Pandangan klasik tentang kedudukan perempuan dalam Islam hampir tidak berubah hingga masa modern sekarang ini dimana struktur sosial pra Islam yang kesukuan dan merujuk pada apa yang disebut jahiliyah (yakni masa kebodohan) dalam literatur Islam masih tetap terjadi. Padahal mestinya, zaman modern dapat melahirkan manusia yang berpengetahuan luas, dan dengan begitu, diharapkan mampu memahamai wahyu al-Qur’an secara lebih humanis, dalam rangka memerangi praktik-praktik jahiliyah tersebut. Di sini peran Al-Qur’an tidak hanya menentang semua praktik-praktik kesewenang-wenangan itu, tetapi juga menanamkan norma-norma yang pasti dan memposisikan perempuan dalam status yang jelas, setara dengan laki-laki.
Tafsir Penciptaan Perempuan : Antara Klasik Patriarki dan Feminis Kontemporer
Di dunia Islam saat ini, telah lahir beberapa mufassir feminis-kontemporer yang menyuarakan hak-hak perempuan. Untuk keberhasilan misinya, mereka menafsir ulang ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan perempuan. Di mana, ayat-ayat tersebut oleh kebanyakan para mufassir klasik patriarki ditafsirkan secara tekstual, yang menganggap laki-laki adalah superior sedangkan perempuan adalah inferior, dan secara kultural diperlakukan sebagai makhluk sekunder (secondary creation). Berbeda dengan mufassir patriarkis klasik, para mufassir-feminis kontemporer mencoba mengkontekstualisasikan ayat-ayat tentang perempuan tersebut sesuai perkembangan zaman dan seiring lantangnya suara-suara kaum perempuan yang menuntut hak-haknya. Selain itu pula, mufassir feminis kontemporer mencoba menempatkan perempuan di garda depan tanpa menghilangkan ruh-ruh kodratinya. Sebab, mereka yakin dengan ungkapan bahwa al–Qur’an shâlihun likulli zamân wa makân.
Ide penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak berbeda dengan cerita-cerita Israiliyyat yang bersumber dari agama samawi sebelumnya, Yahudi dan Kristen. Ada tiga asumsi teologis yang menyebabkan munculnya ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam agama samawi, Yaitu :
(1) Bahwa ciptaan yang utama adalah laki-laki dan bukan perempuan, karena perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk Adam sehingga secara ontologism bersifat derivative dan sekunder
(2) Perempuan adalah penyebab utama kejatuhan dan pengusiran manusia dari surge Aden. Karena itu anak perempuan (Hawa) harus dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik
(3) Perempuan tidak hanya dari laki-laki namun juga untuk laki-laki, sehingga eksistensinya bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar.
Berbeda dengan pandangan Alquran, tidak ada satu ayat pun yang mendukung pendapat yang menyatakan asal kejadian perempuan-perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Namun sebaliknya Alquran mendukung prinsip-prinsip kesamaan dan kesetaraan di hadapan Tuhan dengan menekankan unsur-unsur persamaan dalam kejadian Adam dan Hawa.
Tafsir Sufisme tentang Penciptaan Perempuan
Jika dibandingkan kalam dan fikih, sufisme nampak lebih fleksibel dan lebih adil memperlakukan perempuan, karena seperti yang diungkapkan oleh Leonard E. Hudson, dalam sufisme tidak dikenal identitas gender. Sementara dalam fikih, diferensiasi gender begitu mengemuka. Sekedar contoh; dalam sebuah jamaah shalat yang teridiri dari laki-laki dan perempuan sekaligus, seorang perempuan tidak boleh menjadi imam, beberapa pun dalam kenyataannya, misalnya tidak ada laki-laki yang lebih mampu dari perempuan itu. Sebaliknya dalam sufisme, identitas gender menjadi tidak begitu berpengaruh.
Bahkan ketika memberi komentar tentang Rabi’ah al-Adawiyah, Eric Winkel mengungkapkan bahwa sufisme menggambarkan perempuan yang mengejar spritualitas dan kehidupan sosialnya, berbeda dari apa yang digambarkan atau apa yang lazim terjadi pada diri perempuan dalam masyarakat dominan, perempuan memperoleh control penuh dan otonomi yang sah sebagai penghormatan terhadap identitasnya sebagai perempuan dan bukan sebagai istri, budak dan tidak pula berada di bawah kekuasaan laki-laki. Lebih jauh Winkel kemudian mengatakan bahwa cerita-cerita sufi Rabi’ah al-Adawiyah menegaskan bahwa aspek biologis dan gender bukanlah satu-satunya dasar atau dasar paling utama bagi relasi laki-laki dan perempuan, yang dengannya bermakna bahwa gender bukan pula faktor signifikan dalam menilai kualifikasi manusia.
Banyak kalangan telah mencoba memahami teks Alquran tentang proses penciptaan feminim yang berimplikasi pada beragamnya pengetahuan dan perlakuan terhadap feminism dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya Abdullah Yusuf Ali menafsirkan Surat an-Nisa’ ayat 1, dia memulai dengan menafsirkan kata Nafs: mengandung beberapa arti 1) nyawa, 2) diri, 3) person, 4) kemauan diri sendiri atau senang hati.
Sufisme memiliki pandangan yang lain terhadap feminisme. Pada tataran sufisme, perempuan memiliki posisi yang sangat terhormat, sebab yang dilihat dalam sufisme bukan aspek maskulin dan feminism, akan tetapi lebih pada aspek kondisi hati mereka dalam mencapai Tuhan. Karena yang terpenting dalam dunia sufisme adalah kesucian hati, maka ini sangat berkaitan dengan hati masing-masing. Boleh jadi hati seorang perempuan terkadang lebih suci dibandingkan dengan hati seorang laki-laki.
Dengan demikian dalam dunia sufisme tidak menutup kemungkinan seorang perempuan akan mencapai posisi terpuncak. Ibn ‘Arabi mengoreksi mereka yang mengira bahwa kaum wanita lebih rendah dibandingkan dengan pria dalam kemungkinan-kemungkinan pencapaian spiritual mereka. Mereka bahkan dapat menjadi qutub, penguasa spiritual tertinggi dari masa yang kepadanya bergantung eksistensi kosmos. Lagi pula kaum wanita mempunyai pencapaian-pencapaian tertentu yang tidak dapat diraih oleh kaum pria, suatu titik yang kepadanya kiasan-kiasan dibuat di dalam kata “wanita” (mar’ah) itu sendiri yang diterapkan pada mereka. Jelas bahwa beberapa orang sufi telah mengutip beberapa hadis sebagai bukti bahwa kaum wanita dapat menjadi qutub.
Dalam pandangan Jalaluddin al-Rumi, perempuan adalah bentuk luar dari jiwa, sementara pria adalah bentuk luar dari ruh. Jiwa adalah bagian dari ruh, sebab jiwa adalah salah satu dari entifikasi yang termasuk di bawah ruh pertama, yang dikenal sebagai “Adam sejati”. Jiwa adalah salah satu turunan dari Ruh ini. Maka wanita dalam realitas adalah turunan dari lelaki, dan setiap bagian merupakan bukti dari asal akarnya. Jadi wanita adalah bukti dari pria dan pria adalah bukti dari lelaki sebab Nabi berkata, “Barangsiapa mengenal jiwanya akan mengenal Tuhannya”. Bukti itu sendiri mendahului sesuatu yang dibuktikannya. Maka ia menempatkan wanita di tempat pertama.”
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply