Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir At-Tanwir Surat Al-Baqarah Ayat 142-152: Perubahan Kiblat dan Masyarakat Islam Ideal

Tawakkal
Sumber: Pixbay.com

Setiap melakukan ibadah sholat, umat Islam sebagaimana diperintahkan oleh agama Islam untuk menghadapkan dirinya ke arah Ka’bah di Masjidil Haram. Namun, kronologi yang terjadi perintahnya tidak langsung menghadapkan kiblat ke arah Masjidil Haram, melainkan sempat berubah menghadap ke arah Masjidil Aqsa di Madinah dan sampai pada akhirnya kembali lagi ke arah Masjidil Haram. Mengarahkan kiblat sholat ke Masjidil Aqsa ini terjadi selama 5 sampai 6 bulan pada masa Rasulullah.

Perubahan menghadap kiblat ke arah  Masjidil Aqsa, menjadi sesuatu yang berat bagi Rasulullah. Walaupun ini merupakan perintah dari Allah Swt., terjadi konsekuensi-konsekuensi yang polemis pada diri Rasulullah Saw, khususnya tuduhan yang bersifat teologis dari ahlul kitab. Hingga Rasulullah selalu menghadapkan tangannya ke langit untuk mengembalikan arah kiblat ke Masjidil Haram.

Dengan kembalinya arah kiblat ke Masjidil Haram menjawab orang-orang yang tidak mengerti (sufaha’/ ahlul kitab) fenomena perubahan arah kiblat. Dan sekaligus menjadi hak atas kenabian Rasulullah sebagai warisan para Nabi yang mengikuti Millah Ibrahim.

Penjelasan Tafsir At-Tanwir surat al-Baqarah ayat 142-152 ini disampaikan dalam Pengajian Tarjih Edisi 134, oleh Dr. Ustadi Hamsah, M.Ag. Pengajian melalui daring ini menggunakan via Zoom dan streaming Youtube (4/8/21).

Hikmah Perpindahan Arah Kiblat

Ustadi Hamsah menyampaikan fenomena perpindahan arah kiblat mengandung beberapa hikmah di dalamnya: Pertama, sebagai sebuah kebenaran fungsional. Maksudnya bahwa orang yang menentang itu tidak ada alasan untuk menolak kebenaran, kecuali mereka adalah orang-orang yang zalim.

Ini mempunyai makna kebenaran fungsional bahwa menegaskan setiap yang dilakukan Rasulullah adalah haq (benar). Maka perpindahan ini merupakan penegasan kepada ahlul kitab, sehingga mereka tidak ada lagi alasan menolak kebenaran perubahan arah kiblat merupakan perintah dari Allah Swt.”, jelas Ustadi.

Baca Juga  Tafsir Al-Baqarah Ayat 168-171: Makanan Halal dan Baik (2)

Hikmah kedua adalah penyempurnaan syari’at, yaitu sebagai identitas Islam. Maksudnya dengan perubahan arah kiblat sebelumnya ke Masjidil Aqsa kemudian berubah kembali ke Masjidil Haram itu merupakan penyempurna syari’at yang menjadi identitas Islam.

Rangkaian perpindahan-perpindahan arah kiblat ini menjadi peneguhan keimanan umat Islam. Sehinggat menjadi pembeda identitas umat Islam dengan para ahlul kitab”, jelas Ustadi.

Hikmah yang ketiga adalah hidayah taufiq. Bahwa dengan berkiblat ke Masjidil Haram itu merupakan bentuk kemantapan dalam berislam dengan identitas yang pasti.

Dengan adanya kiblat ke Masjidil Haram, maka kemantapan untuk beribadah, untuk meneguhkan Islam, menegakkan kebenaran Islam menjadi mantap. Itulah yang dinamakan hidayah taufiq”, jelas Ustadi.

Kiblat Masjidil Haram sebagai Fungsi Sosial

Selanjutnya dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga menjelaskan kiblat yang menghadap ke Masjidil Haram memiliki fungsi sosial identitas umat Islam. Pengulangan perintah menghadap kiblat ke Masjidil Haram sampai 5 kali dalam ayat 142-152, memiliki makna kiblat sebagai simbol identitas yang bukan hanya sekedar menghadap sholat ke sana tetapi memiliki fungsi sosial yang besar.

Fungsi sosial dalam kelompok ayat ini bukan menegaskan bangunan Ka’bahnya sebagai pusat identitas umat Islam. Melainkan yang dituju sebagai centreum-nodal nexus (pusat yang merangkai semuanya) yaitu fungsi sosial Masjidil Haram yang di manapun berada pengorientasiannya kehidupan manusia harus berorientasi ke masjid yang jelas.

Karena masjid sebagai pusat orientasi kiblat kehidupan, maka masjid menjadi simbol kebaikan dan kebenaran karena di sana terdapat ada esensi sholat. Dan inilah yang mendeterminasi perilaku kebaikan manusia”, jelas Ustadi.

Ummatan Wasathan: Identitas Masyarakat Islam

Pengorientasian kehidupan umat Islam yang selalu mengarahkan dirinya ke masjid, akan berimpliakasi dan melahirkan konsekuensi yang dinamakan ummatan wasathan (umat unggul, umat pilihan). Ummatan wasthan adalah umat yang menegakkan konsep-konsep wasathiyyah yaitu berorientasi pada arah keadilan, kebaikan dan juga kemaslahatan.

Baca Juga  Maarif Institute Gelar Webinar Soroti Isu Kebebasan Beragama

Konsep wasathiyyah adalah esensi jati diri dari ajaran Islam itu sendiri. Maka peneguhannya menggunakan diksi menjadikan kamu, agar pelabelan ini menjadi tugas besar yang di emban umat Islam di antara umat-umat lainnya”, jelas Ustadi.

Terakhir, ketua divisi kajian al-Qur’an dan hadis Majelis Tarjih ini menyampaikan ummatan wasthan yang memiliki fungsi eksternal dan internal. Dari fungsi eksternalnya adalah لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ, yaitu mampu memahami realitas masyarakat lain secara objektif dan terlibat mengambil tanggung jawab untuk membenahi. Sedangkan fungsi internalnya adalah وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا, yaitu keteguhan untuk istiqomah mengikuti Rasulullah.

Maka sebagaimana yang pernah dahulu dilakukan K.H Ahmad Dahlan ketika mengubah arah kiblat masjid, itu sebenarnya tidak hanya meluruskan orientasi syari’at Islam dalam beribadah sholat. Tapi juga mengubah orientasi umat Islam menjadi maju. Dengan cara apa?  Meluruskan ketauhidan yang lurus dan meningkatkan taraf hidup kesejahteraan sosial umat Islam”, jelas Ustadi.

Reporter: An-Najmi Fikri R

Tanwir.id
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.