Ialah Syekh Nawawi al-Bantani. Mufasir yang berasal dari Banten ini memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Nama yang sering kali disamakan dengan tokoh klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w. 676 H/l277 M)
Ialah Syekh Nawawi al-Bantani. Karya-karyanya masih menjadi rujukan di berbagai pesantren. Jiwanya seperti tetap hidup dalam goresan penanya. Namanya hadir memenuhi berbagai majelis ilmu dengan wejangan penyejuk jiwa.
Tak sekedar penulis kitab tafsir, namun ialah sang maha guru yang berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk intelektualitas tokoh-tokoh para pendiri pesantren-pesantren Indonesia. Dalam tulisan ini mari kita menyelami kehidupan sosok mufasir asal Banten ini.
Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani
Beliau dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230 H. Di masa anak-anak, Nawawi hidup bersama ayahnya yang bernama Syekh Umar al-Bantani, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Suatu jabatan pemerintahan Belanda untuk mengurus masalah-masalah agama Islam, di kecamatan Tirtayasa.
Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad Saw melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah az-Zahra.
Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M, Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten. Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di malam Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara haul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Jejak Petualangan Keilmuan
Sejak berusia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai belajar ilmu agama Islam langsung dari ayahnya. Bersama saudara-saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fikih, tauhid, al-Quran dan juga tafsir. Pada usia delapan tahun bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada KH. Sahal, salah seorang ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf Purwakarta.
Dimasa belia, ia telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Tepat pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fikih. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah, ia pulang ke tanah air, kembali ke Banten tahun 1833.
Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Guru-Guru Syekh Nawawi Al-Bantani
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, dan Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah.
Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Sahabatnya yang Setia Mendukung
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Ulama di sana.
Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya.
Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dari lingkungan yang membuatnya progresif itulah, muncul sosok ulama dan mufasir berskala internasional ini. Lingkungan yang positif dan saling mendukung. Orang-orang sekitar yang mendorong Syekh Nawawi untuk memunculkan potensi yang luar biasa. Semoga kita selalu dikelilingi sahabat-sahabat yang terus mendukung kita untuk berkarya.
Karya-Karya
Sebagaimana seorang Syeikh dan ulama besar lainnya, Syeikh Nawawi tidak hanya mahir dan menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak dan tasawuf, tarikh serta sastra bahasa Arab, tetapi ia juga banyak menghasilkan karya.
Di samping mengajar, Syeikh Nawawi sehari-harinya disibukan dengan menulis. Hasil-hasil karyanya yang beragam tersebut dan meliputi hampir seluruh bidang keilmuan agama sekaligus merupakan bukti bahwa, penguasaan Syeikh Nawawi terhadap ilmu-ilmu agama yang ada tidak patut diragukan.
Perihal jumlah karya yang di hasilkan oleh Syeikh Nawawi, terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berjumlah 99 buah dan ada pula yang mengatakan keseluruhan karyanya mencapai 115. terlepas dari pendapat mana yang lebih benar dan valid perihal jumlah karya Syeikh Nawawi, yang jelas Syeikh Nawawi adalah tokoh dan ulama yang produktif
Karya-karya beliau di bidang ilmu akidah misalnya adalah Tijam al-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majid. Sementara dalam bidang ilmu hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Di bidang ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin. Adapun Qami’u al-Thugyan, Nashaih al-‘Ibad dan Minhaj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Di bidang sejarah ada Al-Ibriz al-Dani. Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab. Dan bidang tafsir ada Tafsir al-Munir.
Kontribusi di Bidang Tafsir
Syekh Nawawi Al-Bantani menulis tafsir dengan judul At-Tafsir Al-Munir li Ma’alimit Tanzil Al-Musfir ‘an Wujuhi Mahasin al-Ta’wil. Syekh Nawawi juga menamai Tafsir Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an al Majid atau Tafsir Marah Labid atau yang lebih dikenal lagi dengan sebutan Tafsir Munir. Terdiri atas dua jilid, Syekh Nawawi menulis kitab tafsir tersebut atas permintaan beberapa murid dan teman teman dekatnya yang menghendakinya menulis sebuah kitab tafsir.
Syekh Nawawi berfikir bahwa setiap zaman memang memerlukan pembaruan dalam ilmu. Itulah mengapa ia hanya melakukan cara baru dalam menyampaikan ilmu dan tidak menambah apapun kepadanya. Dengan begitu, lahirlah sebuah tafsir yang dinamai nya Marah Labid Li Kasyf Ma’na Al Quran Al Majid yang selesai ditulis pada 5 Rabiul Akhir 1305 H.
Kitab tafsir yang sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli yang sangat terkenal. Tafsir Marah Labid merupakan karya besar ulama Indonesia di dunia internasional pada abad 19. Tafsir ini, termasuk paling tua yang disusun oleh asal Indonesia di Makkah.
Di kalangan pesantren di Indonesia, tafsir ini dipakai cukup luas, bahkan sampai sekarang. Pada akhirnya, menjadi suatu kebanggan bagi Indonesia pada khususnya dan umat Islam pada umumnya yang mempunyai sosok seperti Syeikh Nawawi yang patut di contoh, dan semoga dikemudian hari lahir sosok-sosok Syeikh Nawawi lain.
Leave a Reply