Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Surah Al-Fatihah ayat 7 (Bagian 3)

Darah
sumber: unsplash.com

“Dan bukan jalan mereka yang sesat”.

(ujung ayat 7)

Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri di luar yang digariskan Tuhan. Tidak mengenal kebenaran, atau tidak dikenalnya menurut maksudnya yang sebenarnya.

Sebagaimana telah kita kenal pada keterangan-keterangan di atas, tentang kepercayaan akan adanya Tuhan, sampai orang-orang Arab mengkhususkan nama Allah buat Tuhan Yang Maha Esa. Di sini telah kita maklumi bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu telah ada dalam lubuk jiwa manusia. Tetapi kepercayaan tentang adanya Allah itu belumlah menjadi jaminan bahwa orang itu tidak akan sesat lagi.

Di Eropa pernah timbul satu gerakan bernama Deisme. Dengan dasar penyelidikan akal murni, mereka mengakui bahwa Tuhan itu memang ada. Tetapi mereka tidak mau percaya akan adanya Rasul, atau wahyu, atau hari akhirat. Kata mereka dengan kepercayaan akan adanya Allah itu saja sudah cukup, agama tidak perlu lagi.

Tentang ketuhanan, ahli filsafat terbagi kepada dua golongan. Yaitu golongan Spiritualis dengan golongan Materialis. Golongan yang percaya adanya yang ghaib, terutama Tuhan, yang hanya percaya kepada benda saja, sudah nyata tersesat. Yang percaya ada Tuhan saja, tetapi tidak percaya akan adanya syariat yang diturunkan Allah dengan mengutus nabi-nabi dan menurunkan wahyu, itupun tersesat, sebab penilaian mereka tentang adanya Tuhanpun berbagai ragam, sehingga ada aliran Pantheisme, yang mengatakan bahwa seluruh yang ada ini adalah Tuhan belaka, atau Polytheisme, yaitu yang mengatakan Tuhan itu berbilang.

Orang-orang yang telah mengaku beragamapun bisa juga tersesat. Kadang-kadang karena terlalu taat dalam beragama, lalu ibadat ditambah-tambah daripada yang telah ditentukan dalam syariat, sehingga timbul bid’ah. Disangka masih dalam agama, padahal sudah terpesong ke luar.

Ada sebuah hadis yang shahih, dirawikan oleh Abd bin Humaid dari ar Rabi’ bin Anas, dan riwayat Abd bin Humaid juga daripada Mujahid, demikian juga daripada Said bin Jubair, dan hadis lain yang dirawikan oleh lmam Ahmad dan lain-lain daripada Abdullah bin Syaqiq, daripada Abu Zar, dan diriwayatkan juga oleh Sufryan bin Uyaynah dalam tafsirnya, daripada Ismail bin Abu Khalid, bahwa seketika orang bertanya kepada Rasulullah, tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat. Lalu Rasulullah menjawab: “Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat ialah Nasrani.”

Baca Juga  Tafsir Al-Baqarah Ayat 221 (4): Larangan Menikahi Perempuan Musyrik

Hadis ini dengan berbagai jalan thuruqnya dan riwayatnya telah tercantum pada kitab-kitab tafsir yang masyhur. Tetapi dia meminta penafsiran kita sekali lagi. Yang wajib kita tekankan perhatian kita ialah kepada sebab-sebab maka Yahudi dikatakan kena murka dan sebab-sebab Nasrani tersesat. Perhatian kita jangan hanya ditujukan kepada Yahudi dan Nasraninya saja, tetapi hendaklah kita tilik sebab mereka kena murka dan sebab mereka tersesat.

Yahudi dimurkai, sebab mereka selalu mengingkari segala petunjuk yang dibawakan oleh Rasul mereka, kisah pengingkaran Yahudi itu tersebut didalam kilab-kitab mereka sendiri sampai sekarang, sehingga Nabi Musa pernah mengatakan bahwa mereka itu “keras tengkuk”, tak mau tunduk, sampai mereka membunuh nabi-nabi. Sebab itu Allah murka. Nasrani tersesat, karena sangat cinta kepada Nabi Isa Almasih, mereka katakan Isa itu anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma menjadi anak, datang ke dunia menebus dosa manusia.

Maka bagi kita ummat Islam yang membaca al-Fatihah ini sekurangnya 17 kali sehari semalam, hendaklah diingat jangan sampai kita menempuh jalan yang akan dimurkai Allah pula, sebagai Yahudi. Apabila satu kali kita telah memandang bahwa pelajaran yang lain lebih baik dan berguna daripada pelajaran Nabi Muhammad saw. maka mulailah kita diancam oleh kemurkaan Tuhan.

Di dalam Surat an-Nisa’ (Surat 4, ayat 65), sampai dengan sumpah Tuhan menyatakan bahwa tidaklah mereka beriman sebelum mereka bertahkim kepada Nabi Muhammad saw. didalam hal-hal yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasa keberatan menerima keputusan yang beliau putuskan, dan merekapun menyerah sebenar-benar menyerah. Kalau ini tidak kita lakukan, pastilah kita kena murka seperti Yahudi.

