata yang menunjukkan kesungguhan hal ini terjadi. Pertama dimulai dengan mengemukakan kemahasucian Allah; bahwasanya apa yang diperbuatnya
Maha Tinggi dari kekuatan alam. Maha Suci Dia; yang membelah laut untuk Musa, menghamilkan Maryam dan melahirkan Isa tidak karena persetubuhan dengan laki-laki. Sekarang Maha Suci Dia, yang memperjalankan Muhammad ke Masjid jauh di malam hari. Kata penegas yang ketiga di ayat ini
ialah menyebut Muhammad s.a.w. hambaNya. HambaNya yang boleh diperbuatNya
menurut apa yang dikehendakiNya.
Maka jika dibaca ayat ini dengan renungan mendalam, memang jarang biasa terjadi. Tetapi tidak mustahil bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Yang Maha Suci dan Maha Agung, terhadap hamba-Nya yang telah dipilih-Nya. Di dalam ayat pun disebut bahwa Masjid al-Aqsha itu adalah tempat yang telah diberkati sekelilingnya. Karena di situlah Nabi-nabi dan Rasul-rasul, berpuluh banyaknya, sejak Musa a.s. sampai Daud dan Sulaiman telah menyampaikan wahyu Tuhan. Ke situlah Nabi Muhammad s.a.w. terlebih dahulu dibawa, lalu dipertemukan dengan arwah mereka itu sebelum beliau dimi’rajkan, diangkatkan ke langit.
Perbedaan Pendapat Tentang yang Diperjalankan
Allamah as-Sa’diy pada kitabny a “Hawasyi Baidhawi” menulis: “Dan Mi’raj adalah dengan rohnya di waktu beliau sadar (bukan sedang tidur). Dan yang demikian itu, sebagai yang diisyaratkan oleh Ibnul Qayyim adalah juga suatu Mu’jizat.” Ulama-ulama Islam zaman moden pun turut menyatakan pendapat dalam hal Isra’ dan Mi’raj ini. Allamah Muhammad Farid Wajdi berpendapat bahwa ada kemungkinan Isra’ ialah dengan tubuh, tetapi Mi’raj ke langit adalah dengan Roh saja. Dr. Husain Haikal menyatakan pendapat bahwa Isra’ dan Mi’raj itu adalah satu pengalaman jiwa, yang satu waktu bersatu dengan alam semesta; dia bukan mimpi.
Tetapi Sayid Rasyid Ridha tetap pada pendapat bahwa Isra’ dan Mi’raj adalah dengan badan dan roh. Sayid Quthub di dalam Tafsirnya “Di Bawah Lindungan Al-Quran” menyatakan lagi pendapatnya sebagai suatu, kupasan mazhab Salaf dengan cara yang moden. Dia berkata: “Yang jelas ialah bahwa sekalian riwayat mengenai Isra’ dan Mi’raj itu dapat disimpulkan bahwa Rasulullah s.a.w. meninggalkan pembaringannya di rumah Ummi Hani’ binti Abdul Muthalib dan pergi ke mesjid. Tatkala dia sampai ke batu hitam di sisi Baitullah itu,’di antara tidur dan bangun dia pun diisra’ dan dimi’rajkan. Kemudian dia pun kembali ke pembaringannya sebelum pembaringan itu dingin.”
Kita berpendapat bahwa hal ini tidaklah tempatnya buat dipertengkarkan sampai berpanjang-panjang, yang diributkan orang sejak dahulu, bahkan sampai kini, tentang tabiat keadaan yang terjadi dan tegas pada diri Rasulullah s.a.w. dalam hidupnya, berapa jauh jarak di antara Isra’ dengan Mi’raj, dengan rohnyakah dia pergi atau dengan tubuhnya, sedang tidurkah atau sedang bangun.
Jarak di antara Isra’ dengan Mi’raj itu tidaklah terlalu jauh, dan tidak pula akan berobah tabiat kejadian ini, bahwa dia adalah kasyaf (pembukaan rahasia) dan tajalli bagi Rasul s.a.w.: Tidaklah ada tempat yang jauh atau alam yang jauh; semua dapat ditempuh dalam masa sekejap. Orang yang mengerti apa yang dikatakan Kudrat Tuhan dan Tabiat Kenabian, tidaklah akan memandang ganjil hal-ihwal seperti ini. Di hadapan Kudrat Ilahi sama saja sekalian perbuatan yang dipandang oleh manusia dengan membandingkannya dengan kudratnya sendiri berbeda di antara mudahnya dan sukamya, menurut apa yang bisa dialaminya dan dilihatnya. Dan apa yang terbiasa dilihat dalam alam kemanusiaan, tidaklah boleh dijadikan hukum pengukur segala kejadian yang berkenaan dengan Kudrat Allah. Adapun tabiat kenabian, adalah dia hubungan dengan Al-Mala-il A’la alam tertinggi.
Tuhan yang Memperjalankan Hamba-Nya
Mengenai bunyi permulaan ayat 1 ini, “Maha Suci Dia, Yang telah memperjalankan HAMBANYA di malam hari”: ‘Abdihi yang berarti hombaNya ini telah dijadikan alasan oleh beberapa penafsir lama untuk membuktikan pula bahwa Nabi Muhammad s.a.w. itu Isra’ dan Mi’raj dengan tubuhnya dan rohnya. Kata penafsir itu, kalau sekiranya yang Isra’ dan Mi’raj itu hanya Rohnya demikian tafsiran dari penafsir-penafsir itu niscaya disebutkan Tuhan “Maha Sucilah Dia, Yang memperjalankan Roh hambaNga di malam hari,” dan
seterusnya.
Niscaya kalau kalimat ‘abdihi yang dijadikan alasan penetapkan badan dan nyawa, akan dibantah pula oleh yang tidak menganut faham itu. Sebab Malaikat-malaikat Allah yang tidak bertubuh disebut Tuhan di dalam ayat yang lain “IBADUN MUKRAMUN“. Artinya hamba-hamba Allah yang dimuliakan. (al-Anbiya’, Surat 21 :26).
Tetapi Sayid Quthub di dalam Tafsirnya menampak tafsir yang lain dari ‘abdihi yang terdapat dalam ayat ini. Menurut beliau, kalimat ‘abdihi dijelaskan di sini ialah guna menjaga akidah Islamiah yang jadi pokok pendirian hidup Muslim. Yaitu bahwasanya meskipun demikian besar keganjilan yang telah diperlihatkan pada Nabi Muhammad s.a.w., sampai Isra’ dan Mi’raj, namun beliau tetap pada maqamnya, yaitu ‘abdihi: Hamba-Nya! Dia tetap hamba Allah. Karena dia mencapai martabat setinggi itu tidaklah dia berobah menjadi Tuhan atau dituhankan. Yang mendapat pujian dan kemuliaan tertinggi dengan ucapan subhana di ayat ini bukan Nabi yang diisra’ dan dimi’rajkan, melainkan Allah yang mengisra’kan dan memi’rajkan.
Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura
Leave a Reply