Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Survival Strategy Pesantren Pasca Bom Bali

Judul Buku         : Survival Strategy Pesantren Pasca Bom Bali

Penulis                : Hanik Yuni Alfiyah, Muhammad Fahmi, Asnal Mala

Penerbit             : Bitread Publishing

Tahun Terbit      : 2020

Tebal                   : 168

ISBN                    : 978-623-224-436-8

Sebagai destinasi wisata, Pulau Bali menyimpan segudang panorama alam dan sosial yang menarik untuk dieksplorasi lebih jauh. Umat Hindu Bali sangat kental akan kultur religiusitasnya. Hal ini menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan domestik maupun manca negara untuk mengunjungi Bali. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, kultur religius di Bali semakin mengalami – meminjam istilah Thomas S. Kuhn – shifting paradigm (pergeseran paradigma) ke arah kehidupan yang modern. Asimilasi budaya antara budaya Barat dan lokal semakin tergambar di Pulau Dewata, Bali.

Tak pelak, fenomena pemeluk agama yang – mengutip istilah Geertz – abangan semakin menambah kepelikan tersendiri. Bom Bali I dan II, misalnya, yang dilakukan oleh sekelompok muslim radikal menyebabkan “broken home” antara hubungan satu pemeluk agama dengan agama yang lain. Pada dasarnya, masyarakat Bali merupakan masyarakat yang ramah dan memiliki toleransi yang tinggi. Hal ini tidak lain karena “berkah” dari ajaran Ahimsa, Satya dan Tat Twam Asi. Artinya, ketiga ajaran itu menitikberatkan pada ajaran toleransi, perilaku nirkekerasan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian. Dalam terminologi Jawa dikenal dengan istilah unggah-ungguh atau tepo slira (baca: tata krama, sopan santun).

Hal inilah yang melatari Hanik Yuni Alfiyah, dkk mendalami masalah ini. Yaitu bagaimana terjadinya rekonsiliasi antara umat Hindu Bali dengan umat Islam pasca Bom Bali I dan II melalui survival strategy pesantren. Ia mengambil dua lokus tempat yang menjadi basis penelitian. Yaitu Pondok Pesantren Raudlotul Huffadz dan Pondok Pesantren Bali Bina Insani, Tabanan, Bali.

Tragedi Bom Bali

Semenjak tragedi bom Bali, umat Islam mendapatkan banyak “musibah” dan sitgma negatif baik penduduk lokal maupun luar Bali. Bagaimana tidak, yang dulunya umat Hindu rukun dengan umat Islam, sekarang harus “berjarak” dan saling menaruh prasangka ketika itu. Umat Islam di Bali menjadi tidak nyaman untuk beraktivitas karena selalu mendapat stigma negatif pasca tragedi bom Bali (hal 3).

Baca Juga  Menggali Aspek-Aspek Moderasi Islam, Resensi buku Wasathiyyah Quraish Shihab

Menyikapi hal ini, tokoh masyarakat Bali dan tokoh pemuka Islam Bali melalui Forum Kehidupan Umat Beragama (FKUB) untuk mengadakan pertemuan dalam rangka rembug bersama atas peristiwa yang terjadi. Hasilnya, para pemuka agama sepakat bahwa umat Islam sejatinya tidaklah seperti itu. Tragedi bom Bali ternyat dilakukan oleh pihak luar Bali yang mencoba ingin merusak tatanan kerukunan antara umat Islam dan Hindu. Hasilnya, para pemuka agama sepakat untuk saling menjaga dan menahan diri satu sama lain demi keharmonisan kehidupan masyarakat Bali.

Lebih dari itu, pertemuan antar pemuka agama tersebut bertujuan untuk mengendalikan dan mengedukasi masyarakat. Agar tidak saling menuduh dan mudah tersulut emosi serta melakukan aksi-aksi anarkis yang justru menimbulkan kontraproduktif. Kendati demikian, pasca bom Bali tetap merupakan momen-momen yang sulit bagi umat Islam di Bali. Dan yang notabene menyandang status sebagai minoritas. Tragedi bom bali seakan menjadi cambuk bagi kaum muslimin untuk lebih memahami dasar agama Islam secara komprehensif. Penguasaan terhadap penafsiran Alquran perlu diperdalam. Selain itu, keberadaan pesantren di Bali memiliki andil besar dalam melakukan – mengutip istilah Durkheim – kohesi sosial (social cohesion) dan perubahan sosial (hal 3-4).

Survival Strategy Pesantren Pasca Bom Bali

Secara sederhana, survival strategy pesantren ialah strategi yang digunakan oleh pesantren dalam rangka mempertahankan diri agar tetap sintas atau survive di tengah kecamuk badai yang menerpa. Untuk memotret bagaimana strategi itu dijalankan, apa faktor pendukung dan tantangan yang dihadapi. Penulis buku ini (Hanik, Fahmi, Mala) mengambil lokus penelitian di dua pesantren. Yaitu Pesantren Raudlotul Huffadz dan Pesantren Bali Bina Insani (BBI) di Kabupaten Tabanan, Bali sebagai pesantren kunci.

Baca Juga  Kajian Kitab: Mengenal Lima Kaidah Tafsir Al-Sa’di

Alasan memilih pesantren Raudlotul Huffadz, demikian kutipan buku ini, karena pesantren ini bercorak pesantren tahfidzul Quran yang memiliki paradigma unik. Bahwa kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam seperti tragedi bom Bali I dan II disebabkan oleh kurang dalamnya pemahaman keagamaan mereka dalam memahami ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an. Sehingga pesantren ini berusaha memberikan pemahaman esensi ajaran Islam melalui Al-Qur’an demi menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin (hal. 87).

Sementara itu, Pesantren Bali Bina Insani (BBI) merupakan pesantren yang inklusif, pluralis, toleran terhadap setiap perbedaan. Sampai-sampai ada guru di pesantren tersebut yang beragama Hindu diberi kesempatan mengajar di pesantren dan lembaga pendidikan di bawah naungannya seperti Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Tentu, kedua pesantren ini dalam perjalanannya mendapatkan banyak tantangan dalam mengelola pendidikannya, terutama ketika tragedi bom Bali saat itu.

Nilai Toleransi

Survival Strategy (strategi bertahan) yang dilakukan kedua pesantren tersebut dan beberapa pesantren lainnya di Bali adalah mengedepankan sikap toleran. Mengingat kelompok pesantren bahkan umat Islam di Bali adalah kelompok minoritas. Terlebih pasca tragedi bom Bali I dan II yang mana umat Islam dan pesantren secara khusus dicurigai sebagai sarang teroris. Paradigma toleransi ini menjadi pondasi utama dalam menangkal stigma bahwa Islam agama teroris. Stigma dan image yang demikian ini kemudian dinetralisir oleh tokoh-tokoh muslim melalui upaya dialog yang intens dengan pemuka agama lain. Lalu digunakan untuk mengintrodusir ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Selain sikap toleran, pesantren-pesantren di Bali (Raudlotul Huffadz dan Bali Bina Insani) memanifestasikan strategi adaptif dan kearifan sosial (social wisdom) (hal. 157).

Selanjutnya, pola pengelolaan kedua pesantren tersebut dilakukan dengan manajemen terbuka (open management). Artinya, pesantren-pesantren tersebut tidak menutup diri dari relasi pihak luar, meski berbeda agama. Bahkan, pesantren BBI berani merekrut sejumlah guru beragama Hindu demi menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Sementara Pesantren Raudlotul Huffadz melalui tahfidz Al-Qur’an berusaha menampilan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin . Melalui hafalan Al-Qur’an secara istiqamah dan menulis. Khusus untuk redaksi terakhir, santri selain menghafal juga harus mampu untuk menuliskan apa yang telah dihafalnya sehingga mempermudah untuk mengingat hafalan.

Baca Juga  Belajar Bersahabat ala Rasulullah

Pembiasaan kedua metode ini bukan tanpa alasan. Kiai Noor Hadi, pengasuh dan pendiri Pesantren Raudlotul Huffadz menuturkan bahwa keprihatinan beliau akan minimnya anak muda lulusan Aliyah atau pesantren tidak cakap menulis bahasa Arab, di samping ketelitian terhadap tanda waqaf (berhenti) dan washal (menyambung bacaan). Hal ini berguna untuk menghindari adanya salah pemaknaan dalam menafsirkan Alquran. Ini karena banyaknya orang yang salah dalam menafsirkan Alquran. Beliau juga menyayangkan orang-orang yang memahami Alquran secara tekstual (hal. 104).

Filosofi Toleransi Ajaran Hindu

Dalam pada itu, faktor pendukung pesantren-pesantren di Bali tetap sintas adalah sikap mendasar masyarakat Hindu Bali yang mengejawantahkan filosofi ajaran toleransi Hindu. Yaitu Tat Twam Asi dan Ahimsa (nirkekerasan) secara baik. Tat Twam Asi menekankan pada persaudaraan universal, sedangkan ahimsa adalah larangan untuk melakukan kekerasan baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan. Hal-hal inilah yang mendukung pesantren tersebut untuk tetap sintas dan survive, selain juga tepa sliro dari umat Islam yang notabene minoritas.

Inilah yang menarik dari buku ini dan saya rasa penting untuk dibaca. Kemudian dieksplorasi dan didiskusikan bersama dalam rangka mengarusutamakan kerukunan beragama melalui pesantren di wilayah minoritas muslim.

Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Penikmat kajian keislaman, pendidikan Islam, pemikiran dan filsafat Islam, sosiologi dan studi al-Quran