Pendahuluan: Kebekuan Pembacaan Al-Qur’an dan Kelahiran Tafsir Perempuan
Tafsir Al-Qur’an adalah produk pemahaman manusia atas teks suci. Dalam sejarahnya, mayoritas penafsir berasal dari kalangan laki-laki yang hidup dalam masyarakat patriarkal. Oleh karena itu, banyak ayat yang ditafsirkan dari sudut pandang yang maskulin dan tidak sensitif terhadap realitas perempuan.[1]
Tafsir feminis lahir sebagai respons terhadap kecenderungan tersebut. Ia menawarkan pendekatan pembacaan ulang terhadap Al-Qur’an dengan menekankan prinsip keadilan dan kesetaraan gender. Tafsir ini bukan untuk menentang teks wahyu, tetapi untuk mengkaji ulang cara teks itu dibaca dan dimaknai selama ini.
Dalam klasifikasi madzahib tafsir, pendekatan feminis sering dimasukkan ke dalam tafsir tematik dan ideologis. Pendekatan ini mengangkat tema-tema spesifik tentang relasi gender, seperti kepemimpinan, warisan, hingga poligami, dan mengkaji ulang dengan metode kontekstual dan kritis.[2]
Tafsir Feminis: Tokoh dan Perkembangan Pemikirannya
Tokoh-tokoh seperti Aminah Wadud, Fatima Mernissi, Asma Barlas, dan Riffat Hassan telah membuktikan bahwa perempuan juga mampu menafsirkan teks Al-Qur’an dengan pendekatan ilmiah yang kuat. Mereka tidak hanya membaca, tetapi juga menggugat tafsir lama yang selama ini mengukuhkan struktur patriarki.[3]
Misalnya, dalam Q.S. An-Nisa ayat 34 tentang qiwamah, tafsir feminis menolak pemahaman bahwa laki-laki adalah penguasa absolut atas perempuan. Sebaliknya, qiwamah dilihat sebagai tanggung jawab sosial yang sifatnya kontekstual, bukan penetapan hierarki gender.[4]
Demikian pula dalam ayat warisan yang menetapkan bagian laki-laki dua kali lipat dari perempuan. Tafsir feminis mengkritisi bahwa ketentuan ini lahir dalam konteks sosial tertentu dan tidak boleh dimaknai secara kaku di masa kini yang telah mengalami perubahan besar.[5]
Kesadaran Perempuan dalam Membaca Teks Wahyu
Di era modern, perempuan hadir aktif di ruang publik, termasuk dalam dunia keilmuan Islam. Banyak perempuan yang kini menjadi akademisi, ulama, dan penulis tafsir. Ini membuktikan bahwa tafsir tidak lagi menjadi milik laki-laki saja, melainkan milik semua pencari makna.[6]
Tafsir feminis bukan sekadar upaya intelektual, tetapi juga perjuangan untuk mengembalikan ruh keadilan dalam Islam. Ia membuka pintu ijtihad bagi perempuan dan membongkar sekat-sekat tafsir klasik yang kadang membungkam suara perempuan dalam teks dan realitas.[7]
Kritik terhadap tafsir feminis tentu masih ada. Sebagian kalangan menuduhnya sebagai bentuk westernisasi pemikiran Islam. Namun, tuduhan itu mengabaikan kenyataan bahwa pendekatan ini justru lahir dari pembacaan mendalam terhadap Al-Qur’an sendiri.
Tafsir feminis mengajak kita untuk membedakan antara teks suci dan tafsir yang bersifat manusiawi. Dengan menyadari ini, umat Islam bisa lebih terbuka dalam menerima keberagaman cara baca terhadap kitab suci, selama tetap berlandaskan pada nilai-nilai rahmah.
Tafsir Feminis: Sebuah Tawaran Penafsiran nan Relevan
Pada akhirnya, tafsir feminis menawarkan alternatif penafsiran yang menyelamatkan perempuan dari kekerasan simbolik dan tafsir yang bias gender. Ia menjadi jembatan antara teks wahyu dan realitas sosial yang menuntut keadilan yang sejati, bukan semu.
Perempuan muslim hari ini tidak hanya menjadi objek kajian tafsir, tetapi juga agen yang aktif dalam memproduksi wacana keagamaan. Mereka menulis, berdiskusi, dan membentuk forum-forum tafsir alternatif yang lebih inklusif dan membebaskan.
Kesadaran kritis perempuan muslim hari ini tidak hanya tumbuh di ruang akademik, tapi juga dalam komunitas-komunitas kecil, forum daring, dan media sosial. Semangat untuk membaca ulang Al-Qur’an dengan perspektif adil gender mulai menjadi gerakan kolektif yang memperkuat suara perempuan.[8]
Lebih jauh, tafsir feminis mendorong kita untuk memahami bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang hidup dalam dinamika zaman. Ia bukan sekadar teks yang dibekukan dalam tradisi, melainkan cahaya yang menyinari keadilan lintas generasi.
Dengan demikian, gerakan tafsir feminis tidak hanya berfungsi sebagai koreksi terhadap penafsiran lama, tetapi juga sebagai upaya membangun dunia yang lebih adil. Dunia di mana perempuan dan laki-laki berdiri sejajar dalam kemanusiaan dan ketakwaan.
Pemahaman yang lebih adil dan kontekstual terhadap teks suci akan membantu membentuk komunitas muslim yang lebih setara dan saling menghormati. Tafsir feminis tidak memecah belah, melainkan menyatukan dalam semangat kasih dan kesalingan.
Dalam perjalanan panjang sejarah Islam, perempuan telah mengambil peran penting, meskipun kerap kali diabaikan dalam catatan formal. Tafsir feminis berupaya menghadirkan kembali kontribusi tersebut sebagai bagian dari warisan spiritual yang patut dihargai dan dikembangkan.
Referensi
[1] Eni Zulaiha, “Tafsir Feminis: Sejarah, Paradigma dan Standar Validitas Tafsir Feminis”, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 1, No. 1 (2016), h. 20-22.
[2] Ahmad Baidhowi, “Memandang Perempuan: Bagaimana Al-Qur’an dan Penafsir Modern Menghormati Kaum Hawa?”, (Bandung: Penerbit Marja, 2024), h. 26.
[3] Dwi Fidhayanti dkk., “Rethinking Islamic Feminist Thought on Reinterpreting the Qur’an: An Analysis of the Thoughts of Aminah Wadud, Fatima Mernissi, Asma Barlas, and Riffat Hassan”, Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, Vol. 35, Edisi 1 (2024), h. 43.
[4] Ibid., h. 45.
[5] Ibid., h. 45.
[6] Nur Ajizah dan Khomisah, “Aktualisasi Perempuan dalam Ruang Domestik dan Ruang Publik Perspektif Sadar Gender”, Az-Zahra: Journal of Gender and Family Studies, Vol. 2 No. 1 (2021), h. 69.
[7] Eni Zulaiha, “Tafsir Feminis: Sejarah, Paradigma dan Standar Validitas Tafsir Feminis.., h. 24.
[8] Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Jakarta: Gramedia, 2012), h. 29.
Editor: Dzaki Kusumaning SM




























Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.