Sebagai seorang penikmat musik, saya sedikit merasa terganggu dengan perdebatan yang terlalu keras di internal umat Islam soal perkara ini. Pertanyaan yang selalu muncul, kenapa mereka memperdebatkan hal-hal yang sebaiknya dinikmati dengan santai? Jika ada yang dirasa kurang pantas pada satu jenis musik, silahkan beralih ke musik jenis lain.
Di suasana seperti itu saya merasa beruntung ‘bertemu’ dengan Ziauddin Sardar. Sardar memiliki pemikiran dan uraian yang menarik soal musik. Alih-alih masuk terlalu jauh dalam perdebatan ulama Islam, ia justru lebih mengelaborasinya sebagai masalah seni yang pada akhirnya berkaitan erat dengan imajinasi dan moral. (Ngaji Quran di Zaman Edan: 2014)
Mula-mula ia menyampaikan bahwa secara spesifik Al-Qur’an tidak pernah membahas soal musik. Namun, setiap musik yang berkembang dalam sejarah Islam, selalu mengambil semangat dan inspirasi dari Al-Qur’an. Hal itu tentu tak mengejutkan. Karena sebagai kitab yang menjadi landasan bertindak umat Islam, karya seni yang diproduksi akan selalu berusaha diselaraskan dengan nilai-nilai Al-Qur’an.
Sardar memberikan catatan yang menarik soal seni menurut Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, Tuhan selalu digambarkan sebagai Sang Khalik yang unik, kekal dan abadi. Al-Qur’an melukiskan Tuhan sebagai “tidak ada yang seperti Dia” dan “Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata”. Tujuannya jelas. Yakni agar manusia sadar kalau Allah tidak mungkin diwakilkan dalam bentuk apapun. Sebab Dia adalah sesuatu yang tak terbatas. Upaya menggambarkan atau mengurung-Nya dalam satu karya seni tertentu hanya akan mengerdilkan Tuhan.
Di atas prinsip inilah Islam sebenarnya menolak adanya pemujaan terhadap berhala. Selain karena faktor syirik, Islam sangat tidak menginginkan Tuhan sebagai Dzat yang Tak Terbatas diringkus dalam sesuatu yang bersifat terbatas. Hal ini berbeda dengan karya-karya seni patung yang menggambarkan manusia atau sejenisnya. Menurut Sardar, pelarangan terhadap jenis karya seni semacam ini jelas berlebihan dan kebablasan.
Seni dalam Sejarah Islam
Posisi seni Islam, menurutnya, sangat jelas. Yakni menolak upaya penggambaran sosok Tuhan. Karena itulah seni Islam mengambil pola yang cenderung abstrak ketika menguraikan soal Tuhan. Hal itu tak demi menunjukkan ketakterbatasan, ketakterhinggaan dan transendensi Tuhan.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan tentang surga dan apa yang terkandung di dalamnya seperti sungai yang mengalir, taman yang indah dan ranum, adalah bentuk rangsangan bagi akal manusia agar memiliki imajinasi. Dengan membangkitkan imajinasi itulah kesadaran seni akan tumbuh di dalam diri seorang muslim. Deskripsi surga itu, jelas Sardar, turut berperan besar dalam menggerakkan banyak lahirnya karya seni dalam sejarah Islam. Ia menulis:
“Deskripsi ini memainkan peran penting dalam perkembangan seni Islam. Surga dirupakan dalam bentuk istana Alhambra di Granada. Seni membuat taman dikembangkan oleh Dinasti Mogul di anak benua India. Konsep kebun dimasukkan ke dalam bangunan rumah-rumah tradisional yang didirikan di sekitar taman alun-alun dalam kota yang dilengkapi dengan pancuran. Jejak-jejaknya masih dapat kita temukan di sisa-sisa kota tradisional seperti Jeddah dan Kairo.”
Namun ia juga memberi catatan, berbeda dengan seni pada umumnya, seni dalam Islam tidak menjadikan kelembutan, keindahan dan keanggunan sebagai tujuan utama. Dalam Islam semua hal itu hanya dijadikan sebagai tangga untuk merasakan kehadiran Tuhan sebagai Dzat yang Tak Terbatas.
Penafsiran Sardar soal Musik
Lalu bagaimana dengan musik? Sardar memiliki pernyataan yang lugas soal ini. Ia menegaskan bahwa “menjadi muslim itu harus memiliki kecintaan alamiah terhadap musik. Tidak bisa tidak.” Alasannya mengungkapkan itu cukup sederhana. Sebagai muslim, kita setiap harinya dikelilingi oleh bacaan Al-Qur’an. Setiap bacaan terhadap Al-Qur’an diungkapkan dengan suara yang khas dan mirip nyanyian. Akhirnya kita menikmati keestetisan Al-Qur’an lewat musik yang dimainkan yang terdiri dari suara dan nada.
Bahkan dalam bentuk yang lebih pendek, musik dalam Islam masuk menyelinap ke telinga kita melalui azan yang kita dengar lima kali dalam sehari. Karena itu, tegas Sardar, kehidupan seorang muslim pada hakikatnya sering dikelilingi musik suci. Secara personal ia juga menjelaskan, lantunan azan yang merdu di masa kecilnya cukup memberi efek emosional pada perkembangan dirinya di kemudian hari.
Al-Qur’an memang tidak ada menyebut secara spesifik soal musik. Tapi, jelasnya, Al-Qur’an memberikan satu isyarat penting soal musik. Ketika berbicara soal Daud misalnya. Di sana dijelaskan bahwa Daud “diberi pengertian tentang suara burung”. Dengan bakatnya inilah Daud kemudian melantunkan nyanyian sebagai bentuk pujian terhadap Tuhan. Namun ia tidak sendirian ketika bernyanyi. Ia ditemani burung-burung dan gunung-gunung. “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud.”
Adapun terhadap argumen-argumen yang berusaha menolak dan mengharamkan musik, posisi Sardar cukup jelas. Ia mengatakan bahwa seluruh argumen yang mereka sampaikan bersifat absurd dan membingungkan. Misal surah Luqman ayat 6. Mereka menggunakan “perkataan tidak berguna” dalam ayat ini sebagai dalil akan keharaman musik. Padahal konteks ayatnya jelas berbeda. Ayat ini berbicara soal orang yang menghina Al-Qur’an dengan permainan kata.
Posisi Musik di Kalangan Sufi dan Filsuf
Namun Sardar cukup lega karena penafsiran-penafsiran semacam ini tidak pernah diadopsi secara masif oleh umat Islam sejak dulu hingga sekarang. Bahkan cenderung dijauhi dan dianggap tidak manusiawi. Beberapa kelompok Islam seperti kaum sufi memberi perhatian yang cukup besar terhadap musik dan menganggapnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Hal ini dapat kita lihat dari tradisi yang berkembang pada tarekat maulawiyah yang dimainkan oleh Jalaluddin Rumi. Di sini tarian dan alunan musik menjadi bagian penting.
Di kalangan filsuf Islam musik juga memiliki tempat istimewa. Filsuf-filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina banyak menulis pembahasan soal musik dan mendorong pementasannya. Al-Kindi, sebagaimana tulis Sardar, punya pemaknaan yang indah soal musik. Menurut al-Kindi, “musik dapat mengubah kualitas etis kita dan dan mengubah amarah menjadi rasa tentram, duka menjadi bahagia, depresi menjadi ketenangan, permusuhan menjadi persahabatan, keserakahan menjadi kemurahan hati dan kepengecutan menjadi keberanian”.
Temuan-temuan dan penelitian-penelitian termutakhir soal musik juga menguatkan hal ini. Misal musik dikatakan dapat menenangkan hati, meredakan stres, meningkatkan kreatifitas dan menambah semangat dalam beraktivitas. Jadi lebih sekedar lantunan suara dan melodi, musik telah menjelma sebagai satu titik meningkatkan kesadaran dan menggugah perasaan seorang muslim yang dengan itu mereka diharapkan lebih memiliki kepekaan moral dan sosial.
Leave a Reply