Kaum Marxis menuduh bahwa agama adalah candu masyarakat. Agama disamakan seperti narkotika yang mempengaruhi akal pikiran manusia. Manusia dipengaruhi angan-angan akhirat, sehingga enggan memperjuangkan hak-hak mereka yang terampas. Orang yang terpengaruh agama dibuat tunduk pada kemauan orang-orang zalim, lalu mematuhi para pelaku kezaliman itu dengan suka rela. Menurut Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, tuduhan ini tidak dapat diterima. Kalaupun tuduhan ini benar mengenai kondisi suatu kepercayaan lain, namun sama sekali tidak tepat ditujukan dalam konteks agama Islam.
Argumen Agama Bukanlah Candu
Syaikh al-Qaradhawi menegaskan argumennya dalam bab pertama al-Madkhal li Ma’rifatil Islam yang diterjemahkan dengan judul Pengantar Kajian Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997). Menurut beliau, agama yang yang benar tidak akan menghilangkan kesadaran masyarakat dari menuntut haknya lantaran tenggelam mencari kenikmatan akhirat. Agama yang benar justru tidak dapat berkompromi dengan kezaliman serta tidak rela terhadap kerusakan dan penyelewangan. Bahkan, menurut beliau, Islam justru mengajarkan manusia untuk melepaskan diri dari segala bentuk penghambaan selain kepada Penciptanya. Hal ini tegas tersimpul dalam kalimat “Laa Ilaha Illallah” (Tidak ada ilah kecuali Allah).
Islam mengajarkan bahwa seluruh manusia adalah sama. Tidak boleh sebagian orang memperbudak atau menindas sebagian yang lain. Apabila ada yang melakukan penindasan, maka orang yang lainnya lagi memiliki kewajiban untuk menghalanginya. Jika tidak, maka orang yang diam melihat kezaliman “dianggap bersekongkol” dalam kezaliman itu. Selanjutnya Syaikh al-Qaradhawi menyebutkan ayat berikut.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. al-Anfal [8]: 25)
Muhammad Izzat Darwazah dalam al-Tafsir al-Hadis menjelaskan bahwa kata fitnah dalam ayat tersebut bermakna kerusakan (al-fasad), pertentangan (al-khilaf), dan perselisihan (al-niza’). Selanjutnya, menurut Darwazah, di antara kandungan ayat itu berisi seruan untuk orang-orang beriman agar menjauhi fitnah serta tolong-menolong (ta’awun) dalam mencegahnya. Hal ini karena nantinya dampak buruk dari fitnah itu tidak hanya mengenai pelaku kezaliman semata, melainkan masyarakat secara umum. Pada intinya ayat tersebut memberi spirit untuk melawan kezaliman serta membela orang-orang terzalimi. Sikap sukarela ditindas serta berdiam diri melihat penindasan sangat tidak sejalan dengan ayat tersebut.
Spirit melawan kezaliman juga tertuang dalam banyak hadis Nabi. Bahkan Nabi Saw. memerintahkan orang-orang yang menyaksikan kemungkaran (kezaliman, kerusakan, dan penyelewengan) agar berjuang untuk mengubahnya dengan segala kemampuan. Beliau Saw. bersabda:
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan hal itu merupakan keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim)
Islam Sangat Mencela Sikap Lemah
Menurut Syaikh al-Qaradhawi, walaupun mengubah dengan hati berada pada tingkatan yang paling rendah, namun hal itu bukanlah sesuatu yang pasif dan sepele. Beliau menegaskan bahwa mengubah dengan hati merupakan bara kemarahan dan kebencian terhadap kemungkaran yang berkobar dalam hati. Pada akhirnya kobaran itu hanya menunggu momentum untuk dapat mengubah dengan perkataan atau perbuatan. Buah minimal dari kebencian terhadap kemugkaran itu ialah meninggalkan orang-orang zalim. Enggan untuk sekedar duduk bersama, berteman, apalagi bekerja sama dengan mereka.
Ajaran Islam sangat mencela sikap lemah. Tidak dibenarkan seseorang mengucapkan hasbiyallah wa ni’mal wakil (cukuplah Allah bagiku dan Dia adalah sebaik-baik tempat berpasrah) atau laa hawla wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) dengan tujuan sekedar menutupi kelemahannya. Orang itu enggan menghadapi suatu persoalan dengan kearifan dan kecerdikan. Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencela sikap lemah. Seharusnya kamu bersikap cerdik. Namun jika kamu setelah itu tetap dikalahkan dalam suatu perkara, maka barulah katakan: ‘hasbiyallah wa ni’mal wakil’.” (HR. Abu Dawud)
Agama Islam mengajarkan umatnya untuk menolak tunduk terhadap kebatilan, kelemahan, ketidakberdayaan, serta perbudakan. Sebaliknya Islam mengajak masyarakat untuk mendukung kebenaran, serta menggalang kekuatan dan memperjuangkan kebebasan dari segala bentuk kezaliman. Apakah agama yang demikian dianggap sebagai candu masyarakat? Candu yang menghilangkan kesadaran, membuai manusia dengan angan-angan surgawi dan berdiam diri terhadap kezaliman. Tentu tidak.
Bagi Syaikh al-Qaradhawi, dapat dimaklumi karena mungkin Karl Marx tidak mengenal Islam ketika melontarkan pernyataannya. Marx mungkin tidak mengetahui sikap agama Islam terhadap kezaliman, kesewenang-wenangan dan kerusakan. Walaupun semestinya ia tidak mengeluarkan pernyataan yang seolah menggeneralisir semua agama. Semestinya ia melakukan kajian terhadap beberapa agama atau membatasi pernyataannya untuk agama yang ia ketahui saja. Itu bagian dari kaidah ilmiah.
Islam Bukan Agama Candu
Paparan Syaikh al-Qaradhawi di atas juga tepat ditegaskan bagi umat Islam sendiri yang masih salah memahami ajaran Islam, baik secara sengaja atau tidak disengaja. Ada orang-orang yang justru menggunakan kosakata agama untuk mengekalkan kesewenang-wenangan. Kata-kata seperti ikhlas, sabar, syukur, dan qanaah seringkali disalahgunakan untuk kepentingan segelintir orang dan menzalimi orang lain. Orang diajak ikhlas untuk menutupi kelemahan menegakkan profesionalitas. Orang diajak sabar karena ketiadaan spirit untuk berjuang. Orang diajak diajak syukur dan qanaah agar tidak berani menuntut hak-haknya.
Semua itu dibarengi dengan iming-iming surgawi demi melancarkan kezaliman pihak tertentu yang menikmati manisnya kekayaan dan kekuasaan. Seolah orang baru dikatakan saleh apabila menerima dengan senang hati ketika dimiskinkan dan ditindas. Orang yang menuntut haknya dicap tidak ikhlas, tidak sabar, tidak syukur, dan tidak qanaah. Para “pemilik kavling surga” mengotori kosa kata mulia itu dan menggeser maknanya. Akhirnya, spirit perjuangan melawan kesewenang-wenangan kian melemah karena umat asyik menikmati bayang-bayang agama secara keliru. Kalau pemahaman demikian yang terjadi, benarlah bahwa agama adalah candu.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply