Tidak setiap amal ibadah dan kebaikan mutlak memperoleh pahala. Hal itu bisa disebabkan banyak faktor, diantaranya tidak mengindahkan adab; maupun adanya pelanggaran berupa perbuatan yang dapat merusak pahala suatu amalan. Termasuk di dalam melakukan amal berupa sedekah; ada rambu-rambu yang harus diperhatikan agar sedekah tersebut dapat diterima di sisi Allah swt.
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263
Allah swt berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 263:
قَوْلٌ مَّعْرُوْفٌ وَّمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّنْ صَدَقَةٍ يَّتْبَعُهَآ اَذًى ۗ وَاللّٰهُ غَنِيٌّ حَلِيْمٌ
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun.”
Dalam tafsir Ibnu Abu Hatim menukil dari Amr ibnu Dinar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Tiada suatu sedekah pun yang lebih disukai oleh Allah selain ucapan yang baik. Tidakkah kami mendengar firman-Nya (menyebutkan ayat di atas).”
Dalam konteks sedekah, yang dimaksud qaulun ma’ruf dalam ayat di atas adalah ucapan yang indah dan baik kepada yang memberi maupun yang diberi sedekah. Dalam tafsir Ibnu Jauzi, contoh ucapan yang indah itu misalnya:
يُوَسِّعُ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Semoga Allah meluaskan (rezeki)-mu.”
Adapun lafaz maghfirah, di dalam tafsir al-Mawardi terdapat beberapa makna. Diantaranya: memaafkan peminta (penerima sedekah) yang menyakiti serta menyembunyikan kemiskinan seorang fakir dan tidak mengumbarnya.
***
Adapun di dalam tafsir jalalain, yang dimaksud qaulun ma’ruf adalah ucapan yang baik dan penolakan secara lemah lembut terhadap si peminta. Sedangkan maghfirah adalah memaafkan desakan atau tingkah lakunya. Sedangkan quraish shihab menafsirkan ayat di atas dengan makna perkataan yang menentramkan hati dan menutup-nutupi aib si fakir. Dengan tidak menceritakannya kepada orang lain, lebih baik dari sedekah yang disertai perkataan dan perbuatan yang menyakitkan.
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya adab dalam bersedekah dengan mensinyalir larangan bersedekah dengan cara menyakiti. Di dalam sebuah jurnal yang ditulis Erba Putra Diansyah dkk dalam El-Maqra’ Vol. 1 No.1 Mei 2021 dengan judul: “Sedekah yang Menyakitkan Perspektif Al-Qur’an (Studi Tahlili Q.S. al-Baqarah [2] : 263-264)”, dipaparkan bahwa ada dua bentuk sedekah yang menyakitkan di masa kini. Pertama, bersedekah kemudian menyakiti. Antara lain seperti menyebut-nyebut sedekah dan mengambil kembali harta yang sudah disedekahkan.
***
Ibnu katsir dalam tafsirnya menukil dalil larangan menyebut-nyebut sedekah, seperti hadis dari Abu Darda, dari Nabi ﷺ bersabda: “Tidak dapat masuk surga orang yang menyakiti (kedua orang tuanya), orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, orang yang gemar minuman keras, dan orang yang tidak percaya kepada takdir.”
Sedangkan larangan mengambil kembali sedekah terdapat dalam riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar bahwasanya; Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Permisalan seseorang yang memberikan pemberian kemudian mengambil kembali hal itu darinya maka ia seperti seekor anjing yang memakan makanan hingga kenyang lalu memuntahkan makanan itu, maka kemudian ia memakan muntahannya kembali.”
Kedua, bersedekah yang diiringi dengan menyakiti. Seperti adanya dokumentasi Ketika memberikan sedekah kepada penerima sedekah kemuadian diunggah ke media sosial. Sehingga orang lain melihatnya dan membuatnya merasa terhina. Akan tetapi semua itu dilakukan demi bertahan hidup meski harus kehilangan harga diri. Contoh lainnya adalah prank sedekah, meskipun sedekah akan tetapi dengan cara membuat korban prank sedekah menjadi sedih, kesal hingga marah.
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 264
Dalam surah al-Baqarah ayat 264, Allah swt berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”
Berdasarkan ayat di atas, ada beberapa hal yang dapat menghapus pahala sedekah. Antara lain sedekah yang diiringi manna dan adza. Menurut Al-Qurthubi, manna adalah menyebut-nyebut nikmat dan memperhitungkannya. Seperti mengatakan, “Aku telah berbuat baik kepadamu”, “Aku telah menolongmu”, dan lain-lain. Sedangkan adza adalah menyakiti hati penerima sedekah dan maknanya lebih umum dari manna.
Selain larangan bersedekah dengan cara menyebut-nyebut dan menyakiti, penghapus pahala sedekah lainnya adalah riya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menggambarkan riya di sini sebagai seorang yang dermawan dengan orientasi duniawi semata tanpa dilandasi keikhlasan, maka pahalanya lenyap di sisi Allah swt.
Penutup
Di era digital, ragam sedekah menyakitkan semakin marak, sedekah berlandaskan riya’ pun semakin potensial. Sebagai konsekuensinya, keikhlasan dalam bersedekah di era ini semakin tidak mudah dan penuh tantangan. Jika sedekah menyakitkan semakin marak, di samping menghapus pahala tentu akan berdampak kepada masyarakat yang terdesak untuk enggan menerima sedekah dan lebih memilih mengambil jalan pintas yang haram seperti cara-cara kriminal.
Surah al-Baqarah ayat 263-264 di atas mengingatkan agar umat Islam bersedekah dengan memperhatikan adab sehingga tidak berimbas pada rusaknya pahala sedekah maupun rusaknya persaudaraan karena tidak menjaga kehormatan sesamanya. Adapun adab yang harus diperhatikan adalah tidak bersedekah dengan manna dan adza serta menghindari riya.
Wallah a’lam.
Editor: An-Najmi
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.