Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Syair Sufi: Corak dan Perkembangan

Tasawuf Islam
Sumber: mediaindonesia.com

Seiring berjalannya waktu, agama Islam kian berkembang pesat dari berbagai aspeknya dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Sehingga mengundang berbondong-bondong manusia untuk memeluknya. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan agama Islam dapat diterima oleh manusia dari berbagai kalangan tanpa memandang ras, suku, budaya tertentu.

Salah satu yang menyebabkan Islam banyak diterima adalah faktor kesenian, seperti musik, sastra, kaligrafi dan lainnya yang memberi sumbangsih sangat besar terhadap perkembangan dan kemajuan agama Islam. Hal itu terlihat dengan adanya karya-karya monumental peninggalan-peninggalan para seniman, dan budayawan muslim yang masih dapat kita lihat dan nikmati hingga sekarang ini.

Kata syair berasal dari bahasa Arab “syu’ur” yang berarti perasaan. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), syair adalah puisi lama yang tiap bait terdiri atas empat larik (baris) yang berakhir dengan bunyi yang sama. Syair dalam lintasan sejarah sastra Arab, memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem sosial budaya bangsa Arab.

Tradisi bersyair di kalangan masyarakat Arab, diduga telah ada, jauh sebelum agama Islam lahir. Syair tertua diperkirakan berasal dari zaman Jahiliyah, sekitar dua abad sebelum Hijriyah, yang disebut saat ini dengan istilah syair Jahili. Pada masa Jahiliyah syair menempati posisi penting di kalangan masyarakat Arab. Untuk itu penyair memperoleh penghormatan dari masyarakat lebih dari seorang orator.

Pada masa itu biasanya syair dibacakan di tengah khalayak, pada tempat-tempat tertentu seperti pasar. Pasar syair yang paling terkenal saat itu adalah suq‘ukkazh. Syair yang paling bagus, mendapat penghargaan dengan digantung di atas Kabah, dan mendapat gelar al-mu’allaqat.

Jenis-Jenis Syair

Syair dibagi menjadi beberapa jenis, yakni :

Pertama, syair agama. Syair ini dikenal di Indonesia seiring masuknya agama Islam. Syair agama biasanya berisi ajaran sufi, ajaran Islam, cerita nabi, dan nasihat. Pada umumnya, syair agama digunakan sebagai bagian dari dakwah di zaman dahulu atau menjadi media bagi para pendakwah menyampaikan ajaran Islam.

Baca Juga  Ali Al-Shabuni: Pakar Tafsir dalam Bidang Hukum Islam

Kedua, syair kiasan. Kunci utama yang ada di dalam syair ini adalah kiasan. Kiasan yang digunakan pada syair ini umumnya digunakan sebagai sindiran atas peristiwa atau kejadian tertentu. Kiasan yang digunakan biasanya memakai perandaian objek tertentu seperti hewan, bunga, atau buah. Ketiga, syair panji. Jenis syair yang satu ini biasanya bercerita tentang keadaan, peristiwa dan orang-orang yang dalam istana. 

Keempat, syair romantis. Syair romantis merupakan syair yang berisi kisah-kisah percintaan dan kasih saying. Di sisi lain ia juga dapat merupakan kisah cerita rakyat atau hikayat. Kelima, syair sejarah. Syair sejarah dibuat berdasarkan dari sebuah peristiwa tertentu, tokoh, atau tempat-tempat yang mengandung sejarah yang dalam.

Keenam, syair kehidupan. Syair kehidupan merupakan jenis syair yang berbicara tentang kehidupan. Kehidupan sendiri memiliki makna yang cukup luas seperti bicara tentang kegundahan akan hidup, tentang Yang Maha Kuasa, tentang ilmu hidup dan juga bicara tentang kesenangan hidup. Ketujuh, syair jenaka. Syair jenaka biasanya berisi tentang segala sesuatu hal yang sifatnya sebagai hiburan atau upaya untuk membuat hati yang gundah menjadi ceria.

Pada masa khilafah Abbasiyah, muncul untuk pertama kalinya corak syair Arab baru yang dinamakan dengan al-syi’r al-wujdani (syair spiritual). Syair dengan jenis seperti ini merupakan ciri khusus penyair sufi. Syair sufi pada dasarnya adalah bagian daripada syair religi Islam yang bersifat mistik. Karena lebih banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek batin dibanding logika, Jadi syair sufi sesungguhnya adalah gabungan antara mistik dan filsafat.

Muhammad al-Mun’im Khafaji membagi masa perjalanan dan perkembangan syair sufi ke dalam lima fase, yaitu:

Perkembangan Syair Sufi

  • Fase Pertama

Fase awal sejarah perkembangan syair sufi dimulai pada kisaran tahun antara 100-200 H, sepanjang abad kedua Hijriyah, pada masa khilafah Bani Abbasiyah. Syair sufi pada periode ini masih terhitung sedikit, hanya terdiri dari beberapa bait saja. Di antara penyair sufi yang hidup pada masa tersebut adalah Rabi’ah al-Adawiyah (185H)

  • Fase Kedua
Baca Juga  Literatur Tafsir Muhammadiyah: Dari Carakan Hingga Website

Fase kedua merupakan fase sekitar dua abad dari abad ke-3 hingga abad ke-4 Hijriyah. Pada periode ini syair sufi mulai mengalami perkembangan dan kemajuan. Di antara penyair sufi masa ini adalah Abu Turab ‘Askari ibnu al-Husain al-Nakhsyabi (245 H), Abu Hamzah al-Khurasani (W. 290 H), al-Mutanabi, Syarif Ridha dan lainnya.

  • Fase Ketiga

Fase ketiga perkembangan syair sufi berkisar antara tahun 400-600 H. Kurang lebih dua abad lamanya. Pada fase ini sastra sufi didominasi oleh corak cinta Ilahi, pujian bagi Rasul,  kerinduan pada tempat-tempat yang disucikan, dan ajakan kepada keutamaan ajaran Islam. Pada masa inilah mulai berkembangnya sastra sufi Persia, dan munculnya penyair-penyair besar Arab seperti al-Ma’ari dan Mihyar. Adapun penyair sufi yang ada pada masa ini di antaranya adalah al-Sahrawardi al-Syami (586 H), al-Rifâ’I (587 H), Abd al-Qadir al-Jîlani

  • Fase Keempat

Perkembangan syair sufi Arab-Islam sekitar abad ke-7 Hijriyah. Pada fase inilah syair sufi berada pada puncak kejayaannya. Penyair-penyair besar masa ini di antaranya adalah: Ibnu al-Faridh (632 H), Jalaluddin al-Rumi,  Muhyidin Ibnu ‘Arabi (638 H/1240 M) al-Bushairi (690 H/1290 M), Ibnu ‘Atha’illah al-Iskandari (707 H), dan lainnya.

  • Fase Kelima

Fase kelima dari perkembangan syair sufi dimulai dari abad ke-8 Hijriyah hingga sekarang. Tokoh penyair sufi yang terkenal adalah al-Sya’rani (898-973 H), al-Nabalsi (1143 H), dan lainnya. Meskipun dari segi bentuk syair sufi tidak berbeda dengan syair lainnya, namun dari segi kandungan ada beberapa karakteristik tersendiri yang dimiliki oleh syair sufi.

Syair Abu Nawas

Berikut adalah contoh kutipan syair ciptaan tokoh kocak Abu Nawas, salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik, yang berjudul Al-I’tiraf (Sebuah Pengakuan):

Baca Juga  Self-efficacy sebagai Pondasi Spirit Pemuda Era Kini

Tuhanku, hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).

Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.

Maka perkenankanlah hamba bertobat dan ampunilah dosa-dosa hamba.

Karena sesungguhnya Engkau Pengampun dosa-dosa besar.

Kutipan dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Isi syair al-i’tiraf  menggambarkan seorang hamba yang mendamba-dambakan surge.

Namun ia sadar akan ketidakpantasan dirinya untuk mendapatkannya sebab begitu banyak dosa dan hina yang melumuri dirinya. Akan tetapi, ia juga sangat takut akan panasnya api neraka. Kemudian ia teringat bahwa Tuhannya adalah Sang Maha Pengampun. Maka berdoalah ia seraya memohon ampun atas segala dosa-dosanya.

Penyunting: M. Bukhari Muslim