Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Masyāhid al-Qiyāmah (3): Metodologi Tafsir dan Aplikasinya

KItab Masyāhid al-Qiyāmah
Sumber: dok. pribadi

Setelah mengetahui bagaimana latar belakang penulisan dan alasan penggunaan susunan nuzul pada kitab “Masyāhid al-Qiyāmah”, fokus bahasan terakhir ini adalah pendalaman peninjauan metodologi tafsir sekaligus contoh konkret dari penafsirannya.

Metode Penafsiran Kitab Masyāhid al-Qiyāmah

Maksud dari metode penafsiran di sini adalah tata kerja analisis penafsiran, sebagaimana mengacu pada definisi Islah Gusmian dalam bukunya Khazanah Tafsir Indonesia.[1] Ia mencakup metode riwayat (ma’ṡūr) dan pemikiran (ra’yu).

Metode penafsiran kitab Sayyid Qutb ini masuk ke dalam kategori metode pemikiran. Buktinya ialah pernyataannya dalam “marāji’ hāżal-kitāb”bahwa ia merujuk Al-Qur’an secara langsung dan melandaskan pemahamannya sendiri, sementara beliau mengklaim dirinya sebagai ahli dalam bidang gaya bahasa Al-Qur’an. Klaimnya untuk menggunakan tarjih mandiri di dalam persoalan yang jarang terjadi semakin menguatkan penjelasan di atas.

Meski demikian, ia juga mengaku telah banyak membaca kitab-kitab tafsir, seperti tafsir Al-Baidhawi, Abi Su’ud, Al-Zamakhsyari, dan Al-Razi. Tujuannya ialah untuk mengetahui pemikiran mereka, namun tidak menetapkannya sebagai rujukan langsung. Dengan demikian, metode pemikiran Sayyid di sini masuk ke dalam analisis kebahasaan dan nuansa sastra.[2]

Di samping penggunaan susunan nuzul, kitabnya dapat kita kategorikan sebagai ijmāli (global/ringkas) sekaligus tematis. Hal yang membuktikan ini ialah ungkapan Sayyid sendiri, “ba’īdan ‘an ḥażalaqāt al-tabwīb wat-taqsīm” (menghindari penonjolan penggolongan dan pembagian bahasan), serta fokus topik bahasannya masyāhid al-qiyāmah (penampakan hari kiamat).[3]

Sekilas Muatan Kitab: Perihal Hari Kiamat

Sebelum menguraikan inti kajian “Masyāhid al-Qiyāmah”di setiap suratnya, Sayyid Qutb mengawali dua pasal panjang berikut:

Pertama adalah Al-‘Ālam al-Ākhar fī al-Ḍamīr al-Basyarī (alam akhirat di dalam kesadaran manusia). Di dalamnya berisi konsep hari akhir berikut segala praharanya dari sudut pandang berbagai agama dan pemikiran manusia.[4]

Kedua adalah Al-‘Ālam al-Ākhar fī al-Qur’ān (Alam Akhirat di dalam Al-Qur’an). Berisi pembahasan hari akhir dalam pandangan Al-Qur’an secara khusus sekaligus sebagai pengantar umum kitab Masyāhid ini. Dalam pasal ini, Sayyid menegaskan bahwa “penampakan hari kiamat” merupakan objek penggambaran yang paling tampak di dalam Al-Qur’an.[5]

Baca Juga  Pembebasan Perempuan dan Melepas Hijab Perspektif Ast-Tsa‘alabi

Secara spesifik, Sayyid menerangkan bahwa maksud dari Masyāhid al-Qiyāmah sendiri adalah al-ba’ṡ wal-ḥisāb (kebangkitan dan perhitungan amal) dan al-na’īm wal-ażāb (kenikmatan dan siksa).[6] Sementara maksud istilah “masyāhid” ialah “allażī tatawāfaru fīhi al-ṣūrah wa al-ḥarakah wa al-īqā’”(hal-hal yang memiliki unsur gambaran, gerakan dan keselarasan/ritme).[7]

Berdasar definisi tersebut, beberapa ungkapan Al-Qur’an tentang “janji hari akhir”, “surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai”, begitu pun “siksa yang pedih” tidak akan Sayyid tafsirkan dalam kitab ini apabila tidak diiringi dengan penggambaran yang jelas (masyhadun syākhiṣun).

Dengan kata lain, ia hanya memilih penampakkan hari kiamat yang benar-benar tergambar secara inderawi/konkret (maḥsūs), bukan hanya berbentuk isyarat.[8]

Inti Pembahasan pada Masyāhid al-Qiyāmah

Memasuki bahasan inti “Masyāhid al-Qiyāmah”, penulisan nama surah berikut catatan kaki yang memuat keterangan urutan dan tempat turun surah menjadi basis dasar penyajian kitabnya.

Jika di dalam suatu surah terdapat ayat-ayat yang tempat turunnya berbeda, maka akan ada keterangan pengecualiannya. Sebagai contoh Q.S. Al-Muzzammil [73]. Sayyid menjelaskan dalam catatannya: “al-Sūrah al-Ṡāliṡah. Makkiyyatun illā ṡalāṡa āyātin” (Ini adalah surah ketiga: periode Makkah kecuali tiga ayat).

Perlu ditegaskan bahwa tidak semua surah ditafsirkan, salah satunya adalah Q.S. Al-Fatihah [1]. Ini bermuara pada pertimbangan tematisnya yang hanya mengkhususkan pembahasan “penampakan hari kiamat”. Implikasinya, terdapat penambahan keterangan pada catatan kaki terkait surah yang tidak memiliki keterkaitan dengan temanya tersebut.

