“Perumpamaan mereka adalah laksana orang yang menyalakan api.” (pangkal ayat 17).
Mengapa api mereka nyalakan? Ialah karena mereka mengharap mendapat terang dari cahaya api itu: “Maka tatkala api itu telah menerangi apa yang di sekelilingnya, dihilangkan Allahlah cahaya mereka.” Api telah mereka nyalakan dan telah menggejolak naik dan yang di sekelilingnya telah diberinya cahaya, tetapi mata mereka sendiri tidak melihat lagi, oleh karena telah silau oleh cahaya api itu.
“Dan Dia biarkan mereka di dalam gelap-gulita, tidak melihat.” (ujung ayat l7). Alangkah tepatnya perumpamaan Tuhan ini. Mereka diumpamakan dengan orang yang membuat unggun inginkan api, mengharap nyala dan cahayanya. Artinya bahwa keinginan akan cahaya terang itu memang ada juga. Sebelum Nabi Muhammad saw. menyatakan risalahnya dalam kalangan Yahudi ada pengharapan, menunggu kedatangan nabi akhir zaman, yang mereka namai Messias.
Mereka selalu membanggakan kepada orang Arab Madinah bahwa Taurat ada menyebutkan bahwa mereka akan kedatangan Nabi lagi. Sekarang Nabi itu telah datang, atau api telah nyala. Api yang telah lama mereka harapkan. Tetapi setelah api nyala, yang di sekelilingnya mendapat terang. Arab Madinah yang dahulunya dihinakan oleh Yahudi, dikatakan orang-orang ummi, orang-orang yang tidak cerdas, telah menyambut nyala api itu dengan segala suka cita dan mereka telah mendapat cahayanya dan nyalanya. Tetapi orang-orang Yahudi itu kehilangan cahaya itu, walaupun api unggun ada di hadapan rumah mereka sendiri. Bertambah nyala api itu, mereka bertambah gelap-gulita dan tidak melihat apa-apa.
Mengapa setelah unggun menyalakan api, mereka jadi gelap-gulita dan mata mereka menjadi silau? Datang jawabnya pada ayat yang berikut:
“Tuli, Iagi bisu, lagi buta.” (pangkal ayat 18).
Meskipun telinga mendengar, mulut dan mata bisa melihat, tetapi kalau panca indera yang lahir itu telah putus hubungannya dengan batin, samalah artinya dengan tuli, bisu dan buta. Mengapa mereka menjadi tuli, bisu dan buta? Batin mereka telah ditutup oleh suatu pendirian salah yang telah ditetapkan, intisari agama Yahudi ajaran asli Nabi Musa telah hilang, dan yang tinggal hanya bingkai dan bangkai.
Mereka bertahan pada huruf-huruf, tetapi mereka tidak perduli lagi pada isinya. Mereka menyangka mereka lebih di dalam segala hal, padahal karena menyangka lebih itulah mereka menjadi serba kurang. “Maka tidaklah mereka (dapat) kembali lagi. ” (ujung ayat 18). Sebab langkah salah yang telah dimulai dari bermula telah membawa mereka masuk jurang. Apabila kendaraan telah menuju masuk jurang, tidak ada lagi kekuatan yang sanggup mengembalikannya ke tempat yang datar. Tujuannya sudah pasti ialah kehancuran.
Di ayat ini dimisalkan laksana orang yang menghidupkan api mengharapkan nyala dan cahayanya. Tetapi ada lagi yang seperti mengharapkan hujan turun, agar mendap.at kesuburan:
“Atau seperti hujan lebat dari langit, yang padanya gelap gulita, guruh dan kilat.” (pangkal ayat 19).
Hujan artinya ialah kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang telah lama sekali menunggu hujan turun, agar sawah ladang mereka memberikan hasil yang baik kembali. Tetapi hujan lebat itu datangnya adalah dengan dahsyat; pertama langit jadi gelap oleh tebalnya awan dan mendung. Setelah awan itu sangat berat, lebih dahulu akan terdengarlah oleh telinga guruh dan petir, dan kilatpun sambung-menyambung; ngeri rasanya.
“Mereka sumbatkan jari-jari mereka ke dalam telinga mereka dari (mendengar) suara petir, karena takut mati.” Mereka mengharapkan hujan turun, tetapi mereka takut oleh mendung gelapnya, takut suara guruhnya dan cahaya kilat, dan petirnya yang sambung-menyambung di udara. Padahal tiap-tiap hujan lebat sebagai penutup kemarau panjang, mestilah diiringi oleh gelap, guruh kilat dan petir. Kebenaran llahi akan tegak di alam. Kebenaran itu adalah laksana hujan. Untuk mengelu-elukan dalangnya mestilah gelap dahulu. Yang menggelapkan itu bukan kutuk laknat, tetapi karena bumi itu dilindungi oleh air yang akan turun.
Dan guruh berbunyi mendayu dan menggarang; artinya peringatan-peringatan yang keras sering dengan kedatangan hidayat llahi. Suara Rasul saw. akan keras laksana guruh membenrantas adat lama pusaka usang, taklid dan berkeras mempertahankan pusaka nenek-moyang. Kadang-kadang memancar kilatan api kemurkaan dan ancaman siapa yang mengikut kebenaran, mari ke mari, iringkan daku menuju syurga. Tetapi siapa yang menentang, sengsaralah yang menunggunya dan neraka.
Bila kehendak Tuhan akan ditegakkan, semua orang wajib patuh. Pangkat dan kebesaran dunia, kekayaan yang berlimpah-limpah tidaklah akan menolong. Yang mulia di sisi Allah hanyalah orang yang takwa. Tuhan tidak menghitung berapa penghasilanmu sebulan, berapa orang gajianmu, berapa bidang tanahmu. Tuhan hanya menghitung amalmu. Pendirian yang palsu tidak laku lagi, yang laku hanyalah ikhlas. Harta dunia dan anak yang selama ini menjadi kebanggaan bagimu, kalau dirimu tidak engkau sediakan untuk menjunjung tinggi kehendak Allah, maka semuanya itu akan menjadi fitnah bagimu.
Engkau akan kembali ke Tuhan, engkau akan dibangkitkan kembali sesudah mati dan akan diperhitungkan amalmu selama hidup. Di akhirat harta kekayaan duniamu tidaklah akan menolong. Dan tidak ada orang yang akan membelamu. Pembelaan hanyalah amalan sendiri. Perkataan seperti ini adalah gelap bagi orang yang bertahan pada kemegahan dunia, meskipun bagi orang mukmin membawa gembira, sebab hujan pasti turun. Perkataan seperti ini bagi orang yang memang bertahan pada kebatilan memang laksana guruh yang bunyinya menakutkan, atau laksana kilat dan petir yang memancarkan api.
Oleh karena takutnya mereka kepada penghantar-penghantar hujan itu, tidaklah mereka gembira menunggu hujan, tetapi mereka tutup lubang telinga dengan jari, supaya guruh dan petir itu jangan terdengar, sebab semua mereka pandang ancaman maut bagi mereka. Mereka takut mati, mereka tidak mau bercerai dengan kehidupan lama yang mereka pegang teguh itu. Mereka tidak mau berpisah dengan benda yang mereka junjung sebagai menjunjung Tuhan.
Sebagai tersebut dalam surah at-Taubah ayat 24, barang siapa yang benar-benar mengharapkan petunjuk Allah, hendaklah sanggup menanggalkan cinta dari ayah, ibu, anak, isteri, kawan, saudara, keluarga, harta, perniagaan karena takut rugi, rumah tempat tinggal, dan bulatkan cinta kepada Allah dan Rasul. Kalau tidak mau begitu, maka awaslah, karena hukum Tuhan pasti datang.
Niscaya orang yang munafik takut mendengar ayat ini. Niscaya mereka sumbatkan jari mereka ke dalam telinga supaya jangan mendengar perkataan demikian. Mereka pandang itu laksana petir; mereka takut mati. “Tetapi Allah mengepung orang-orang yang kafir.” (ujung ayat l9). Allah mengepung mereka dari segala penjuru. Ainal mafarr? Ke mana mereka akan lari?
Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura
Leave a Reply