Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Masyāhid al-Qiyāmah (2): Latar Belakang & Susunan Nuzuli

Sayyid Qutb dan Sistematika Tafsirnya
Sumber: https://pin.it/6dQhAZfTJ

Setelah mengetahui posisi Sayyid Qutb dalam Masyāhid Al-Qiyamah melalui kerangka periodesasi karya-karyanya, bahasan kedua ini fokus pada “bagaimana latar belakang penulisan kitab ini? Dan mengapa ia menggunakan susunan nuzul surah sebagai sistematika penafsirannya?”.

Latar Belakang Penulisan

Kitab Masyāhid Al-Qiyāmah[1] adalah bagian dari proyek besar Sayyid Qutb “Maktabah Al-Qur’ān Al-Jadīdah”. Yaitu sebuah serial/rangkaian kepustakaan bertajuk “Al-Qur’ān Al-Jamāliyyah” (Keindahan Al-Qur’an) dengan kitab Al-Taṣwīr al-Fannī fil-Qur’ān (1945) sebagai pondasinya. Tujuannya sendiri adalah untuk menyingkap sisi artistik keindahan ungkapan Al-Qur’an sebagaimana diungkapkan oleh Al-Khalidi dalam Sayyid Quṭb al-Adīb al-Nāqid.[2]

Sebelumnya, Al-Khalidi menyebut bahwa awal keterkaitan Sayyid sebagai seorang pengkaji ulung khusus Al-Qur’an (bukan lagi sebagai sastrawan ansih) berlangsung sejak tahun 1940 sampai 1965. Hal ini tentu menjadi salah satu faktor Sayyid dalam perencanaan proyeknya, yakni menjadikan Al-Qur’an secara praktis sebagai objek bahasan dalam nuansa sastra.[3]

Dalam pengantar Sayyid Qutb “bayān” (h. 7),[4] kitab Masyāhid Al-Qiyāmah ini adalah seri kedua dalam proyeknya setelah Al-Taṣwīr al-Fannī.[5] Ia sebenarnya berencana mengeluarkan kitab-kitab lain, yakni: Al-Qiṣṣah baina al-Taurāt wal-Qur’ān, Al-Namāżijul-Insāniyyah fīl-Qur’ān, Al-Manṭiqul-Wijdānīy fīl-Qur’ān, dan Asālībul-‘Araḍ al-Fannīy fīl-Qur’ān. Namun faktanya hanya kitab Masyāhid dan al-Taṣwīr yang tercetak.[6]

Secara khusus, kitab Masyāhid Al-Qiyāmah (1947) adalah bentuk persembahan untuk sang ayah yang telah menumbuhkan rasa takut Sayyid kecil terhadap hari akhir.[7] Kemudian, berdasar tujuan proyek Sayyid sebelumnya, kitab ini mengkhususkan analisis artistiknya pada bagaimana ungkapan penggambaran “masyāhid al-qiyāmah” (pertunjukan/pemandangan hari kiamat) di dalam Al-Qur’an. Berbeda dengan kitab dasarnya Al-Taṣwīr yang menganalisis sisi artistik Al-Qur’an secara umum.[8]

Baca Juga  Konsep Feminisme Sayyid Qutb dalam Tafsir Q.S Al-Hujurat Ayat 13

Dengan demikian, kitab Masyāhid ini tampak seperti penafsiran sekaligus refleksi Sayyid secara tematis terhadap bagaimana Al-Qur’an menggambarkan pemandangan hari kiamat dalam kacamata analisis-sastra.

Sistematika Tartib Nuzul dan Alasan Penggunaannya

Sayyid Qutb dalam “marāji’ hāżal-kitāb”menerangkan bahwa tartib (red: pengurutan) surah serta keterangan makkiyyah madaniyyah kitabnya ini bersumber dari beberapa taḥqīq mushaf Al-Amiri.[9] Adapun susunan surah-surahnya adalah sebagai beikut:

1). Al-Qalam, 2). Al-Muzzammil, 3). Al-Muddaṡṡir, 4). Al-Lahab, 5). Al-Takwīr, 6). Al-A’lā, 7). Al-Fajr, 8). Al-Ādiyāt, 9). ‘Abasa, 10). Al-Burūj, 11). Al-Qāri’ah,12). Al-Qiyāmah, 13). Al-Humazah, 14). Al-Mursalāt, 15). Qāf, 16). Al-Ṭāriq, 17). Al-Qamar, 18). Ṣād, 19). Al-A’rāf, 20). Yāsīn.

21). Al-Furqān, 22). Fāṭir, 23). Maryam, 24). Ṭāhā, 25). Al-Wāqi’ah, 26). Al-Syu’arā`, 27). Al-Naml, 28). Al-Qaṣaṣ, 29). Al-Isrā`, 30). Yūnus, 31). Hūd, 32). Al-Ḥijr, 33). Al-An’ām, 34). Al-Ṣāffāt, 35). Luqmān, 36). Saba`, 37). Ghāfir, 38). Al-Zumar, 39). Fuṣṣilat, 40). Al-Syūrā.

41). Al-Zukhruf, 42). Al-Dukhān, 43). Al-Jāṣiyah, 44). Al-Aḥqāf, 45). Al-Żāriyyāt, 46). Al-Ghāsyiyah, 47). Al-Kahfi, 48). Al-Naḥl, 49). Ibrāhīm, 50). Al-Anbiyā`, 51). Al-Mu’minūn, 52). Al-Sajdah, 53). Al-Ṭūr, 54). Al-Mulk, 55). Al-Ḥāqqah, 56). Al-Ma’ārij, 57). Al-Naba`, 58). Al-Nāzi’āt, 59). Al-Infiṭār, 60). Al-Insyiqāq.

61). Al-Rūm, 62). Al-‘Ankabūt, 63). Al-Muṭaffifīn, 64). Al-Baqarah, 65). Ali Imrān, 66). Al-Ahzāb, 67). Al-Nisā`, 68). Al-Zalzalah, 69). Al-Ḥadīd, 70). Muḥammad, 71). Al-Ra’du, 72). Al-Raḥmān, 73). Al-Insān, 74). Al-Nūr, 75). Al-Ḥajj, 76). Al-Mujādalah, 77). Al-Taḥrīm, 78). Al-Taghābun, 79). Al-Māidah, 80). Al-Taubah.

Sementara alasan Sayyid menggunakan sistematika tartib nuzul adalah hasil ijtihad dan pilihannya setelah beberapa pertimbangan sistematika lain untuk menerangkan tema “masyāhid al-qiyāmah”.

Ia, dalam pengantar kitabnya, memilih metode penjelasan yang sangat memperhatikan tatanan tarikh, yakni tartib nuzul surah, di samping memang adanya keterangan tartib tersebut.

Baca Juga  Planologi Qur’ani: Bedah al-Jumu‘ah: 9 dengan Semiotika Peirce

Dilema Sayyid Qutb dalam Menetapkan Sistematika Tartib Nuzul

Meski demikian, ia sebenarnya mengakui bahwa tartib surah ini adalah upaya pendekatan yang belum jelas kepastiannya (wa żālika ‘amalun taqrībiyun lā jazma fīhi). Akan tetapi, tartib tersebut adalah satu-satunya dokumentasi yang ia peroleh pada abad ke-14 H.

Ketidakjelasan tartib ini berdampak pada keyakinannya bahwa di dalam susunan tersebut terdapat titik lemah. Pasalnya hal tersebut ma’rūf (sudah banyak yang mengetahuinya) bahwa satu surah tidak turun sekaligus.

Di sisi lain, Sayyid sendiri tidak memiliki daftar catatan yang sempurna atas asbābun-nuzūl dan sejarah turun surah yang akurat. Bahkan, ayat-ayat yang diketahui sebab turun dan sisi historisnya sekalipun memiliki perbedaan pandangan yang bervariasi. Hal ini menguatkan pernyataannya bahwa ranah tersebut tidak lain adalah bersifat żann (dugaan) dan memerlukan tarjīḥ (pengunggulan). Pada akhirnya, penggunaan tartib tersebut adalah pilihannya.[10]

Alhasil, Sayyid di satu sisi meyakini bahwa tidak ada kepastian atas keabsahan tartib nuzul. Namun, di sisi lain eksistensinya tidak dapat dinafikan secara utuh sehingga sisi ijtihad setiap mufasir untuk menggunakan atau tidaknya susunan tersebut tampak mewarnai diskursus tafsir tartib nuzul ini.

Di antara mufasir yang memilih untuk menggunakan susunan ini adalah: Pertama, Abdul Qadir Mulla Huwaisy (w. 1978) dalam Bayān Al-Ma’ānī. Kedua, M. Izzat Darwazah (w. 1984) dalam Al-Tafsir Al-Ḥadīṡ. Dan ketiga, Sayyid Qutb dalam kitabnya ini.

Penutup: Sekeping Konklusi

Pada akhir-akhir pengantarnya, pemilihan Sayyid terhadap penggunaan tartib nuzul ini disebabkan oleh susunan tersebut dapat menjadi cara tepat untuk mengantarkan pembaca dalam meninjau sisi artistik/keindahan ungkapan penggambaran hari kiamat di dalam Al-Qur’an.[11]

Di sisi lain, Sayyid mengklaim bahwa sisi artistik tersebut hanya dapat diperoleh dengan meninjau gambaran hari akhir secarakontekstual dan utuh dari keseluruhan Al-Qur’an. Secara ringkas, ia menghendaki tafsir yang kontekstual dan tersistematis dalam tatanan tarikh. (wallāhu a’lam).

Baca Juga  Tafsir Masyāhid al-Qiyāmah (3): Metodologi Tafsir dan Aplikasinya

*Tulisan ini merupakan bagian kedua dari “Trilogi Pengenalan Tafsir Nuzuli Masyahid al-Qiyamah”. Klik untuk melihat bagian pertama dan ketiga.

Editor: Dzaki Kusumaning SM


Referensi

[1] Sayyid Qutb, Masyāhid al-Qiyāmah fī al-Qur’ān, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2006).

[2] Al-Khālidī. Sayyid Quṭub: Al-Adīb Al-Nāqid, h. 361.

[3] Ibid, h. 310.

[4] Sayyid Qutb, Masyāhid al-Qiyāmah, h. 7.

[5] Sayyid Qutb, Al-Taṣwīr Al-Fannī Fī Al-Qur’ān, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2004).

[6] Al-Khālidī. Sayyid Quṭub: Al-Adīb Al-Nāqid, h. 376.

[7] Sayyid Qutb, Masyāhid al-Qiyāmah, h. 5.

[8] Sayyid Qutb, Masyāhid al-Qiyāmah, h. 9-10 & Al-Khālidī. Sayyid Quṭub: Al-Adīb Al-Nāqid, h. 377.

[9] Sayyid Qutb, Masyāhid al-Qiyāmah, h. 273.

[10] Sayyid Qutb, Masyāhid al-Qiyāmah, h. 10-11.

[11] Ibid, h. 11.