Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 61: Kaum Nabi Musa Tidak Bersyukur

Mansukh
Sumber: unsplash.com

Tafsir Ayat 61

” Dan (ingatlah) seketika kamu berkata: Wahai Musa, tidaklah kami akan tahan atas makanan hanya semacam.” (pangkal ayat 61).

Ini juga menunjukkan kekecilan jiwa dan kemanjaan. Mereka telah diberi jaminan makanan yang baik, manna dan salwa. Manna yang semanis madu dan daging burung, salwa yang empuk lezat. Dengan demikian mereka tidak usah menyusahkan lagi makanan lain pada tanah kering dan tidak subur dan tidak dapat ditanami itu. Tetapi mereka tidak tahan. Masih mereka lupa dari sebab apa mereka dipindahkan dari Mesir. Manakah perjuangan menuju tempat bahagia yang tidak ditebus dengan kesusahan? Lalu mereka mengeluh:

“Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhan engkau, supaya dikeluarkan untuk kami dari apa yang ditumbuhkan bumi.”

Kami telah terlalu ingin perubahan makanan, jangan dari manna ke manna, dari salwa ke salwa saja. Kami ingin

“dari sayur mayurnya, dan mentimunnya dan bawang putihnya dan kacangnya dan bawang merahnya.”

Mendengar permintaan yang menunjukkan jiwa kecil dan kerdil itu, Nabi Musa jawab:

“Berkata dia: Adalah hendak kamu tukar dengan yang amat hina barang yang amat baik?”

Mengapa Nabi Musa menyambut demikian? Memang, mereka meminta sayur-sayur yang demikian, ialah karena mereka teringat akan makanan mereka tatkala masih tinggal di Mesir; ada mentimun, ada bawang merah, ada kacang, ada bawang putih. Tetapi dalam suasana apakah mereka diwaktu itu? Ialah suasana perbudakan dan kehinaan.

Sekarang mereka berpindah meninggalkan negeri itu, karena Allah hendak membebaskan mereka, tetapi karena tujuan terakhir belum tercapai, yaitu merebut tanah yang dijanjikan dengan keperkasaan, karena pengecut mereka juga, ditahanlah mereka di padang Tih 40 tahun. Makanan dijamin, “Ransum” disediakan. Itupun bukan ransum sembarang ransum.

Baca Juga  Awan dalam Al-Quran: Studi Makna Sahab dan Ghamam Perspektif As-Sya'rawi

Nabi Musa mengatakan tegas, bahwa makanan yang mereka minta itu adalah makanan hina, makanan zaman perbudakan. Dan makanan yang mereka tidak tahan lagi itu adalah makanan zaman pembebasan. Makanan karena cita-cita. Untuk misal yang dekat kepada kita, adalah keluhan orang tua-tua yang biasa hidup senang di zaman penjajah Belanda dahulu, mengeluh karena kesukaran di zaman perjuangan Kemerdekaan.

Teguran Keras

Mereka selalu teringat zaman itu yang mereka namai zaman normal. Dengan uang satu rupiah zaman itu sudah dapat beli baju dan lebihnya dapat dibawa pulang untuk belanja makan minum. Tetapi sekarang setelah merdeka, hidup jadi susah. Sampai ada yang berkata: “Bila akan berhenti merdeka ini!” – Lalu Musa berkata:

“Pergilah ke kota besar. Maka sesungguhnya di sana akan kamu dapatkan apa yang kamu minta itu.”

lnilah satu teguran yang keras, kalau mereka sudi memahamkan. Pergilah ke salah satu kota besar, apa artinya? Ialah keluar dari kelompok dan menyediakan diri jadi budak kembali. Atau melepaskan cita-cita. Laksana pengalaman kita bangsa Indonesia di zaman perjuangan bersenjata dahulu yang makanan tidak cukup, kediaman di hutan. Mana yang kita tidak tahan menderita, silahkan masuk kota. Di kota ada mentega dan adiroti, coklat dan kopi susu.

Tetapi artinya ialah meninggalkan perjuangan, menghentikan sejarah diri sendiri dalam membina perjuangan. Kalimat lhbithu mishran yang berarti pergilah ke kota besar, kalau menurut qiraat (bacaan) al-Hasan dan Aban bin Taghlib dan Thalhah bin Mushrif ialah lhbithu mishra dengan tidak memakai tanwin (baris dua). Menurut qiraat ini artinya ialah: “Pergilah kamu pulang kembali ke Mesir, di sana akan kamu dapati apa yang kamu minta itu!”

Baca Juga  Tafsir Al-Fatihah Ayat 1: Polemik Basmallah

Dengan demikian maka perkataan Nabi Musa menjadi lebih keras lagi. Segala yang kamu minta itu hanya ada di Mesir. Kalau kamu ingin juga, pulanglah ke sana kembali menjadi orang yang hina, diperbudak kembali.

Ditimpa Kemurkaan

Akhirnya bersabdalah Tuhan tentang keadaan jiwa mereka:

“Dan dipukulkanlah atas mereka kehinaan dan kerendahan, dan sudah layaklah mereka ditimpa kemurkaan dari Allah.”

Kehinaan ialah hina akhlak dan hina jiwa, tidak ada cita-cita tinggi. Jatuh harga diri, padam kehormatan diri, jatuh moral. Itulah yang dikenal dengan jiwa budak (slavengeest). Apabila diri sudah hina, niscaya rendahlah martabat, menjadi miskin. Mata kuyu kehilangan sinar. Ukuran cita-cita hanya sehingga asal perut akan berisi saja, payah dibawa naik. Atau malas berjuang karena ingin makanan yang enak-enak saja. Dengan demikian tentu tidak lain yang akan mereka terima hanyalah kemurkaan Allah. Lalu disebutnya sebabnya yang utama:

“Yang demikian itu, ialah karena mereka kufur kepada perintah-perintah Allah, dan mereka bunuh Nabi-nabi dengan tidak patut.”

Sedangkan membunuh sesama manusia biasa lagi tidak patut, apakah lagi kalau sudah berani mengangkat senjata membunuh Nabi-nabi yang menunjuki mereka jalan yang benar. Menurut riwayat selama riwayat Bani Israil, tidak kurang dari 70 Nabi yang telah mereka bunuh. Itulah akibat dari jiwa yang telah jahat, karena meninggalkan iman.

“Yang demikian itu ialah karena mereka telah durhaka dan adalah mereka meliwati batas.” (ujung ayat 61).

Tersebab jiwa yang telah hina dan rendah, kerdil dan miskin, yang berpangkal daripada kufur kepada kebenaran, segala pekerjaan yang keji dan hina, membunuh Nabi, menipu dan ingkar akan seruan kebenaran berturutlah terjadi. Maka penuhlah riwayat Bani lsrail dengan itu, yang anak-cucu mereka tidak akan dapat memungkiri kejadian itu. Sebab telah menggenang di dalam mata sejarah.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 51-53: Kaum Musa dan Lembu Emas

Durhaka dan meliwati batas. Durhaka menjadi maksiat; dosapun banyak diperbuat. Meliwati batas, melanggar hukum. Sehingga peraturan-peraturan dalam Taurat Nabi Musa tidak berjalan lagi, meskipun disebut-sebut juga dengan mulut.

Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura