Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 36-38: Diturunkannya Manusia ke Bumi (2)

Mansukh
Sumber: unsplash.com

Adam bukanlah diusir dari syurga, tetapi diberi tugas menegakkan kebenaran dalam bumi dan diberi tuntunan. Orang Nasrani mengatakan bahwa dosa Adam itu telah menjadi dosa waris turun temurun kepada segala anak-cucunya, dan naiknya Isa Almasih ke atas kayu saliblah yang menebus dosa warisan Adam itu. Kita mengakui bahwa kejadian dari manusia, gabungan akal dan nafsu, pertentangan cita-cita mulia dengan kehendak-kehendak kebinatangan berperang dalam diri kita.

Kalau kita berbuat dosa, bukanlah itu karena dosa yang kita warisi dari Adam, dan kita sendiri-sendiri, bisa meminta ampun dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, niscaya akan diampuni, karena Tuhan itu pengasih dan penyayang.

Tidak masuk dalam akal murni kita bahwa Allah menurunkan dosa waris Adam kepada anak cucunya dan mengutus lsa Almasih ke dunia untuk naik ke atas kayu palang, buat mati di sana bagi menebus dosa waris manusia tadi. Padahal dikatakan pula bahwa Isa Almasih itu adalah Allah sendiri menjelma ke dalam tubuh Gadis suci Maryam, kemudian menjelma menjadi putera. Inilah yang dijadikan dasar kepercayaan, yaitu Allah Taala sendiri menjelma menjadi anakNya, yaitu Kristus.

Islam mengajarkan bahwa dosa bukanlah timbul karena warisan, melainkan karena gejala-gejala pertentangan yang ada dalam batin manusia itu sendiri. Adam sendiri terlanjur memakan buah yang terlarang, karena pertentangan hebat yang ada dalam jiwa, sehingga ciri mulia kalah oleh hawa nafsu keinginan. Tetapi, sebagai terdapat pada tiap-tiap manusia kemudiannya, bila telah lepas dari berbuat dosa itu, sesalpun timbul.

Adam memohon ampun kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh lalu dia diampuni. Lalu dianjurkan tiap-tiap manusia mengikuti imannya kepada Allah dengan amal yang shalih. Sehingga kalahlah timbangan yang jahat oleh timbangan yang baik. Dengan tidak perlu membuat gelisah jiwa sendiri, dengan merasa berdosa terus menerus, karena dosa itu diwarisi.

Alamat kasih Tuhan akan hambaNya, bukanlah dengan cara dia sendiri menjelma ke dalam tubuh perawan suci, lalu lahir ke dunia menjadi anak. Melainkan Tuhan dari masa ke masa mengutus Rasul-rasulNya, yaitu di antara manusia-manusia sendiri yang Dia pilih, untuk menyampaikan WahyuNya kepada seluruh manusia.

Barangsiapa yang menurut tuntunan wahyu itu selamatlah dia dalam perjalanan hidupnya, dan barangsiapa yang tidak memperdulikannya, celakalah dia. Diantara Rasul yang diutus itu, termasuklah Isa Almasih sendiri.

***

Ada juga perbincangan di antara Ulama-ulama Tafsir tentang jannah tempat kediaman Adam dan Hawa itu. Sebagaimana dimaklumi, arti yang asal dari jannah ialah taman atau kebun, yang di sana terdapat kembang-kembang, bunga-bunga, air mengalir dan penuh keindahan. Dan diberi arti dalam bahasa kita Indonesia, dengan suarga atau syurga.

Baca Juga  Menahan Amarah dan Mudah Memaafkan: Ciri Orang Bertakwa

Yang menjadi perbincangan, apakah ini sudah jannah yang selalu dijanjikan akan menjadi tempat istirahatnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih di hariakhirat? Apakah ini sudah Darul Qarar (negeri tempat menetap) dan Darul Jaza’ (negeri tempat menerima balas jasa). Ataukah Jannah yangdimaksud disinibaru menurut artinya yang asli saja, yaitu suatu taman yang indah di dalam dunia ini?

Kata setengah ahli tafsir, memang ini sudah syurga yang dijanjikan itu terletak di luar dunia ini, di suatu tempat yang tinggi. OIeh sebab itu setelah Adam, Hawa dan lblis disuruh keluar dari dalamnya, disebut Ihbithu, yang berarti turunlah! Atau ke bawahlah!

Tetapi setengah penafsir lagi mengatakan bahwa tempat itu bukanlah syurga yang dijanjikan di akhirat esok. Salah seorang yang berpendapat demikian ialah Abul Manshur al-Maturidi, pelopor llmul Kalam yang terkenal. Beliau berkata di dalam Tafsirnya at-Ta’wilaat:

“Kami mempunyai kepercayaan bahwasanya jannah yang dimaksud di sini ialah suatu taman di antara berbagai taman yang ada di dunia ini, yang di sana Adam dan isterinya mengecap nikmat llahi. Tetapi tidaklah ada perlunya atas kita menyelidikidan mencari kejelasan di mana letaknya taman itu. Inilah Mazhab Salaf. Dan tidaklah ada dalil yang kuat, bagi orang-orang yang menentukan di mana tempatnya itu, baik dari Ahlus Sunnah atau dari yang lain-lain.”

Inipun dapat kita fahamkan, sebagaimana dikemukakan oleh setengah ahli tafsir. Kata mereka bagi menguatkan bahwa itu belum syurga yang dijanjikan di hari depan ialah karena di syurga yang disebutkan ini masih ada lagimakanan yang dilarang memakannya, sebagaimana dapat kita |ihat pada ayat-ayat yang menyatakan sifat-sifat dan keadaan syurga; malahan khamar yang istimewa dari fabrik syurgapun boleh diminum di sana. Yang kedua, kalau itu sudah syurga yang dijanjikan, tidaklah mungkin roh jahat sebagai iblis itu dapat masuk ke dalamnya.

Maka mengaji di mana letak jannah itu, iannah duniakah atau jannah yang telah dijanjikan, demikianlah halnya. Menunjukkan betapa bebasnya Ulima-ulama dahulu berfikir. Dan kita tidak mendapat alasan kuat pula buat mengatakan bahwa yang satu lebih kuat dari yang lain.

Kemudian itu tersebut pula dalam riwayat yang dibawakan oleh lbnu Jarir dalam tafsirnya. dan dibawakan pula oleh lbnu Abi Hatim yang katanya diterima dari sahabat Rasulullah s.a.w., Abdullah bin Mas’ud dan beberapa sahabat yang lain, bahwa iblis hendak masuk ke dalam syurga itu, tetapi di pintu dihambai oleh Khazanahnya. Yaitu Malaikat pengawal syurga, akhirnya dia tak dapat masuk, lalu dirayunya seekor ular, dimintanya menumpang dalam mulut ular itu.

Baca Juga  Tafsir Q.S Al-Baqarah Ayat 233 (3): Kewajiban Ayah ke Istri yang Ditalak

Disebut pula di situ bahwa ular pada masa itu masih berkakiempat. Ular itu tidak keberatan, maka masuklah iblis ke dalam mulutnya dan menyelundup masuk ke dalam syurga, tidak diketahui oleh Malaikat pengawal tadi, sehingga dia leluasa dapat bertemu dengan Nabi Adam. Dengan bercakap melalui mulut ular, sehingga oleh Nabi Adam dikira bahwa ullar itulah yang berbicara, mulailah iblis melakukan rayu dan cumbunya, agar Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang itu.

Tetapi Adam tidak mau percaya, lalu lblis keluar dari persembunyiannya, lalu merayu dengan berterus-terang sampai Hawa tertipu, dan kemudian Adam menurut.

Riwayat semacam ini bolehlah kita masukkan juga ke dalam lsrailiyat, kisah Taurat yang didengar oleh Abdullah bin Mas’ud dan beberapa sahabat lain dari orang Yahudi, dikutipnya dari dalam Taurat, sebagaimana diingatkan oleh Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari yang telah kita salinkan di atas tadi, yang tidak boleh lekas ditelan, dibenarkan semuanya dan tidak boleh didustakan semuanya.

Yang penting ialah bahwa didalam al-Quran sendiri tidak ada ceritera iblis numpang dalam mulut ular itu, yang bagaimana kita membacanya, mestilah meninggalkan kesan bahwa Malaikat Khazanah syurga telah dapat ditipu oleh iblis, sehingga derajat Malaikat sudah sama saja dengan manusia biasa, dapat dikicuh. Mempercayai ceritera semacam ini agaknya sama saja dengan mempercayai bahwa kalau ada perempuan dalam bunting (hamil), hendaklah dipakukan ladam kuda di muka pintu rumah, supaya hantu-hantu iahat jangan berani masuk, sebab ada ladam itu.

Menurut satu riwayat dari lbnu Abi Hatim, yang katanya diterimanya dari Abdullah bin Umar, bahwa Adam turun ke dunia di Bukit Shafa dan Hawa turun di Bukit Marwah. Dan riwayat lain dari lbnu Abi Hatim juga, katanya diterimanya dari Ibnu Umar juga; Adam turun di bumi di antara negeri Makkah dengan Thaif.

Ada pula riwayat lbnu Asakir yang katanya diceriterakan dari lbnu Abbas, bahwa Nabi Adam turun di Hindustan dan Hawa turun diJeddah.

Kata orang itulah sebabnya maka Jiddah bernama Jeddah (Jiddah), karena arti Jiddah ialah nenek-perempuan.

Baca Juga  Sukses Tapi Tidak Bahagia, Bagaimana Pandangan Al-Quran?

Dan ada pula satu riwayat yang mengatakan bahwa tempat turunnya Nabi Adam bukan di Makkah, bukan di Hindustan, tetapi di Pulau Serendib.

Di mana Pulau Serendib?

Syaikh Yusuf Tajul Khalwati dalam surat-suratnya yang dikirimkan dari Sailan (Ceylon) kepada murid-muridnya di Makassar dan Banten pada akhir abad ketujuhbelas, sebelum beliau dipindahkan ke Afrika Selatan, selalu menyebutkan bahwa beliau bersyukur karena di pulau pengasingan ini, Pulau Serendib, tempat turunnya nenek kita Nabi Adam, dan beliau masih dapat beribadat kepada Tuhan. Maka Syaikh Yusuf dengan demikian memegang pendapat yang umum pada waktu itu bahwa Pulau Serendib ialah Pulau Ceylon (sekarang Sri Lanka).

Tetapi dalam penyelidikan ahli-ahli terakhir menunjukkan bukti-bukti pula bahwa Pulau Serendib bukanlah Ceylon, melainkan Pulau Sumatera’ Sebab nama Serendib adalah bahasa Sanskerta yang ditulis dengan huruf Arab. Aslinya ialah Pulau Swarno-Dwipo, yaitu nama Sumatera di zaman dahulu, sebagaijuga Jawa Dwipa nama dari Pulau Jawa.

Kita salinkan segala riwayat ini, sudahlah nyata bahwa kita tidak berpegang kepada salah satu daripadanya. Sedangkan yang diriwayatkan oleh lbnu Abi Hatim dari lbnu Umar, lagi dua macam, yang mengatakan Adam turun di Bukit Shafa dan yang satu lagi mengatakan Nabi Adam turun di antara Makkah dengan Thaif.

Ditambah lagi dengan riwayat yang mengatakan turun di Hindustan, ditambah lagi dengan riwayat yang mengatakan turun di pulau Ceylon, dan Sumatera, sehingga penafsir ini bisa pula berbangga, bahwa asal seluruh manusia yang ada di atas dunia ini adalah dari Pulau Sumatera, sebab Serendib adalah Swarnadwipa, dan Swarnadwipa adalah Sumatera, semuanya itu tidak lah ada sebuah juga yang dapat dipertanggungiawabkan menurut bahan-bahan sejarah. Dan riwayat-riwayat semacam inipun tidak ada yang dikuatkan oleh Hadis yang shahih, walaupun sebuah.

Dahulu kalau kita naik haji, seorang penunjuk jalan akan membawa kita ziarah ke kuburan yang dinamai kuburan Siti Hawa di Jiddah itu; panjangnya sampai seperempat kilometer atau lebih. Dan di Ceylon pun kita bisa dibawa orang ke atas puncak gunung yang dinamai “Talapak Nabi Adam”.

Semuanya ini adalah ceritera bagus-bagus untuk khayal, tetapi akal yang terlatih di bawah bimbingan al-Quran dan Hadis Rasulullah tidaklah akan dapai menelan saja ceritera-ceritera semacam ini, walaupun ada disuntingkan pada setengah tafsir.

Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura