Idul Adha adalah hari raya bagi seluruh umat Islam yang jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijah atau.Dalam tinjauan linguistik, Idul Adha berasal dari bahasa Arab, yaitu عيد danالأضحى yang kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia menjadi Idul Adha. Adapun secara hafiah dua kata yang disorot di atas masing-masing mempunyai arti tersendiri. Kata عيد mempunyai arti ‘kembali” dan kata أضحى mempunyai arti binatang yang disembelih pada ritual ibadah tanggal 10 Dzulhijah dan hari tasyrik. Namun secara istilah dua kata tersebut memunculkan makna baru yaitu suatu hari yang dikategorikan sebagai hari raya dalam keberagaman umat Islam.
Penting untuk diketahui bahwa saat hari Idul Adha ada dua bentuk ibadah besar sebagai media pendekatan diri kepada Allah Ta’ala sekaligus peristiwa bersejarah bagi umat Islam. Dua ibadah tersebut ialah ibadah haji dan penyembelihan hewan kurban. Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yakni rukun Islam yang kelima sehingga ibadah ini wajib dilakukan oleh seluruh umat Islam, khususnya bagi yang mampu atau yang kuasa menempuhnya( Baca: Qs Ali Imran 3:97).
Adapun terkait Idul Adha, jika ditinjau dalam berbagai aspeknya tentu pembahasanya sangat luas dan bercabang meliputi; sejarah, hikmah, hukum dan semacamnya. Alih-alih, dalam perspektif al-Qur’an dan al-Hadis juga banyak sekali keterangan yang mengindikasikan akan hal tersebut. Namun, dalam artikel ini penulis hanya menggali makna dan pesan hari raya Idul Adhayang berkaitan dengan ibadah qurban dalam kaca mata sufistik.
Tafsir Sufistik
Tercatat dalam sejarah bahwa perkembangan sufisme kian marak di dunia Islam dengan ditandai oleh praktek-praktek asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam sejak munculnya konflik politis sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Praktek ini terus berlanjut hingga mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat di masa-masa berikutnya. Akhirnya, oleh kalangan tertentu praktek ini juga diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya.
Atas itu, hal inilah yang menjadi penyebab munculnya teori-teori sufisme seperti khauf, mahabah, ma’rifah dan seterusnya. Alih-alih, perkembangan dua sayap sufisme di dunia Islam: praktisi sufi lebih mengedepankan sikap praktis untuk mendekatkan diri kepada Allah dan para teosof yang lebih concern dengan teori-teori mistisnya.(Baca: Ahmad Izzan, Metodolog Ilmu Tafsir, h.204).
Seiring berjalannya waktu kedua model sufisme yang disorot di atas pada akhirnya membawa dampak tersendiri pada dunia penafsiran al-Qur’an. Sebab itulah lahir penafsiran sufistik yang lebih dikenal dengan sebutan tafsir isyari. Secara ringkas dalam pengimplementasian tafsir sufi hanya bisa dilakukan oleh para ulama’ sufi yang mendapatkan ilham dari pada Allah Ta’ala. Walhasil, tidak semua orang dapat menafsirkan atau menggali makna yang tersirat pada setiap ayat dalam al-Qur’an.
Pesan Tersirat Dalam Ibadah Qurban
Dalam hemat penulis di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mendeskripsikan tentang Idul Adha lebih tepatnya yang menjelaskan tentang ibadah qurban bisa dijumpai pada Qs al-Kaustar 108:2, Qs al-Hajj 22:34, 36,37.Namun dalam hal ini penulis hanya mengupas pada Qs al-Hajj 22: 37 serambi mengkorelasikan dalil-dalil yang terkait dengan qurban. Berikut bunyi redaksi firman-Nya:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat sampaikepada Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik” ( Qs al-Hajj 22: 37).
Dalam bahru al-Madid Fi Tafsir al-Qur’an al-Majid dijelaskan bahwa dulu di masa jahiliyah orang-orang kafir telah mengotori ka’bah dengan darah dan qurban. Mengotori dalam hal ini diartikan bahwa mereka mempunyai asumsi terkait persembahan yang telah disuguhkan berupa daging sembelihan dan semacamnya diterima oleh Tuhan-Tuhan mereka. Hingga pada akhirnya perbutan tersebut dikuti oleh kaum muslimin lalu turunlah ayat di atas guna mengikis atas perbuatan sesat yang dilakukan oleh kaum jahiliyah.
Dalam potongan ayat di atas dijelaskan bahwa yang dapat menyampaikan seseorang kepada Allah ialah ketakwanya. Dalam hal ini penting untuk diketahui bahwa takwa pada ayat yang disorot di atas diartikan oleh Ibnu ‘Ajibah ; iklas dan semata-mata mencari ridho-Nya terhadap hewan yang telah diqurbankannya. Sahal berpendapat bahwa takwa pada ayat yang disorot di atas mempunyai arti; merasa hina (tidak mampu apa-apa) dan iklas.
Selanjutnya, Ibnu Ajibah juga mempertegasnya dengan mengutip pendapat ulama sufi lainnya bahwa pada ayat di atas mempunyai pesan sufistik yang mengindikasikan tentang semua amal shalih tidak akan menyampaikan seorang hamba kepada Allah Ta’ala kecuali disertai rasa rindu kepada-Nya. Artinya bahwa apa saja yang telah diqurbankan, jika tidak disertai cinta (kepada Allah) yang timbul dari gerak-gerik hati, maka perbuatan tersebut tidak akan sampai kepadanya.
فلن ينال الله لحومُها ولا دماؤها، ولكن يناله التقوى منكم، والتقوى هاهنا عمل القلب، من نية القربة، وإرادة الخير، وإخلاص القصد لله
“Daging dan darah qurban sama sekali tidak akan dapat menggapai ridho-Nya, tapi yang dapat menyampaikan kepada ridho-Nya ialah ketakwaanya. Takwa di sini maksudnya ialah perbuatan hati berupa niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, niat berbuat kebaikan dan iklas semata-mata karena Allah Ta’ala”
Sebagai pungkasan, ketika Ibnu Ajibah menafsirkan Qs. Al-Hajj 22:34 tepat pada kalimat “likulli ummatin ja’alna mansakan” diartikan bahwa setiap masa/waktu terdapat pendidikan tertentu bagi tiap-tiap umat terdahulu (sebelum Islam) maupun di masa mendatang. Artinya, bahwa hari raya Idul adha juga termasuk momen pendidikan dari Allah Ta’ala agar hamba-hamba-Nya berlomba-lomba dalam kebaikan. Kebaikan di sini bukan hanya berupa perbuatan baik saja, tapi yang lebih baik, dilakukan dengan cara yang baik, juga berusaha bagaimana agar ibadah qurban yang kita lakukan dapat diterima dengan baik (mendapat ridho-Nya).
Sebagaimana deskripsi tentang potrettafsir sufistik di atas dalam hemat penulis, keberadaanya dapat diterima (diamalkan) oleh kalangan umum. Karena tafsir sufi itu dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama, penggalian maknanya tidak bertentangan dengan makna dhahir al-Qur’an. Kedua, penafsirannya diperkuat oleh dalil syara’ atau pendapat para ulama’. Ketiga, penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan akal. Dan yang terakhirpenafsirannya tidak mengakui atau mendakwahkan bahwa hanya penafsiran isyari itulah yang dikehendaki Allah.
Menurut Afifudin jika tafsir isyari sudah memenuhi kriteria di atas maka keberadaannya dapat diterimanya, dan apabila tidak memenuhi kriteria di atas maka keberadaannya tidak dapat diterima atau ditolak.(Baca:Muhammad Afifudin al-Dimyati, Ilmu Tafsir Usuluh wa Manahijuh,168-169).
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply