Akal merupakan bagian fundamental yang dimiliki seorang manusia. Perbedaan mencolok antara ciptaan Allah Swt dengan manusia adalah akal itu sendiri. Tanpa akal niscaya manusia sama seperti binatang, maka dari itu maqalah yang masyhur menyebut manusia sebagai “hayawanatu nathiq”. Ia adalah konsep yang digagas para ulama dan cendekiawan muslim.
Dalam literatur Yunani akal diidentifikasi dengan nama “nous”. Nous adalah konsep filsafat klasik yang memberikan penjelasan fakultas pikiran atau kecerdasan yang mengantarkan kepada pemahaman apa itu benar atau salah.
Dalam skema Aristoteles, nous adalah pemahaman atau persepsi mendasar yang memungkinkan orang berpikir secara rasional. Dan sejak saat itu dalam filsafat Islam tidak kalah saing para filsuf menamakan sebuah pikiran itu adalah akal. Perbedaannya dalam konsepsi tentang akal dalam Islam membagi secara komplek dengan disertai dalil aqliyah dan naqliyah, bagaimana akal kita bekerja.
Tafsir Makna Akal dalam Al Qur’an
Tafsir atas akal yang pertama ada ayat “afala ta’qilun”, diulang sebanyak 13 kali. Dalam kalimat ini mengandung bentuk istifham inkari. Pertanyaan yang bernada negatif ini dimaksudkan untuk mendorong dan pertanyaan untuk memicu semangat.
Diantaranya adalah firman Allah kepada Bani Israil dan kecaman terhadap mereka dalam QS Al-Baqarah 44;
۞ اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?”
Dalam makna tersebut manusia ditunjukan kepada bayyinah (bukti- bukti yang jelas) bahwa keberadaan manusia berfungsi untuk memahami kebaradaan ilahi dan sampai dalam konsepsi kesadaran menuju “budi”.
Tafsir atas Kata “Akal” yang Lain
Kemudian tafsir atas kata akal yang kedua adalah kata “ta’qilun”. Kata ini diulang beberapa kali dalam ayat-ayat Al-Quran. Ayat-ayat ini menggambarkan hal yang perlu diingat, tetapi kita dapat menganalisis ayat-ayat tertulis dan tidak tertulis.
Seperti contohnya dari firman Allah yang terkandung dalam QS Al-Baqarah 242;
“Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.”
Dalam makna tersebut terkandung lebih jelas dari fungsi akal dalam menangkap objek kemudian menyelaraskan dengan dalil melahirkan rumusan masalah, ataupun dari dalil kemudian selaras dengan realitas kemudian menghasilkan pedoman atau hukum. Manusia dituntut untuk membedah kinerja- kinerja akal dalam memahami sesuatu.
Yang ketiga ada ayat “ya’qilun” yang merupakan ayat yang sama redaksi negatif seperti “la ya’qilun” dan mengandung fiil mudhori’. Kata ini dalam Al-Quran terdapat sebanyak 22 kali. Redaksi ini adalah bagian cercaan kepada mereka yang tidak menggunakan akal mereka. Allah berfirman QS. Al-Baqarah 170;
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.”
Kemudian dijelaskan kebodohan mereka dengan ayat selanjutnya yakni QS. Al-Baqarah 171;
“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti”.
Ayat tersebut merupakan sindiran Tuhan untuk kita atas disfungsional akal. Kita yang terlanjur menuruti hawa nafsu kita. Padahal akal mengatur semua bentuk kendali nafsu atas diri kita sendiri.
Konsep Akal Untuk Masalah Sosiologis
Secara konsep akal secara umum ada dua yakni akal terbentuk dan akal dibentuk. Akal terbentuk merupakan akal yang menggunakan persepsi rasio atas obyek yang ditangkapnya. Kemudian melahirkan argumen-argumen kuat atas susunan logikanya, biasanya akal ini berperan langsung atas kejadian irasional, dan kebijakan pemerintah yang jauh dari akal sehat.
Memang dari dasarnya menggunakan premis matematik, dan premis analitik yang kuat. Kegunaan akal ini adalah untuk mencari sebuah jawaban atas pertanyaan yang sedang terjadi di dunia idea. Seperti pertanyaan mengapa RUU KUHP disahkan dengan kejadian vonis mati seorang irjen atau pertanyaan lainya dan kemudian menimbulkan skeptis
Kemudian yang kedua akal dibentuk, lahir karena perasaan empiric (empati empirik) dalam suatu lingkungan sosial. Biasanya akal ini dipengaruhi dari seluruh pola kegiatan mindset lingkungan. Akal ini berkontribusi atas pembentukan budaya, empati dan simpati, intuisi.
Kemudian juga dengan keseimbangan akal keduanya lahirlah “budi” yang akan menyelaraskan dengan dali manuskrip agama. Yang bertujuan untuk mencetak etika personal. Juga diimbangi dengan spiritual.
Konsep akal berperan penting dalam memahami diri sendiri dan realitas seperti layaknya prinsip gerak ganda. Yakni akal sebagai pembaca realitas sosial, dan akal sebagai penentu kebijakan sosial yang diambil dari serap- serap nilai epistemologi ilmu ataupun kebudayaan sekitar.
Kesimpulan
Akal merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada agar kita bersyukur kepadanya, dan mencari makna- makna hidup dan pancaran ketuhanan. Pertama, akal adalah kekuatan pikiran, dan menggunakannya memungkinkan orang untuk menyadari dan memahami apa yang mereka pikirkan. Kedua, akal sebagai alat refleksi, refleksi dan eksperimen juga dapat mengembangkan gagasan, konsep dan gagasan yang cemerlang dan berkaitan erat dengan perubahan sosial.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply