Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Kata Iri. Benarkah Dilarang?

iri
sumber: freepik.com

Sebagai manusia biasa, siapakah yang tidak pernah merasakan yang iri dalam dirinya sendiri terhadap orang lain? Sebelum saya membahas lebih jauh, saya ingin menegaskan kembali bahwasannya iri merupakan suatu sifat yang pasti ada dalam diri manusia. Sifat iri tentu berbeda dengan sifat balas dendam, karena seringkali orang mengidentikkan kata iri dan balas dendam dalam lingkup yang sama.

Manusia diciptakan oleh Allah dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Ada yang pintar dan bodoh, miskin dan kaya, gemuk dan kurus. Hal ini tentunya tidak terlepas agar bagaimana manusia bisa saling memenuhi dan melengkapi satu dengan yang lainnya.

Iri yang Diperbolehkan

Manusia pada umumnya kerapkali dihinggapi oleh rasa iri dalam diri. Entah kepada orang tua, tetangga, kerabat, sahabat, teman dekatnya. Manusia seringkali merasa iri apabila orang lain mendapatkan sebuah kenikmatan dari Allah, mereka cenderung menatap kenikamatannya saja tanpa melihat proses yang mereka lakukan sebelumnya.

Mungkin kita mendengar bahwasannya iri tidak diperbolehkan dalam Islam, tetapi apakah semua jenis iri dilarang olehnya? Tentu saja tidak. Islam adalah agama yang menyukai kedamaian, keindahan, kesederhanaan, kebersamaan dan lain-lain. Lantas betulkah Islam memperbolehkan sifat ini? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu digarisbawahi apakah iri yang diperbolehkan itu.

Rasulullah sebagai pembawa Islam rahmatan lil ‘alamin di muka bumi ini, beliau memperbolehkan iri kepada dua orang. Beliau bersabda:

Tidak boleh ada rasa iri dengki kecuali kepada dua orang, yakni orang yang diberikan harta oleh Allah, lalu ia membelanjakan hartanya di jalan kebenaran dan orang yang diberikan (Ilmu) oleh Allah, lalu ia mengamalkannya.” (HR. Bukhari).

Di dalam hadits diatas Rasulullah memperbolehkan adanya sifat iri di dalam diri manusia pada dua kriteria dua orang tersebut, sehingga kebiasan dan tingkah laku yang mereka lakukan bisa diikuti oleh orang lain.

Baca Juga  Memaknai Kebohongan Perpekstif Islam

Pertama, orang yang diberikan rezeki oleh Allah, lalu ia membelanjakannya di jalan yang benar. Artinya orang tersebut tidak membelanjakan hartanya secara berlebihan, berfoya-foya, dan menghambur-hamburkan uang demi kepentingan yang tidak jelas manfaatnya. Ia senantiasa memanfaatkan hartanya untuk menata pribadinya menjadi lebik baik lagi, untuk menafkahi keluarganya, membantu kerabatnya, dan mensedekahkannya untuk fakir miskin. Karena sifat yang mulia inilah orang orang iri kepadanya.

Kedua, orang yang diberikan ilmu lebih oleh Allah Swt, lalu mereka senantiasa mengamalkan dan mengajarkannya. Dalam artian seseorang yang diberikan ilmu oleh Allah, dia senantiasa mengajarkan dan mengamalkan ilmu yang dia peroleh dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga orang lain pun merasa iri kepadanya.

Sifat yang Tidak Diperbolehkan

Manusia terkadang atau seringkali menafsirkan sebuah kata dalam makna yang sempit, berpandangan pada satu padangan saja tidak cukup karena pada akhirnya akan menyempitkan sebuah pemikiran. Betapa sering kita memiliki sifat ini, sehingga mengakibatkan rusaknya hubungan persaudaraan kita.

Sifat ini berawal dari rasa tidak suka, tidak senang, tidak nyaman, dengan semua apa yang diperoleh oleh orang lain. Dia merasa bahwa kenikmatan yang dia dapatkan tidak sepadan dengan yang orang lain dapatkan, baik berupa harta kekayaan, kenikmatan dalam berkeluarga dan lain-lain.

Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah tidak serta merta secara sempurna, hal ini bertujuan agar mereka menjalin hubungan yang baik antara satu dengan yang lain dalam hal meraih kebahagian dunia dan akhirat.

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki ada sebagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada sebagian pula apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah dari sebagian karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Surah An-Nissa: 32).

Baca Juga  Makna Arba’atun Hurum dalam Surah Al-Taubah :9[36] Perspektif Tafsir Mafatih al-Ghaybi

Dari paparan diatas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan terkait sifat ini yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, sehingga kita tidak salah menyikapi makna dan konteks iri, yang pada akhirnya berakibat pada kerusakan hubungan persaudaraan antar umat muslim. Wallahu a’lam bissawab.

Editor: Rubyanto