Berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an yang muncul sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya membuka dan menyingkap pesan-pesan teks secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir.
Telah banyak ulama-ulama tafsir yang mencoba menafsirkan Al-Qur’an hingga terciptanya kitab-kitab tafsir sampai saat ini. Baik kitab-kitab tafsir karya ulama-ulama Timur Tengah hingga kitab tafsir hasil karya ulama lokal Indonesia. Salah satunya adalah kitab tafsir Qur’an al-Furqān karya Ahmad Hassan yang muncul pada abad 20-an. Selanjutnya akan kita bahas dalam tulisan ini.
Biografi Ahmad Hassan
Nama asli beliau adalah Hassan bin Ahmad. Hassan dilahirkan pada tahun 1887 di Singapura. Ayahnya berasal dari India bernama Ahmad dan bergelar pandit (orang yang ahli dalam agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari). Ibunya bernama Muznah yang asli Palekat Madras tetapi lahir di Surabaya. Kedua orang tuanya bertemu di Surabaya ketika sang ayah berdagang di kota itu, kemudian mereka menetap di Singapura.
Beliau lebih dikenal dengan sebutan Hassan Bandung ketika sudah tinggal di kota Bandung. Saat masih menetap di Bangil, biasa dipanggil dengan Ahmad Hassan Bangil. Beliau adalah ulama yang dikenal sangat berpendirian teguh dan ahli dalam berbagai ilmu keagamaan. Pembaru terkemuka dari kalangan Persatuan Islam (Persis) ini, juga terkenal sebagai politikus ulung.
Ia adalah pemimpin Koran Nurul Islam yang terbit di Singapura. Beliau juga ahli dalam hal agama dan bahasa. Dia menunaikan ibadah haji di tahun 1956. Pada saat berada di Tanah Suci, Ahmad Hassan jatuh sakit hingga terpaksa dibawa pulang kembali. Kemudian tertimpa lagi penyakit baru, yakni infeksi yang menyebabkan kakinya harus dipotong. Tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada usia 71 tahun di Bangil (Jawa Timur), 10 November 1958.
Latar Belakang Intelektual
Secara formal, Hassan tak pernah benar-benar menamatkan sekolah formalnya yang ditempuhnya di Singapura, dikarenakan pada usia 12 tahun Hassan sudah diajak berdagang, menjaga toko milik iparnya, Sulaiman. Seiring dengan itu, oleh ayahnya Ahmad Hassan diinginkan meneruskan jejaknya menjadi penulis. Sehingga, semenjak kecil ia sudah mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya.
Di usia 7 tahun, Hassan muda mulai mempelajari kitab suci al-Qur’an serta pengetahuan dasar keagamaan. Hanya dalam tempo dua tahun, kedua pelajaran ini dapat dikuasainya karena ditunjang ketekunan dan kecerdasan. Setelah itu dia masuk sekolah Melayu selama 4 tahun untuk belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris. Pendidikan ini selesai 4 tahun. Kemudian, kegiatan menimba ilmunya banyak dilakukan dengan berguru pada sejumlah ulama. Diantaranya adalah Haji Ahmad Kampung Tiung, Haji Muhammad Taib Kampung Rokoh, Said Abdullah al-Munawi al-Mausili, Abdul Latif, Haji Hasan, dan Syekh Ibrahim India.
Karya-Karya
Berdasarkan catatan, Ahmad Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih (ushul fiqih), tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ahmad Hassan merupakan ulama yang produktif dalam berkarya. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya karya beliau, yakni mencapai sekitar 81 buah.
Beberapa karyanya yang cukup populer adalah Soal-Jawab, Tafsir al-Furqan, Pengajaran Shalat dan at-Tauhid, Islam dan Kebangsaan, Madzhab dan Taklid, Risalah Ahmadiah, Bibel Lawan Bibel, Wanita di Podium, dan lain-lain. Selain menerbitkan buku-buku, ia juga rajin menulis dalam majalah dan selembaran yang cukup luas penyebarannya.
Mengenal Tafsir Al-Furqan
Tafsir Quran al-Furqan adalah karya besar dan penting yang dimiliki oleh Ahmad Hassan. Sebuah karyanya yang patut disyukuri keberadaannya. Hal ini karena menambah daftar koleksi khazanah tafsir Nusantara.
Penulisan tafsir ini merupakan langkah pertama dalam sejarah penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia dalam kurun waktu 1920-1950-an. Yang terbagi ke dalam beberapa edisi penerbitan sampai sekarang. Bagian pertama diterbitkan pada tahun 1928, akan tetapi dalam edisi pertama ini belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang diharapkan oleh umat Islam Indonesia.
Kemudian untuk memenuhi desakan anggota Persatuan Islam, bagian kedua tafsir tersebut diterbitkan pada tahun 1941, namun tidak lengkap, hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya pada tahun 1953, penulisan kitab tafsir tersebut dilanjutkan kembali atas bantuan seorang pengusaha yang bernama Sa’ad Nabhan hingga akhirnya tulisan tafsir ini dapat diselesaikan secara keseluruhan yaitu 30 juz, dan diterbitkan pada tahun 1956. Inilah perjalanan terselesaikan dengan lengkap kitab Tafsir al-Furqan ini.
Metode Kitab Tafsir Al-Furqan
Metode tafsir yang dipakai Ahmad Hassan adalah metode harfiyah, yaitu penerjemahan kata demi kata. Kecuali terhadap beberapa kata yang tidak memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode ini, maka ia menggunakan metode maknawiyah.
Tafsir al-Furqan Ahmad Hassan ini memiliki perbedaan yang mencolok dengan tafsir-tafsir klasik sebelumnya yang telah digolongkan masuk dalam kelompok tafsir ijmali, semisal Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm karya Muhammad Farid Wajdi dan Tafsīr Jalālayn karya Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli. Kalau kedua penafsir yang disebutkan belakangan memasukkan tafsirannya ke dalam teks ayat secara bersambung, maka tidak demikian halnya dengan Ahmad Hassan. Tafsirannya semuanya berbentuk catatan kaki. Ahmad Hasan menggunakan lebih pada metode ijmali (harfiah/kata perkata) juga secara mushafi diawali dengan surah al-Fatihah sampai surah an-Naas.
Adapun jika kita lihat, sebenarnya metode penerjemahan harfiyah ini merupakan bagian dari pada metode ijmali (global). Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Corak dan Karakteristik Penafsiran
Terdapat beberapa corak penafsiran dalam tafsir ini di antaranya corak ilmi dengan alasan dalam tafsir ini terdapat tema-tema penafsiran seperti kesehatan, botani, asrtonomi fisika, geologi. Terdapat pula corak kebahasaan dalam tafsir ini. Hal ini bisa dilihat dari penjelasn Ahmad Hassan mengenai huruf-huruf mutasyabihat, serta penjelasan mengenai huruf di awal surat.
Akan tetapi corak penafsiran yang paling dominan dalam tafsir al-Furqan adalah corak bahasa. Meskipun diwarnai dengan beberapa corak, akan tetapi corak kebahasaanlah yang lebih mendominasi kitab tafsir ini. Hal ini pun diperkuat oleh keterangan langsung dari Ahmad Hassan dalam ucapannya “ketika saya melakukan penafsiran sedapat mungkin saya mencari sebuah kata yang tepat untuk menjelaskan suatu ayat, setelah itu saya menterjemahkan dan menafsirkannnya”.
Dengan melihat latar belakang pendidikan dan ilmu-ilmu keislaman yang dimiliki oleh Ahmad Hassan maka dengan mudah kita akan mengetahui pemikiran dan corak yang digunakan dalam tafsirnya Al-Furqan. Pada umumnya, kebanyakan para mufassir itu dalam menafsirkan al-Quran lebih dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya khususnya keilmuan yang (dominan) dimilikinya.
***
Tafsir Al-Furqan ini merupakan tafsir Al-Qur’an yang memberi kemudahan dalam mengurai makna kandungan ayat secara ringkas dan padat serta bersifat global, yang dengan metode ini dapat dengan mudah dimengerti oleh orang yang masih awam sekalipun.
Metode harfiyah dalam kitab al-Furqan adalah metode dalam penerjemahannya bukan dalam hal penafsiran, karena berbeda antara terjemah dengan tafsir. Adapun dalam hal penafsiran Ahmad Hassan lebih banyak menggunakan metode ijmali. Yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini juga mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Kalau ditelaah secara mendalam dari sisi ilmu tafsir dan terjemah, sebenarnya al-Furqan cenderung kepada terjemah al-Qur’an, bukan tafsir. Ini terkait dengan definisi tafsir yang menggariskan bahwa tafsir itu merupakan pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah (yang terkandung dalam al-Qur’an) sesuai dengan kemampuan manusia, maka dia mencakup sekalian (pengetahuan) untuk memahami makna dan penjelasan dari maksud (Allah) itu, seperti yang diungkapkan az-Zahaby dalam at-tafsir wal mufassiruun.
Usaha Ahmad Hassan dalam menyusun tafsir al-Furqan ini haruslah disikapi sebagai sesuatu karya tokoh islam yang patut disyukuri keberadaannya. Karena sesungguhnya faedah dan pelajaran yang banyak akan kita dapatkan di dalam tafsir ini. Bagi umat Islam tentunya tafsir al-Qur’an ini merupakan sebuah karya yang akan membuka dan menambah wacana kita terhadap isi kandungan al-Qur’an secara singkat dan mudah dengan gaya dan corak pemikiran ulama Ahmad Hassan.
Leave a Reply