Ada satu nama yang tidak akan luput dari perhatian para pengkaji studi Al-Qur’an di Indonesia. Dia adalah Howard M. Federspiel, seorang profesor di Institute of Islamic Studies, McGill University dan profesor ilmu politik di The Ohio State University, AS. Ia lahir pada 1932 di New York, AS dan memulai perjalanan intelektualnya di Universitas Capital sebelum akhirnya belajar di Institute of Islamic Studies, McGill.
Perkuliahan di McGill mengantarkan Federspiel berkesempatan belajar dari para begawan seperti Fazlur Rahman, Wilfred Cantwell Smith, John Alden Williams, Nivazi Berkes dan Muhammad Rasyidi. Kita dapat katakan bahwa persentuhan Federspiel dengan Indonesia bermula dari Muhammad Rasyidi, Menteri Agama RI pertama yang lahir di Kotagede, Yogyakarta.Federspiel menjadikan Persatuan Islam (Persis) sebagai objek kajian yang mengantarkannya meraih gelah Ph.D.
Relasi Erat Federspiel dengan Indonesia
Pasca meraih gelar doktor, Howard Federspiel sempat bekerja sebagai diplomat muda yang menangani beberapa masalah Indonesia dan tercatat dua kali melakukan kunjungan kerja yaitu pada tahun 1963 dan 1967. Ia juga pernah menjadi staf pengajar di kampus Winthrop, Carolina Selatan dan Universitas Negara Bagian Ohio.
Kesempatan Federspiel untuk datang kembali ke Indonesia terjadi pada 1984 saat ia menjadi ketua tim pengembangan pendidikan tinggi di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, hingga tahun 1986. Tidak hanya itu, ia juga menjabat sebagai Wakil Direktur Proyek Pendidikan Tinggi ank Dunia XVII di Jakarta pada tahun 1987-1988. Tahun berikutnya ia mengunjungi Indonesia sebagai konsultan Asian Development Bank.
Howard Federspiel menjadi salah satu sarjana yang telah mengunjungi lebih dari dua puluh universitas Islam di Indonesia untuk memberikan kuliah mengenai Islam, baik secara umum maupun dalam konteks Asia Tenggara. Muslim Indonesia dalam kacamata Federspiel merupakan satu komunitas beragama yang taat pada ajaran Islam yang Universal sekaligus menampilkan identitas kultural mereka.
Karya Federspiel tentang Keislaman di Indonesia
Perjalanan karir Howard Federspiel di Indonesia menghasilkan setidaknya tiga judul buku, yaitu Indonesian Muslim Intellectuals and National Development in Indonesia, The Usage of Tradisions of the Prophet in Contemporary Indonesia dan Popular Indonesian Literature of the Qur’an. Karya yang disebut terakhir terbit juga dalam bahasa Indonesia dengan judul Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab pada tahun 1996 oleh penerbit Mizan.
Para sarjana yang memiliki kajian tentang karya tafsir di Indonesia modern (abad 20) akan cukup menggelikan jika minimal tidak menyebut karya Federspiel tersebut. Ia melakukan resensi dan pemetaan atas 19 karya yang ditulis pengarang dari 13 ulama, 5 Intelektual Muslin dan 1 mahasiswa.
Penilaian Federspiel terhadap Tafsir al-Azhar
Tafsir al-Azhar sebagai masterpiece ulama terkemuka asal tanah Minang, HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), merupakan salah satu karya yang diresensi oleh Federspiel. Sekalipun hanya resensi singkat, Ia mampu menampilkan sisi-sisi unik dan menarik dari tafsir al-Azhar.
Federspiel menempatkan Tafsir al-Azhar sebagai karya tafsir Generasi Ketiga dalam peta perkembangan tafsir di Indonesia modern. Ia mencatat bahwa tafsir Generasi Ketiga ini muncul pada tahun 1970-an yang ditulis secara lengkap dan seringkali memberikan penafsiran mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Selain Tafsir al-Azhar karya Hamka, ada dua tafsir lain yang masuk kategori Generasi Ketiga yaitu Tafsir al-Bayan karya Hasbi ash-Shiddieqy dan Tafsir al-Qur’anul Karim karya Abdul Halim Hasan.
Karakteristik mufassir Generasi Ketiga menurut Federspiel cenderung menghindari mistisme, menekankan teologi tradisional dan doktrin ahli hukum serta praktik kelompok Sunni. Pemikiran-pemikiran Rasyid Ridha, Maududi, wacana modernisme dan gerakan neofundamentalisme juga mewarnai ketiga mufassir tersebut.
Tafsir al-Azhar memiliki keistimewaan tersendiri jika dibandingkan dengan Tafsir al-Bayan dan Tafsir al-Qur’anul Karim. Federspiel secara lugas mengatakan, “Dari ketiga mufassir tersebut hanya Hamka yang membicarakan tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa kontemporer.”
Federspiel mengemukakan satu contoh yaitu penafsiran Hamka tentang pengaruh orientalisme terhadap gerakan-gerakan kelompok nasionalis di Asia pada awal abad ke-20 yang terekam dalam Tafsir al-Azhar juz VI. Hamka menilai bahwa kaum nasionalis menyebarkan gagasannya dengan sikap polemis dan menuntut pemisahan diri dengan Islam.
Tafsir al-Azhar, masih dalam catatan Federspiel, mencobah menghubungkan konteks modern dengan studi Al-Qur’an, melangkah keluar dari penafsiran tradisional ke arah analisis sosial. Tafsir al-Azhar juga refleksi atas kekacauan politik pada saat itu, termasuk penyusupan komunis pada tubuh pemerintahan.Sehingga pada tafsirnyamuncul kecenderungan meniadakan perbedaan wilayah, ras dan konstruk sosial dimana Al-Qur’an turun dengan masa kini.
Bagi penulis sendiri, Hamka berhasil memantulkan nilai universal ayat guna menyelesaikan problem sosial umat Islam di Indonesia paling tidak sampai Tafsir al-Azhar ditulis. Tidak mengherankan jika penggunaan corak adabi-ijtima’i pada Tafsir al-Azhar yang terbilang baru dalam khazanah tafsir nusantara menurut survei Federspiel cenderung dikonsumsi oleh kalangan Intelektual Muslim.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply