Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Nuzuli Masyāhid al-Qiyāmah (1): Posisi Sayyid Quthb

Quthb
Sumber: https://pin.it/2FISGttj2

Pengenalan kitab Masyāhid Al-Qiyāmah ini berbentuk trilogi bahasan. Untuk bahasan pertama ini akan fokus pada, “di mana posisi dan kecenderungan Sayyid Quthb di dalam kitabnya ini?”. Tujuannya ialah agar tidak terjadi miskonsepsi interaksi dengan Sayyid Quthb dalam fī Ẓilālil-Qur’ān.

Selayang Pandang Sayyid Quthb

Sayyid Quthb bin Quthb Ibrahim lahir di desa Mūsyah, salah satu wilayah kegubernuran Asyut, Mesir Hulu pada tanggal 9 Oktober 1906. Fadal Hasan Abbas dalam Al-Tafsīr wal-Mufassirūn menyebut bahwa Sayyid hidup di lingkungan Islam, ayahnya merupakan sosok yang sangat religius dan berperan besar di dalam pendidikan dan pembentukan karakter seorang Sayyid Quthb.[1]

Sebagai bukti, Sayyid menuangkan rasa terima kasihnya kepada sang orang tua melalui persembahan dua kitab karyanya, yaitu Al-Taṣwīr al-Fannīy dan Masyāhid al-Qiyāmah.

Al-Khalidi dalam Sayyid Quthb al-Adīb al-Nāqid menerangkan detail pendidikan dasar Sayyid yang bermula dari beberapa sekolah di desanya. Di sana, ia hafal Al-Qur’an saat menginjak usia sepuluh tahun. Pada tahun 1920, Ia hijrah menuju kota Kairo dan menempuh pendidikan lanjutan di Madrasah Abdul Aziz. Ia lulus pada tahun 1924 serta mendapat ijazah al-Kafā`ah sebagai legalitas untuk mengajar.[2]

Pada tahun 1929, Sayyid melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi Darul ‘Ulum, Kairo, dan lulus di tahun 1933 dengan mendapatkan gelar sarjana di bidang Bahasa dan Sastra Arab.

Semasa mudanya, Sayyid sudah tertarik dengan bidang al-adab (sastra), al-naqd (kritik/ analisis), dan al-syi’r (syair) serta kepenulisan sastra di beberapa lembaran dan majalah. Bahkan, kedudukan Sayyid pun meningkat di dalam dunia kesusastraan hingga ia menjadi pionir kritik sastra di Mesir dan dunia Arab sekitar tahun 1940-an.

Di saat revolusi Mesir sedang memuncak melalui pergerakan Ikhwanul Muslimin (IM), Sayyid ikut terlibat sebab perhatiannya terhadap Islam menjadi populer kala itu. Implikasinya, pada tahun 1954 ia dipenjara akibat benturan yang terjadi antara Abdul Nasir dan IM. Sayyid Quthb wafat sebelum terbit fajar pada hari senin tanggal 29 Agustus 1966 atau 23 Jumāda al-`Ūlā 1386 H di usianya yang ke-60 sebagaimana keterangan Al-Khalidi dalam Al-Ta’rīf Al-Dārisīn.[3]

Baca Juga  Dilema Transplantasi Stem Cell Embrionik: Tinjauan Perlindungan Jiwa atas QS. Al-Maidah [5]: 32

Perlunya Upaya Periodisasi dan Klasifikasi Karya-Karya Sayyid Quthb

Sebelumnya, Al-Khalidi dalam Sayyid Quthb menyebut bahwa Sayyid Quthb terbilang lambat dan tidak tergesa-gesa di dalam upaya mengkaji sesuatu. Dampaknya, publikasi karya-karyanya juga mengalami keterlambatan.[4]

Ini sebabkan oleh sikap prioritas Sayyid untuk selalu menyuguhkan kajian-kajian, baik kajian sastra maupun keislaman, yang baru secara sistematis hingga ia merasa upayanya telah matang untuk disebarluaskan.

Secara rinci, Al-Khalidi merangkum dua periode kecenderungan kajian dan karya Sayyid Quthb sedari muda hingga masa tuanya.

Pertama adalah kecenderungan sastra beserta kritiknya yang didominasi oleh maqālāt dalam lembaran-lembaran dan beberapa majalah. Periode ini berlangsung sekitar tahun 1925 hingga 1945.

Kedua adalah kecenderungan Islam dan dakwah di mana Sayyid sudah mulai memasuki dunia pemikiran Islam. Periode ini berlangsung sekitar tahun 1945 sampai 1965. Karya-karyanya juga didominasi oleh makalah-makalah keislaman yang terbit dalam beberapa lembaran sebelum ia dipenjara tahun 1954.

Pada masa ini, Al-Khalidi menyebutnya sebagai al-mufakkir al-rā’id (pemikir dan pelopor) dalam dunia tafsir, dakwah, pergerakan, pendidikan, dan jihad.[5]

Ringkasnya, warisan tulisan Sayyid berlangsung selama 40 tahun. 20 tahun awal adalah kecenderungan sastra berikut kritiknya dan peradaban umum (al-ṡaqāfah al-āmmah).  Sementara 20 tahun lainnya adalah kecenderungan pemikiran keislaman.

***

Selain periodesasi, Al-Khalidi juga mengklasifikasikan karya-karya Sayyid ke dalam tiga bentuk.

Pertama adalah maqālāt fis-ṣuḥuf wal-majallāt (makalah-makalah di dalam beberapa lembaran dan majalah). Penulisan karya ini berlangsung selama 30 tahun dari 1924 sampai 1954. Format ini terdiri dari ragam corak. Di antaranya adalah sastra berikut kritiknya yang sebagian terkumpul dalam bukunya “Kutubun Syakhṣiyyātun” dan sosial-masyarakat, seni, perdamaian, politik dan keislaman yang sebagian terkumpul dalam bukunya “Dirāsāt Islāmiyyah”.

Baca Juga  Belajar Menjemput Hidayah Allah Melalui Al-Qur'an

Kedua adalah kutubuhū al-Maṭbū’ah baina Adabiyyah wa Islāmiyyah (buku cetakan antara sastra dan keislaman), berlangsung selama sekitar 30 tahun juga. Sebab, kitab pertamanya “Muhimmatus-Syā’ir fil-Ḥayāt” terbit 1933. Sementara kitab terakhir yang terpublikasi di saat hidupnya, “Ma’ālim fiṭ-Ṭarīq”,dan tafsir “fī Ẓilāl Al-Qur’ān juz 3” terbit 1964.

Dalam format kedua ini, ada total 26 kitab yang tercetak. 13 di antaranya bercorak sastra dan 13 lainnya bercorak pemikiran Islam.

Ketiga adalah buḥūṡun lahū lam tunsyar (kajian-kajian yang belum terpublikasi). Perlu diketahui bahwa karakter Sayyid adalah suka berpindah-pindah dari satu kajian ke kajian lainnya. Sehingga hampir membuang masa yang lama sampai ia menemukan ide-ide yang baru. Beberapa kajian ini terbilang banyak, namun yang ia isyaratkan untuk dipublikasikan di antaranya adalah fī Ẓilāli al-Sīrah dan Hāżā al-Qur’ān.[6]

***

Adapun contoh-contoh karya Sayyid secara spesifik dapat diperinci sebagai berikut:

Pertama dalam corak sastra, kritik dan kisah terdapat Muhimmatus-Syā’ir (1933), Naqd Kitāb “Mustaqbal al-Ṡaqāfah fi Masr” (1939), dan Qaṣaṣul-Anbiyā’ (1947).[7]

Kedua dalam corak keislaman terbagi lagi ke dalam 5 topik atau fase: 1). Topik “keindahan Al-Qur’an”, seperti kitab al-Taṣwīr al-Fanniy fil-Qur’ān (1945) dan Masyāhid al-Qiyāmah (1947); 2). Topik pemikiran Islam sebelum masuk penjara tahun 1954 seperti Al-‘Adālah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām (1948) dan Ma’rakatu al-Islām wa al-Ra`sumāliyah (1951).

3). Topik keislaman saat di penjara, seperti Ḥāżā al-Dīn (1960) dan Al-Mustaqbal li  Ḥāżā al-Dīn (1960); 4). Topik Al-Qur’an dan dakwah pergerakan, seperti fī Ẓilāli al-Qur’ān (1952-1965) dan Ma’ālim fī al-Ṭāriq (1964); 5). Kitab pungkasan pasca di penjara dan sebelum syahidnya tahun 1965, yakni kitab Muqawwamātu al-Taṣawwur al-Islāmīy.[8]

Baca Juga  Minimalis: Kesederhanaan Hidup dalam Al-Qur'an

Kesimpulan: Posisi kitab Masyāhid Al-Qiyāmah

Atas dasar peninjauan periodisasi dan klasifikasi sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa posisi kitab Masyāhid Al-Qiyāmah (1947) masuk ke dalam fase awal kecenderungan Sayyid terhadap Islam dan dakwah, belum pada tahap pergerakan seperti kitab tafsir masyhurnya fī Ẓīlāl Al-Qur’ān.

Diperkuat dengan kedekatan perilisan kitab dengan fase pertama dan dalam kerangka topik “keindahan Al-Qur’an” membuat kitab Masyāhid sarat akan sastra. Dengan demikian, perlu ditekankan bahwa berinteraksi dengan Sayyid Quthb dalam Masyāhid Al-Qiyāmah berbeda dengan Sayyid dalam fī Ẓīlāl al-Qur’ān. (wallāhu a’lam)

*Tulisan ini merupakan bagian pertama dari “Trilogi Pengenalan Tafsir Nuzuli Masyahid al-Qiyamah”. Klik untuk melihat bagian kedua dan ketiga.

Editor: Dzaki Kusumaning SM


Referensi

[1] Fadal Hasan Abbas, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn: Asāsiyātuhū wa Ittijāhātuhū wa Manāhijuhū fī al-‘Aṣr al-Ḥadīṡ Juz 2, (Yordan: Dar al-Nafais, 2015), h. 360.

[2] Ṣalāḥ Abd al-Fattāḥ Al-Khālidī. Sayyid Quthb: Al-Adīb Al-Nāqid, Wa Al-Dā’iyah Al-Mujāhid Wa Al-Mufakkir Al-Mufassir Al-Ra`id, (Damaskus: Darul Qalam, 2000), h. 65-85.

[3] Ṣalāḥ Abd al-Fattāḥ Al-Khālidī, Ta’rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufassirīn, (Damaskus: Dar al-Qalam. 2008), h. 597-599.

[4] Al-Khālidī. Sayyid Quthb: Al-Adīb Al-Nāqid, h. 307.

[5] Ibid, h. 305-306.

[6] Ibid, h. 311-322.

[7] Ibid, h. 323.

[8] Ibid, h. 361.