Dan kalau kita katakan pula misalnya bahwa Nabi Muhammad saw. itu adalah “al-Haqiqatul Muhammadiyah“, atau “Nur Muhammad“, yaitu Allah Ta’ala sendiri yang menjelmakan diri (lbraza Haqiqatihi), ke dalam alam ini, sebagai anutan setengah ahli tasawuf, niscaya sesatlah kita sebagai Nasrani.

Baca Juga  Tafsir Surah Ar-Ruum Ayat 41: Siapakah Penyebab Terjadinya Bencana Alam?

Saiyid Rasyid Ridha di dalam “al-Manar”nya menguraikan penafsiran gurunya Syaikh Mohammad Abduh tentang orang yang tersesat, terbagi atas empat tingkat:

Pertama: Yang tidak sampai kepadanya dakwah, atau ada sampai tetapi hanya didapat dengan pancaindera dan akal, tidak ada tuntunan agama. Meskipun di dalam soal-soal keduniaan mungkin mereka tidak sesat, namun mereka pasti sesat dalam mencari kelepasan jiwa dan kebahagiaannya di akhirat. Siapa yang tidak menikmati agama tidaklah dia akan merasai nikmat dari kedua kehidupan itu. Akan berjumpalah bekas kekacauan dan kegoncangan dalam kepercayaannya sehari-hari, diikuti oleh macam-macam bahaya dan krisis yang tidak dapat diatasi.

Yang demikian adalah sunnatullah dalam alam ini, yang tidak didapat jalan lain untuk mengelakkannya. Adapun nasib mereka di akhirat kelak, nyatalah bahwa kedudukan mereka tidak sama dengan orang yang beroleh hidayat dan petunjuk. Mungkin juga diberi maaf oleh Tuhan, karena Dia berbuat sekehendakNya.

Kedua: Sampai kepada mereka dakwah, atas jalan yang dapat membangun minat fikiran; merekapun telah mulai tertarik oleh dakwah itu, tetapi sebelum sampai menjadi keimanannya, diapun mati.

Bagian ini terdapat pada orang-orang seorang dalam satu-satu bangsa, tidak umum, sehingga tidak ada kesannya kepada masyarakat banyak. Adapun nasib orang-orang seperti ini kelak, menurut pendapat ulama-ulama Mazhab Asy’ari, diharapkan jua moga-moga mereka mendapat Rahmat belas kasihan Tuhan. Abul Hasan Asy’ari sendiri berpendapat demikian. Tetapi menurut pendapat jumhur (golongan terbesar) ulama, tidaklah diragukan bahwa persoalan mereka lebih ringan daripada persoalan orang yang mengingkari sama’ sekali, yakni orang yang tidak percaya akan nikmat akaldan yang lebih senang dalam kejahilan.

Ketiga: Da’=kwah sampai kepada mereka dan mereka akui, tetapi tidak mereka pergunakan akal buat berfikir dan menyelidiki dari pokoknya, tetapi mereka berpegang teguh juga kepada hawa nafsu atau kebiasaan lama, atau menambah-nambah. Inilah tukang-tukang bid’ah tentang akidah, inilah orang, yang i’tikadnya telah jauh menyeleweng dari al-Quran dan dari teladan yang ditinggalkan Salaf. Inilah yang membawa pecah ummat.

Baca Juga  Tafsir Al-Baqarah Ayat 213-214 (2): Nabi Membawa Petunjuk

Keempat: Yang sesat dalam beramal, atau memutarmutarkan hukum dari maksudnya yang sebenarnya. Seumpama orang yang menghelah supaya jangan sampai dia mengeluarkan zakat. Setelah dekat habis tahun dipindahkannya pemilikan harta itu kepada orang lain, misalnya kepada anaknya dan setelah lepas masa membayar zakat itu, dengan persetujuan berdua, anak itu menyerahkan pula kembali kepadanya. Dengan demikian dia merasa bangga karena merasa telah berhasil mempermainkan Tuhan Allah, disangkanya Tuhan Allah bodoh!

Kesesatan orang-orang ini timbul dari kepintaran otak, tetapi batinnya kosong daripada iman. Diruntuhkan agamanya, tetapi dia sendiri yang hancur

Sekian kita ringkaskan dari keterangan tentang orang yang sesat, adh-dhaallin menurut pembagian Ustaz Imam Muhammad Abduh

Maka kalau sudah sampai kepada derajat yang keempat itu, meskipun ummat tadi masih kelihatan beragama pada kulitnya, masih terletak merk Islam pada lainnya, dan masih diberi tanda “hijau”* dalam peta negerinya, samalah artinya dengan agamanya tidak ada lagi. Akan beruntunlah kecelakaan menimpa ummat itu, kecuali apabila datang pembaharuan (tajdid) dan pembangkitan semangat. Kalau pembaharuan tidak datang, ummat itu akan hancur dan hilang, mungkin kelaknya berbondong keturunannya memeluk agama lain yang lebih kuat mengadakan propaganda.

Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura