Tafsir sebagai aktivitas dalam memahami al-Qur’an adalah produk pemikiran manusia. Ia lahir dalam ruang dan konteks tertentu. Maka sebagai produk pemikiran manusia, maka wajar saja sebuah tafsir masih layak dijadikan rujukan untuk menjawab problem aktual,atau justru telah “usang sekaligus basi”.
Namun kita tidak sedang memperbincangkan hal tersebut. Diungkapkannya hal di atas karena ingin memberi penekanan, bahwa sebuah pemikiran pasti memiliki ‘batas kelayakan’.
Diungkapkannya hal di atas karena ingin memberi penekanan, bahwa sebuah pemikiran pasti memiliki ‘batas kelayakan’. Lantas bagaimana dengan tafsir di masa depan, atau bagaimana masa depan tafsir?. Dua pertanyaan yang lahir dari judul di atas hendak dijawab pada tulisan singkat ini.
Tafsir di Masa Depan
Pertanyaan pertama hendak mempertanyakan tipologi tafsir di masa depan, kedua mempertanyakan posisi tafsir di masa depan, apakah ia akan tetap dilirik sebagai suatu keilmuan yang mempunyai nilai jual – karena sebagai penjelas dari al-Qur’an; kitab suci– atau justru diabaikan, tidak diperhitungkan.
Kenyataan yang tak dapat dibantahkan dan sepenuhnya historis bahwa sejak dimulainya proses penafsiran terhadap al-Qur’an, yakni semenjak masa kenabian sampai sekarang, tafsir selalu berperan penting dalam menjawab problem-problem aktual yang berkembang.
Jika diuji nilai kelayakannya, maka pertanyaan kedua dari paragraf ketiga telah terjawab. Tafsir sebagai penjelas terhadap al-Qur’an akan selalu menempati posisi itu, ia akan tetap bertahan di tengah pusaran globalisasi dan percaturan modernitas.
Pertanyaannya kemudian, akankah aktivitas intelektual-spiritual ini terus menciptakan kader-kader yang mumpuni di bidangnya?. Penulis sukar untuk menjawabnya. Namun penulis hendak memberikan gambaran jawaban dari pertanyaan ini dengan menjawab pertanyaan pertama dari paragraf ketiga.
Kita kembali ke pertanyaan pertama paragraf ketiga, bagaimana tafsir di masa depan. Jika melihat perkembangannya, tafsir sebagai sebuah fan keilmuan mempunyai kenyataan yang unik dan terbilang dinamis. Sudah tak terhitung lagi jumlah karya-karya tafsir dan dengan kelebihannya masing-masing.
Mulai dari metode, pendekatan dan corak terbilang cukup variatif. Hal tersebut menjadi usaha dalam rangka preservasi al-Qur’an dengan tafsiran yang relevan dan kontekstual, tanpa mengorbankan teks yang sakral di satu sisi, dan tidak mempertaruhkan konteks yang profan di mana tafsir itu lahir di sisi lain.
Dulu hanya dikenal tafsir bi al-Ma’tsur, tafsir yang mengandalkan riwayat-riwayat dari Nabi Muhammad saw., kemudian muncul tafsir bial-Ra’yi,tafsir yang berusaha mendialogkan antara teks yang dan pemikiran manusia.
Kemudian diperkenalkan lagi metode Ijmali dan Tahlili. Metode pertama sebatas memberikan komentar dan penjelas terhadap al-Qur’an, seperti Tafsir al-Jalalain, satunya lagi cukup “ribet”, memberikan analisis kebahasaan ayat, Asbabun nuzul, Munasabah, dan seterusnya.
Kemudian muncul lagi metode Muqaran (komparatif) dan Maudhu’i (tematik). Tidak sampai di situ, para penafsir tidak berpuas diri dengan basic keilmuan yang dimiliki, mencoba mendekati al-Qur’an dengan penemuan-penemuan ilmiah, dan kemudian melahirkan Tafsir ‘Ilmi. Inilah kenyataan yang tak dapat dibantah.
Posisi Tafsir
Tafsir, menurut hemat penulis, selalu mendapatkan posisi yang strategis dalam semua aspek kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, karena para penafsir selaku orang yang menafsirkan al-Qur’an dapat membuat pemikirannya berdialog dengan tuntutan zaman.
Artinya, tafsir mampu beradaptasi sesuai konteks kebutuhan manusia. Jadi kuncinya terdapat pada pribadi seorang mufasir. Tafsir bisa menjawab problem aktual apabila seorang mufasir mampu melihat realitas objektif antara teks al-Qur’an dengan kebutuhan dan tuntutan hidup manusia.
Tanpa perlu berpanjang lebar. Bagaiamana tafsir di masa depan?, maka jawabannya terletak pada pribadi seorang ‘mufasir’. Apakah ia mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman atau tidak. Jadi, karater ideal dari seorang mufasir adalah mampu melihat “celah” antara teks al-Qur’an dengan konteks.
Itulah sedikit jawaban dari pertanyaan pertama paragraf pertama tulisan ini, sekaligus memberikan “gambaran” jawaban pada pertanyaan ketiga. Namun berpagi-pagi penulis ingatkan, ada sedikit catatan untuk para kader-kader mufasir di masa depan.
Buya Syafii Ma’arif dalam pengantar buku yang bertajuk “Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas” memberikan kritikan untuk para cendekiawan. Bahwa gerakan renaisans di Eropa membawa dominasi dan pengaruh berupa “penalaran humanistik”, yang mangakibatkan orientasi spiritual-transedental terbabat.
Dan akhirnya, budaya materialistik-ateistik mencoba menghilangkan nilai-nilai spritualitas dalam kehidupan manusia. Inilah salah satu catatan penting untuk seorang kader mufasir di masa depan, mengembalikan spirit dan ruh al-Qur’an. Wallahu a’lam.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply