Ada baiknya ayat yang membicarakan tentang cara memperoleh rezeki dengan mengikuti langkah setan ini diasosiasikan dengan nuansa orang yang mengejar kekayaan dan kesenangan duniawi melalui perdukunan. Orang yang terbiasa mencari rezeki berdasarkan petunjuk dukun tidak bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Mereka habis-habisan membela sang dukun meskipun ajarannya menyimpang jauh dari ajaran Al-Qur’an. Kalau perlu mereka mengatakan bahwa sang dukun mendapatkan wangsit dari Allah untuk menunjukkan cara memperoleh rezeki yang melimpah.
Sementara, sang dukun yang suka bersemedi dan beragama Islam dalam KTP-nya itu tidak pernah melaksanakan perintah agama. Ia sembahyang dengan caranya sendiri tetapi tidak shalat. Bahkan ketika disuruh membaca al-Fatihah, sang dukun tidak hafal. Tetapi para pengikutnya yang masih dalam kungkungan setan masih menyatakan bahwa sang dukun adalah orang Islam taat, sesama orang Islam tidak perlu memperpanjang permusuhan. Inilah agaknya yang dimaksudkan ungkapan “dan kamu mengatakan tentang Allah tentang apa yang kamu tidak mengetahuinya.”
Kontekstualisasi Halal dan Baik
Ayat 170 menyatakan Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”
Masyarakat tradisional pada umumnya melaksanakan seremoni dan ritual berdasarkan apa yang mereka peroleh dari nenek moyang, yang otoritasnya di tangan sang dukun seperti disebut di muka. Semua yang mentradisi dan membudaya itu dirasakan benar adanya. Sulit rasanya menerima pandangan, pemikiran dan ajaran baru yang berbeda dari tradisi mereka selama ini. Saking lengketnya tradisi pada diri mereka, misalnya berupa seni tertentu, mereka merasa perlu melestarikan bahkan memamerkannya terhadap masyarakat luar, kalau perlu terhadap masyarakat modern sekalipun.
Setiap kali ada kunjungan dari luar, mereka mempertontonkan kehebatan tradisi itu. Mereka tidak bisa lagi mempertimbangkan bahwa ada tradisi dan budaya lain yang membawa mereka lebih maju. Karenanya wajar bila mereka senang menerima kunjungan, tetapi tidak melakukan kunjungan balasan. Kata Sutan Takdir Ali Syahbana, mereka seperti penghuni kebun binatang, suka menari dan memamerkan kebolehan mereka, tak peduli bahwa pengunjung itu lebih hebat dari mereka. Agaknya demikianlah setan menjaga kelestarian apa yang diperoleh dari nenek moyang agar kebenaran tidak bisa diterima.
Ayat ini dapat menggiring pikiran melihat sikap dan prilaku para koruptor karena berkaitan dengan pembicaraan tentang memakan harta yang halal dan thayyib. Mereka sebenarnya mengetahui bahwa korupsi itu tidak benar karena merugikan rakyat dan negara. Mereka juga sadar bahwa mereka sedang mengikuti langkah setan. Tetapi mereka mendapati prilaku korupsi itu dari generasi sebelumnya, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut “diperoleh dari nenek moyang.”
Ketika diingatkan bahwa itu tindakan salah, meskipun tidak menjawab eksplisit, mereka menjawab dalam hati, bahwa korupsi yang mereka lakukan adalah warisan sistematis dari generasi sebelumnya, karenanya masih perlu dilestarikan. Agaknya pengaruh setan sudah begitu mendalam sehingga sulit bagi mereka mengelak darinya. Bahkan, mereka sudah sampai pada tingkat berposisi sebagai setan, malah dapat menggantikan fungsi setan. Seolah, andainya setan mau agak santai menggoda, tidak perlu khawatir pekerjaannya terbengkalai karena pekerjaan menggoda tersebut sudah diambil alih oleh manusia yang kerasukan setan cukup mendalam tadi.
Makan yang Halal dan Baik dan Perbedaan dengan Orang Kafir
Ayat 171 menyatakan: “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” Di sini Al-Qur’an menjelaskan bahwa para pengikut setia setan disebut orang kafir. Sebagaimana sering dijelaskan bahwa kafir artinya tutup, maka orang kafir adalah mereka yang tertutup pikiran dan kalbunya dari menerima kebenaran. Begitulah sakti dan dahsyatnya kekuatan setan mempertahankan dan menyebarkan kebatilan.
Orang kafir digambarkan sebagai hewan gembala yang hanya dapat memahami satu atau dua kata sebagai aba-aba yang diucapkan oleh tuannya. Hewan gembala tidak bisa menerima nasihat betapapun bagus dan indahnya nasihat itu. Hewan gembala tidak bisa dibawa menjadi komunitas yang lebih maju. Katakanlah ada hewan yang bisa membuat rumah sendiri seperti burung, sejak dulu hingga sekarang rumah burung pipit ajeg seperti itu, tidak pernah beranjak menjadi lebih baik. Ia tidak tahu ada bahan yang lebih bagus untuk membuat rumah, atau perlu rumah yang agak leluasa dan nyaman.
Berbeda dengan manusia yang tadinya membuat rumah dari dedaunan, kemudian dari papan, kemudian rumah tembok, lalu berbeton dan tersusun, selanjutnya kelak akan membuat rumah seperti apa lagi kita tidak tahu. Dengan kreativitasnya manusia dapat memberi asesoris rumah hingga lebih bagus, mewah dan indah. Demikian karena manusia mau menerima perubahan. Nah, di sini, orang kafir yang tidak mau menerima kebenaran itu bagai hewan yang tidak dapat menerima perubahan, mereka seolah buta, bisu dan tuli.
Dalam kaitannya dengan pilihan makanan yang halal lagi thayyib, orang kafir terlanjur nyaman dengan makanan dan minuman yang haram, karena hal itu lebih cocok bagi hawa nafsunya. Begitu pula dengan cara memperoleh rezeki dengan cara-cara yang tidak benar telah membikin mereka kecanduan. Amat sulit bagi mereka untuk menerima nasihat bahwa perbuatannya merugikan jasmani dan rohaninya sendiri, bahkan bagi masyarakat luas.
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dengan naskah awal disusun oleh Prof Dr Muhammad Zuhri, MA
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2015
Leave a Reply