Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran
Di Indonesia perkawinan beda agama tidak hanya merupakan larangan agama, tetapi juga telah dilarang oleh undang-undang, namun demikian tidak sedikit umat Islam Indonesia dengan berbagai alasan telah melakukan perkawinan dengan orang yang tidak seagama dengan mereka. Karena negara tidak memfasilitasi perkawinan yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang, maka ada di antara mereka yang pergi ke luar negeri untuk melakukan perkawinan atau memanfaatkan jasa lembaga tertentu di Indonesia yang memang memfasilitasi perkawinan beda agama. Di samping itu, ada pula yang menyatakan diri memeluk agama Islam karena akan menikah.
Namun demikian sekelompok orang yang bergabung dalam Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI punya pendapat lain. Mereka membolehkan perkawinan antara orang Islam dan orang non Islam. Dalam pengantar buku Counter Legal Draft KHI tahun 2004, mereka menjelaskan bahwa perkawinan seperti itu dibolehkan dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip pluralisme, nasionalisme, HAM, demokrasi dan kemashlahatan (Lebih lanjut tentang prinsip-prinsip yang dikemukakan ini dapat dilihat pada: Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft KHI, (Jakarta: t.p, 2004), hlm.25-29).
Kalau diamati, pembolehan menikah antar agama ini didasari oleh pemikiran mereka bahwa pelarangannya hanya bersifat ijtihadi, tidak ditetapkan dengan nash yang qath’i, kecuali larangan perkawinan dengan orang musyrik, yang mereka pahami sebagai musyrik Arab saja. Menyangkut hal ini, Zainun Kamal, yang mempunyai pandangan yang sama dengan Tim Pengarusutamaan Gender ini, menyatakan bahwa tidak terdapat teks ayat al-Qur’an yang secara tegas dan pasti yang mengharamkan perkawinan antara umat beragama, baik laki-laki ataupun perempuan, selain dengan kaum musyrik Arab (Zainun Kamal, Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama, dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), “ Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme”, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hal. 164).
Sejalan dengan itu, Siti Musdah Mulia, salah sorang penggagas Counter Legal Draft menjelaskan bahwa semua pendapat yang berkaitan dengan perkawinan lintas agama, hanya bersifat ijtihadi, tidak ditemukan teks al-Qur’an dan Hadisyang secara qath’i melarang dan membolehkannya (Siti Musdah Mulia, Menafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, dalam ibid., hal. 129-130). Apabila diperhatikan ayat yang sedang dibicarakan ini dan pendapat para ulama yang telah dipaparkan di atas, maka pendapat ini akan sulit diterima. Terlebih lagi, ketika mereka membolehkan perempuan muslimah menikah dengan non muslim.
Kalau kita amati dengan seksama, maka ternyata pernikahan yang melanggar aturan Allah itu membawa banyak dampak buruk terhadap pelakunya, mulai dari rusak hubungan dengan keluarga, takut menjalankan ajaran agama, atau malas, sampai kepada pindah agama. Keindahan cinta sering lewat dengan cepat, berubah menjadi kegelisahan jiwa. Apalagi, kalau perkawinan itu sudah dikarunia anak, mau ikut siapa anak ini. Masih banyak problem lain yang tidak mudah untuk dirinci.
Ayat ini ditutup dengan penegasan bahwa Allah menerangkan semua ketentuan hukum syari’at-Nya, berupa perintah dan larangan yang dilengkapi dengan dalil-dalil, hikmah dan argumentasinya yang jelas kepada semua manusia, agar mereka ingat dan mau mengambil pelajaran. Dengan itu hendaknya manusia ingat dan sadar betul bahwa tidak ada satupun ketetapan hukum Allah yang sia-sia, yang tidak mengandung manfaat dan kemaslahatan bagi hamba-Nya, yang mengantarkan mereka menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah, membersihkan dan menyucikan mereka dari noda dan dosa. Selesai
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais, MA
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 22 Tahun 2017
Leave a Reply