Q.S. Al-Lahab [111] misalnya. Sayyid berkata sebagai berikut:

al-Sūrah al-Sādisah Makkiyyatun sabaqathā sūrah al-Fātiḥah wa laisa fīhā syaiun min masyāhid al-qiyāmah wa in kānat fīhā isyāratun ilaihā

Baca Juga  Tafsir Masyāhid al-Qiyāmah (2): Latar Belakang & Susunan Nuzuli

(Ini – Q.S. Al-Lahab – surah keenam periode Makkah yang (turun) setelah surah Al-Fatihah di mana tidak ada pembahasan sedikitpun mengenai penampakan hari kiamat, walau ada isyarat tersebut di dalamnya).[9]

Kemudian Q.S. Al-Qalam [68] berikut, “al-Sūrah al-Ṡāniyah, sabaqathā sūrah al-‘Alaq, wa fīhā isyāratun ‘āriḍatun li al-qiyāmah” (Ini – Q.S. Al-Qalam – surah kedelapan setelah surah Al-‘Alaq di mana di dalamnya hanya terdapat isyarat keterangan hari kiamat).[10]

***

Dengan demikian, Sayyid Qutb hanya menafsirkan surah-surah yang secara jelas masuk ke dalam definisi “masyāhid”dan topik “al-qiyāmah”. Karenanya, Q.S. Al-‘Alaq [96] dan Q.S. Al-Fatihah [1] tidak beliau sematkan ke dalam tafsirnya.

Sebab alasan tematisnya juga, Sayyid hanya menampilkan ayat-ayat relevan di dalam setiap surah pilihannya. Q.S. Al-Qalam [68] misalnya, ia hanya mengambil ayat 42-43.

Meski demikian, apabila ada suatu surah yang ia anggap mengandung masyāhid secara keseluruhan, maka beliau akan menampilkan satu surah akan secara utuh. Contohnya adalah Q.S. Al-Lahab [111] atau Al-Masad dalam penggunaan Sayyid.

Sisi Artistik Q.S. Al-Lahab sebagai Contoh Penafsiran

Secara ringkas, paling tidak ada tiga aspek artistik yang Sayyid Qutb temukan di dalam Q.S. Al-Lahab [111].[11] Pertama adalah adanya keselarasan diksi dan penggambaran (tanāsuq fil-lafẓi wa tanāsuq fiṣ-ṣurah), yaitu dengan api yang bergejolak (nāran żāta-lahab) sebagai tempat siksa bagi Abū Lahab.

Lalu, istrinya yang digambarkan sebagai pembawa kayu bakar (al-ḥaṭab) selaras dengan fungsinya sebagai sumbu atas gejolak api tersebut (al-lahab). Pola ini diperkuat dengan pekerjaan sang istri, yakni mengikat erat kayu dengan tali yang selaras dengan gambaran siksa sang suami, yaitu dipintalnya leher Abu Lahab dengan tali dari sabut (fī jīdihā ḥablum-min masad).

Baca Juga  Menata Ulang Pemahaman Kita: Wanita Kurang Akal dan Agama

Dengan demikian, penggambaran Al-Qur’an terhadap siksa Abu Lahab tampak sempurna dengan penggambaran profesi sang istri.

Kedua adalah keselarasan bunyi pelafalan (tanāsuq fī jarasil-kalimāt). Sayyid melihat bagaimana suara dari ikatan tali-tali yang mengikat kayu bakar selaras dengan suara tali dari sabut yang memintal leher. Ia menilai bacaan “tabbat yadā abī lahabiw-watabb” mengandung sisi keras dan kuat yang serupa dengan kerasnya kayu bakar berikut ikatannya.

Ketiga adalah keselarasan nada dan irama (tanāsuqul-jaras al-mūsīqīy). Sayyid menemukan keselarasan ini pada jenis diksi dan pertimbangan padanan ungkapan (ta’bīr). Seluruhnya tampak sempurna hanya dalam rangkaian lima ayat serta surah pendek ini.

Terakhir, Sayyid menegaskan bahwa terkadang nilai seni atau sisi artistik suatu surah tidak akan terasa jelas bagi mereka yang kecenderungannya hanya pada aspek makna (al-ma’ānī), namun menafikan aspek penjiwaan (al-żihn).

Oleh sebab itu, secara tidak langsung ia mengajak para pembaca untuk menekankan sisi emosional atau penjiwaan (al-wujdān) terhadap bagaimana Al-Qur’an mengungkapkan penggambaran (al-ṣuwar), ritme (al-īqā’) dan keselarasan (al-tanāsuq). Dengannya para pembaaca dapat merasakan tingginya nilai seni kitab suci umat Muslim tersebut.(Wallāhu a’lam)

*Tulisan ini merupakan bagian kedua dari “Trilogi Pengenalan Tafsir Nuzuli Masyahid al-Qiyamah”. Klik untuk melihat bagian pertama dan kedua.

Editor: Dzaki Kusumaning SM


Referensi

[1] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 120.

[2] Sayyid Qutb, Masyāhid al-Qiyāmah, h. 273.

[3] Ibid, h. 11.

[4] Lihat: Ibid, h. 13-41.

[5] Lihat: Ibid, h. 42-57.

[6] Ibid, h. 42.

[7] Ibid, h. 10.

[8] Ibid, h. 42.

[9] Ibid, h. 65.

[10] Ibid, h. 58.

[11] Lihat: Ibid, h. 65-67.