“Di dalam hati mereka ada penyakit.”
ayat 10
Pokok penyakit yang terutama di dalam hati mereka pada mulanya ialah karena pantang kelintasan, merasa diri lebih pintar. Kedudukan rasa terdesak, yang dilawan terasa lebih kuat, inilah penyakit ingin tinggi sekepala, tetapi tidak mau mengaku terusvterang. Akan nyata-nyata menolak, takut akan terpisah dari orang banyak. Itulah yang menyebabkan sikap zahir dengan sikap batin menjadi pecah, akhirnya “maka menambahlah Allah akan penyakit mereka,” penyakit dengki, penyakit hati busuk, penyakit penyalah terima.
Tiap orang bercakap terasa diri sendiri juga yang kena, karena meskipun telah mengambil muka kian ke mari, namun dalam hati sendiri ada juga keinsafan bahwa orang tidak percaya. “Dan untuk mereka azab yang pedih, dari sebab mereka telah berdusta.” (ujung ayat 10). Azab yang paling pedih yang mereka rasai ialah lantaran dusta mereka sendiri. Tiap berkata jarang yang benar.
Kaum munafik itu mengatakan percaya kepada Allah dan hari akhirat; bahwa Allah ada dan hari akhirat pastiterjadi, adalah benar. Tetapi karena sikap hidup selalu menyatakan bahwa mereka bukan orang yang beriman kepada Allah dan tidak ada bukti perbuatan yang menunjukkan bahwa kedua hal itu benar-benar keyakinannya, kian lama nampak jugalah dustanya. Orangpun akhirnya sama tahu, dan orangpun akhir-akhirnya dapat pula mengatur sikap menghadapi orang yang seperti ini.
Mereka telah disiksa oleh dusta mereka sendiri. Apa saja yang mereka kerjakan menjadi serba salah. Mereka sendiripun sudah tahu bahwa orang tidak percaya lagi, sebab sudah lancung ke ujian. Duduk dalam majlis ramai, kalau orang berkata-kata, mereka menjadi salah terima saja, sebab perkataan yang terhadap soal lain, mereka sangka menyindir mereka juga. Jiwa mereka menjadi kerdil.
Beginilah digambarkan jiwa orang munafik di Madinah seketika Islam mulai berkembang di sana. Kaum munafik itu dua corak. Pertama munafik dari kalangan orang Yahudi, yang kian lama kian merasa bahwa mereka telah terdesak, padahal selama ini merekalah yang jadi tuan di Madinah, karena kehidupan mereka lebih makmur dari penduduk Arab asli, dan merasa lebih pintar. Kian lama kian mereka rasakan bahwa kekuasaan Nabi Muhammad dan kebebasan Islam kian naik, dan mereka kian terdesak ke tepi.
Mereka inilah yang mengatakan kami percaya kepada Allah dan percaya kepada hari akhirat, tetapi sudah disengaja buat tidak menyebut bahwa merekapun percaya kepada kerasulan Muhammad dan wahyu al-Quran. Munafik kedua ialah orang Arab Madinah sendiri, yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubai, sebelum Nabi datang, dialah yang dipandang sebagai pemuka masyarakat Arab Madinah yang terdiri dari persukuan Aus dan Khazraj.
Tetapi sedatang Nabi saw. dia kian lama ditinggalkan orang, sebab kian nyata bahwa dia tidak jujur. Kerjanya di mana duduk hanya mencemuh dan memperenteng keperibadian Nabi s.a.w. Tetapi akan menentang berhadapan tidak pula berani, karena takut dia akan disisihkan orang. Beginilah gambaran umum dari golongan munafik pada masa itu.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi”, mereka iawab: “Tidak lain keria kami, hanyalah berbuat kebaikan.”
ayat 11
Dengan lempar batu sembunyi tangan mereka berusaha menghalang-halangi perbaikan, pembangunan rohani dan jasmani yang sedang dijalankan oleh rasul dan orang-orang yang beriman. Hati mereka sakit melihatnya, lalu mereka buat sikap lain secara sembunyi untuk menentang perbaikan itu. Kalau ditegur secara baik, jangan begitu, mereka jawab bahwa maksud mereka adalah baik. Mereka mencari jalan perbaikan atau jalan yang damai. Lidah yang tidak bertulang pandai saja menyusun kata yang elok-elok bunyinya, padahal kosong isinya.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya mereka itu perusak-perusak, akan tetapi mereka tidak sadlr.”
ayat 12
Dengan cara diam-diam munafik Yahudi telah mencari daya-upaya bagaimana supaya segala rencana Nabi kandas. Orang-orang Arab dusun yang belum ada kepercayaan, kalau datang ke Madinah, kalau ada kesempatan, mereka bisiki, mencemuhkan Islam. Padahal sejak Nabi datang ke Madinah, telah diikat janji akan hidup berdampingan secara damai. Mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka itu merusak dan berbahaya, terutama kepada kedudukan mereka sendiri, sebab Islam tidak akan lemah tetapi akan bertambah kuat.
Kalau ditanyakan, mereka menyatakan bahwa maksud mereka baik, mencari jalan damai. Jelaslah bahwa perbuatan mereka yang amat berbahaya itu tidak mereka sadari, karena hawa nafsu belaka. Nafsu yang pantang kerendahan. Kalau mereka berpegang benar-benar dengan agama mereka, agama Yahudi, tidaklah mungkin mereka akan berbuat demikian. Tetapi setelah agama menjadi satu macam ta’ashshub, membela golongan, walaupun dengan jalan yang salah, tidaklah mereka sadari lagi apa akibat daripekerjaan mereka itu.
Dan dalam hal ini kadang-kadang mereka berkumpul jadi satu dengan munafik golongan Abdullah bin Ubai. Ayat ini sudah menegaskan: Ala! Ketahuilah! Sesungguhnya mereka itu perusak-perusak semua. Tetapi mereka tidak sadar. Ayat ini telah membayangkan apa yang akan kejadian di belakang, yang akan membawa celaka bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak menyadari akibat di belakang. Nampak di sini bahwa yang salah ialah pimpinan yang cerdik, yang memikirkan lebih jauh di antara mereka. Ayat yang selanjutnya menunjukkan benar-benar bagaimana isi jiwa mereka yang sebenarnya, sehingga timbul perangai munafik itu.
Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura
Leave a Reply