“Nyarislah kilat itu menyambar penglihatan mereka.” (pangkal ayat 20).
Oleh karena mereka meraba-raba di dalam gelap, terutama kegelapan jiwa, maka kilat yang sambung-menyambung yang mereka takuti itu nyarislah membawa celaka mereka sendiri. Demikianlah, bagi orang mukmin kilat itu tidak apa-apa. Penglihatan mereka tahan melihat guruhnya dan melihat pancaran apinya yang hebat itu, tetapi si munafik menjadi kebingungan karena tidak tentu jalan yang akan ditempuh. “Tiap-tiap kilat menerangi mereka, merekapun berjalan padanya.”
Mereka angsur melangkah ke muka selangkah, tetapi takut tidak juga hilang: “Dan apabila telah gelap atas mereka, merekapun berhenti.” Perjalanan tidak diteruskan lagi, karena mereka hanya meraba-raba dan merumbu-rumbu, sebab pelita yang terang tidak ada di dalam dada mereka, yaitu pelita iman. “Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka.” Artinya, sia-sia penglihatan dan pendengaran yang masih ada pada mereka, mudah sajalah bagi Allah menghilangkannya sama sekali.
Sehingga tamatlah riwayat hidup mereka di dalam kekufuran dan kesesatan, tersebab daripada sikap jiwa yang pada mulanya ragu-ragu, lalu mengambil jalan yang salah, lalu kepadaman suluh: “Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu, adalah Maha Kuasa.” (ujung ayat 20). Sebab itu berlindunglah kepada-Nya dari bahaya yang demikian. Ada beberapa kesan yang kita dapat setelah kita renungkan ayat-ayat ini.
Dengan 20 buah ayat permulaan al-Baqarah diberikanlah jawaban atas permohonan kita kepada Tuhan agar ditunjuki jalan yang lurus, jalan orang yang diberi nikmat, jangan jalan yang dimurkai dan jalan yang sesat. Pada 5 ayat yang pertama dari surah ini digariskan jalan bahagia yang akan ditempuh mencari petunjuk dengan takwa dan iman. Tuhan menjamin, asal jalan itu ditempuh, pastilah tercapai apa yang dimohonkan kepada-Nya. Kemudian dua ayat berikutnya, ayat 6 dan ayat 7 diterangkan nasib orang yang ditutup Allah hati mereka, karena sikap jiwa yang menolak.
Tetapi mulai dari ayat 8 sampai ayat 20 diterangkanlah jiwa yang ragu, peribadi yang pecah, munafik, lain di mulut lain di hati, yang menjadikan hidup terkatung-katung tak tentu rebah tegak. Menjadi kafir betul, sudahlah dapat diatasi, dan sudah terang bahwa itu adalah lawan. Tetapi yang sakit sekali ialah kalir dengan topeng Islam, sampai-sampai 12 ayat Tuhan menguraikan jiwa yang demikian. Maka bukanlah maksud ayat menceriterakan keadaan munafik Yahudi dan munafik Arab Madinah itu hanya sekedar ceritera, tetapi untuk menjadi cermin perbandingan bagi kita, umat Muhammad saw. bagi mengoreksi dan memeriksa keadaan jiwa kita sendiri, sebagaimana pepatah ahli tasawuf:
“Hitunglah dirimu, sebelum kamu dihitung.”
Jangan kita dengan mudah menuduh orang lain munafik, tetapi perhatikanlah pada jiwa kita sendiri, kalau-kalau penyakit ini ada pada kita entah sedikit entah banyak. Tafakkurlah kita memikirkan bahwa seorang muslim yang besar, Sayyidina Umar bin Khathab (ridha Allah terlimpah kiranya kepadanya), yang selalu bertanya kepada seorang sahabat lagi yang alim tentang penyakit-penyakit jiwa manusia, yaitu Huzaifah bin al-Yaman: “Huzaifah! Beritahu aku, mungkin padaku ada sifat-sifat munafik yang aku sendiri tidak sadar.”
Siapa Umar? Dan siapa kita? Satu kesan lagi yang kita dapat ialah bahwa berbeda dengan di Makkah, di Madinah masyarakatnya tidak ada kesatuan pimpinan. Ada dua golongan, yaitu Yahudi dan Arab penduduk asli. Yahudinya pecah, karena semuanya merasa diri berhak terkemuka, sebab itu sebagai tersebut dalam surah al-Hasyr (surah 59 ayat l4): “Engkau sangka mereka bersatu, tetapi hati mereka terpecah-belah.”
Dan sebagai kebiasaan Yahudi, yang penting bagi mereka hanya satu, yaitu memegang kendali ekonomi. Memberi pinjaman uang dengan riba kepada penduduk Arab dan menanam pengaruh. Di kalangan Arab sendiri ada yang penuh nafsu hendak jadi pemimpin, yaitu Abdullah bin Ubai. Tetapi moralnya yang bejat menurunkan namanya. Menurut tafsir, celaan keras atas orang yang menyuruh hamba sahayanya perempuan melacurkan diri dan dia memungut sewanya yang tersebut dalam surah an-Nur. (Surat 24), yang dituju adalah Abdullah bin Ubai.
Sebab itu sudahlah dapat dimengerti kalau pimpinan Rasulullah disambut dengan bersemangat oleh golongan terbesar penduduk Arab Madinah. Maka timbulnya kemunafikan ialah karena tidak dapat lagi melawan secara berterang-terang, sebagai dilakukan orang di Makkah, sebab pimpinan di Makkah masih di tangan musyrikin.
Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura
Leave a Reply