Menyembelih Lembu Betina (Bagian 3)..
Celaan keras pada ayat-ayat tersebut ini, terutama tentang ceritera penyembelihan lembu betina itu meninggalkan kesan mendalam di hati kita kaum Muslimin, bahwa Tuhan Allah menurunkan suatu perintah dengan perantaraan RasulNya adalah dengan terang, jitu dan ringkas. Agama tidaklah untuk mempersukar manusia. Sebab itu dilarang keraslah bersibanyak tanya, yang kelak akan menyebabkan itu menjadi berat. Bukanlah perintah agama yang tidak cukup, sebab itu jalankanlah sebagaimana yang diperintahkan.
Dirawikan oleh lbnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya, dengan riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas:
“Kalau mereka sembelih saja sembarang lembu betina yang mana mereka kehendaki, sudahlah diterima. Tetapi mereka mempersukar atas diri mereka sendiri, sebab itu Allah pun mempersukar.”
Dan ada lagi hadis shahih yang lain, nasihat buat kita kaum Muslimin:
“Dan dibenci pada kamu konon khabarnya dan kata si anu, dan membuang-buang harta dan bersibanyak tanya.”
Agama mudah dijalankan, yang menukarkannya ialah apabila banyak “kalau begini, kalau begitu”.
“Kemudian telah kesat hati kamu sesudah itu, maka adalah dia laksana batu atau lebih keras.” (pangkal ayat 74).
Lebih keras daripada batu, sebab tidak ada pengajaran yang bisa masuk ke dalam.
“Dan sesungguhnya dan pada batu kadang-kadang terpancarlah dari padanya sungai-sungai. “
Artinya daripada batu yang dikatakan keras itu masih juga ada faedah yang diharap; dia dapat memancarkan sungai. Tapi hati yang keras tak dapat memancarkan faedah apa-apa.
“Dan sesungguhnya setengah daripadanya ada yang belah, maka keluarlah air dari dalamnya.”
Dapatlah menjadi minuman orang; berfaedah juga.
“Dan sesungguhnya dari setengahnya pula ada yang runtuh dari takutnya kepada Allah”
Maka kalau hatimu dimisalkan sekeras batu, padahal dari pada batu masih banyak faedah yang diharapkan dan dari batu yang runtuh karena takutnya kepada Allah dan tunduk sujudnya kepada Tuhan, apakah lagi misal yang layak bagi hatimu yang kesat lagi keras itu? Sungguhpun demikian:
“Dan tidaklah Allah lengah dari apa yang kamu perbuat.” (ujung ayat 74)
Tidaklah Allah akan lengah. Tidaklah kamu lepas dari titikan Tuhan. Pasti datang masanya kamu akan membayar sendiri dengan mahal segala kejahatan hatimu itu. Jika pengajaran yang lunak tidak berbekas kepada hatimu, karena lebih keras dari batu, maka palu godam azablah yang akan menimpa dirimu kelak. Waktunya akan datang.
Sayangnya hal yang dimisalkan kepada orang Yahudi ini, lama kelamaan telah bertemu pula pada orang Islam sendiri. Masalahnya tidak ada, lalu diadakan. Hal ini terdapat dalam kitab-kitab Fiqh Mutaakhirin (zaman terkemudian). Panjang lebar membicarakan hukum istinja’, rukun bersuci dan panjang lebar memperkatakan niat sembahyang. Sehingga kadang timbul yang lucu-lucu.
Dengan cara sangat sederhana Nabi Muhammad s.a.w. mengajarkan dan memberi contoh dengan perbuatan beliau sendiri, yaitu memulai sembahyang hendaklah dengan membaca Takbir: Allahu Akbar. Semua orang dapatlah memahamkannya, walaupun anak kecil atau orang tua, orang awam atau ulama. Tetapi datanglah beberapa pembahasan dalam setengah Kitab Fiqh, bahwa hendaklah membaca Takbir itu serentak sekali dengan niat.
Hendaklah penuh niat di dalam huruf yang delapan dari Takbir itu. Penuhnya ialah mengandung qashad, yaitu sengaja hati. Artinya hendaklah mengerjakannya itu sejak awal permulaan dengan takbir dan akhir penutupan dengan salam seketika mengucapkan takbir yang pertama (Takbiratul lhram) itu, dan hendaklah ta’yiin, yaitu jelas benar ditentukan sembahyang yang mana yang akan didirikan itu, sembahyang wajibkah? Kalau wajib, apakah Zuhur atau Asar dan sebagainya. Dan kalau sembahyang Nawafil (sembahyang sunnat), hendaklah ta’yiin, sembahyang qabliyahkah atau ba’diyah? Dhuhakah atau tahajjud?
Setelah disyarati begitu dia jadi sukar. Padahal kalau dikerjakan saja, sebentar sudah selesai.
Misalnya pula bagaimana hukumnya kalau seorang perempuan berjanggut dan tebal janggutnya itu, apakah wajib juga baginya menyampaikan air ke urat janggutnya itu: Fafihi Qaulani. Dalam hal ini ada dua kata!
Kata setengah Ulama wajiblah baginya menyampaikan air ke urat janggut itu, sebab itulah yang sebenarnya anggota wudhu’, sebab janggut bukanlah asal baginya. Berkata yang setengah lagi, tidaklah mengapa jika tidak sampai air ke urat janggut, sebab masyaqqat baginya.
Maka berkata orang zaman sekarang: “Di antara 300 juta perempuan Islam di dunia ini di zaman sekarang, barangkali tidak akan ada barang 3 orang yang berjanggut. Perlu apa masalah ini diadakan? Dan kalau dia perempuan cantik lebih baik dicukurnya saja, habis perkara!”
Dan berpanjang-panjang pula dalam soal ta’liq dalam talak: bagaimana kalau seorang laki-laki menta’liq isterinya; kalau engkau naik ke loteng, jatuh talakku, kalau engkau turun ke bawah jatuh pula talakku; bagaimana perempuan-perempuan itu harus mengelak supaya talak itu jangan jatuh? Maka berbagai pulalah qaul tentang itu. Katanya setengahnya, turun saja dari jendela! Datang orang zaman sekarang berkata: “Talak itu tidak akan jatuh samasekali, sebab otak laki-laki yang menta’liq itu wajib dioperasi.”
Padahal Saiyidina Umar bin Khathab, kalau orang datang bertanya suatu masalah, selalu beliau bertanya pula: Yang engkau tanyakan itu pernah kejadian atau tidak? Kalau tidak, disuruhnya orang itu berhenti bertanya, karena tidak ada gunanya.
Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura
Leave a Reply