
Sekilas Tentang Sunan Ampel
Sunan Ampel adalah nama laqob dari Ali Rahmatullah yang lahir tahun 1401 M. di Champa, sisi timur Vietnam. Beliau adalah putra dari Ibrahim as Samarqandy yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah melalui Fatimah dan Sayyidina Ali. Ibunya bernama Dewi Candrawulan yang merupakan Putri Raja Champa.
Usia 20 tahun, Ayahnya mengajak ia, Ali Murtadho, dan Abu Hurairah pergi ke Jawa untuk menjenguk bibi Dewi Andrawati dan Martaningrum yang bermukim pusat kerajaan Majapahit. Sekitar tahun 1440-1419 M. mereka sampai dan berhasil bertemu Prabu Brawijaya. Setelah itu, ia menyampaikan surat dari Ayahnya yang berisi ajakan untuk masuk islam.
Kondisi Sosial Politik Keagamaan
Masyarakat masa itu masih terpengaruh oleh pendeta, biksu, guru ajar, empu, ras dan wiku yang mengendalikan strata dan kelas sosial. Kharisma dan kemampuan mistik mereka membuat semua kelas tunduk termasuk para bangsawan.
Kerajaan Majapahit saat itu juga mengalami kemunduran sepeninggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk. Perang saudara membuat kerajaan terpecah dan para Adipati banyak yang mengkorupsi upeti sehingga uang rakyat tidak sampai ke istana Majapahit.
Hal ini membuat Prabu Brawijaya bersedih. Mengingat kebiasaan buruk bangsawan dan pangeran yang suka berjudi, mabuk, berfoya-foya dengan uang rakyat, dan kebiasaan buruk lainnya. Jika kebiasaan ini terus berlanjut akan melemahkan dan menghancurkan kerajaan.
Sunan Ampel juga sedih karena tidak ada satupun yang beragama Islam dan banyak yang melanggar perintah Allah dengan berpesta, mabuk dan perbuatan tercela lainnya. Keadaan itu membuatnya ingin kembali ke Champa, namun Prabu Brawijaya melarang karena kerajaan Vietnam dan Sriwijaya sedang menyerang kerajaan Champa.
Prabu Brawijaya yang sudah menganggap Sunan Ampel seperti anaknya sendiri, kemudian memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Sunan Ampel kemudian menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri dari Tumenggung Tuban. Kemudian melahirkan 4 anak yaitu Putri Nyai Taluki, Maulana Ibrahim, Syarifuddin dan Dewi Sarah.
Setelah satu tahun menetap, Ia berhasil menyadarkan para adipati dan masyarakat. Walaupun Prabu Brawijaya tidak mau masuk Islam tetapi Ia memberi banyak kesempatan dan fasilitas kepada Sunan Ampel untuk menyebarkan Islam. Bahkan, memberikan tanah Ampeldenta dan mengislamkan sekitar 300 keluarga yang kemudian bermukim dan menjadi pengikutnya.
Perpaduan Agama dan Budaya Oleh Sunan Ampel
Sunan Ampel memperkenalkan ajaran Islam dengan tradisi yang sesuai dengan budaya masa itu. Seperti mengenalkan sholat menggunakan istilah sembahyang yang masa itu merupakan istilah penganut kapitayan untuk ritual menyembah sang hyang taya.
Penganut kapitayan juga mengenal ibadah pasa broto (tidak makan minum mulai malam hari) atau upawasa (kebiasaan puasa pada hari ke 2 dan 5 dalam seminggu yang terhitung puasa 7 hari). Sunan Ampel mengubahnya menjadi poso senin kemis.
Termasuk juga anggapan kiri buruk dan kanan baik. Jadi, sebelum masuk ke tempat-tempat yang tidak baik seperti jamban, kamar mandi, dan sebagainya menggunakan pakiwan atau mendahulukan kaki kiri.
Sunan Ampel juga memakai kata “langgar” sebagai pengganti “sanggar”. Kata “santri” dimaknai orang yang menguasai kitab suci Islam sebgaia padanan “shastri” yang artinya orang yang paham kitab suci Hindu.
Ia juga memudahkan pemahaman Syariat dengan “moh limo” yaitu moh main (tidak berjudi), moh ngombe (tidak minum miras), moh maling (tidak mencuri), moh madat (tidak menggunakan ganja dan sejenisnya yang membuat candu) dan moh madon (tidak berzina). Pemikiran ini menjadi lawan dari ajaran Tantrayana yang memiliki ritual Pancamakara yang jumlahnya 5 yakni: mamsha (daging), matsya (ikan), madya (minuman keras), maithuna (bersetubuh sepuasnya) dan mudra (semedi).
Sunan Ampel membangun Pondok Pesantren sebagai hasil akulturasi dari asrama yang dulunya ada untuk membentuk pendeta atau biksu. Bangunan Masjid menyerupai bangunan lokal pada umumnya tanpa menyebutkan fungsi dari tempat tersebut. Penyampaian dakwahnya juga seringkali menggunakan cerita wayang seperti Dewa Ruci, Kitab Serat Ambiya dan Jimat Kalima Sodo yang berisi ajaran akidah dan tauhid. Sehingga masyarakat perlahan bisa menerima Islam.
Desain ornamen yang ada pada bangunan gapura Sunan Ampel bernama paduraksa, Desain ini memanfaatkan ornamen atau simbol milik Majapahit yang kemudian maknanya bergeser menjadi mengandung ajaran Islam.
Perpaduan Agama Dan Budaya dari Segi Desain Bangunan
Ada 5 gapura paduraksa yang berurutan dari arah makam sampai keluar area komplek masjid dan makam Sunan Ampel yaitu: gapura panyeksen (syahadat), gapura madep (sholat), gapura ngamal (zakat), gapura poso (puasa) dan gapura munggah (haji).
Tiap tiap ornamen mayoritas berasal dari ragam hias tradisional Jawa dan langgam Majapahit atau pra Islam. Misalnya, gapura panyeksen yang memiliki lambang Surya Majapahit berbentuk bunga bermahkota delapan dengan 3 susun. Awalnya, ini menjadi simbol penghargaan kejayaan Majapahit yang kemudian bergeser menjadi makna penghargaan pada Kerajaan Majapahit dan Walisongo.
Pada gapura madep terdapat stilasi (perubahan bentuk yang lebih dekoratif dari bentuk aslinya tanpa mengubah ciri khas) tumbuhan menjalar yang bunganya bermekaran. Maknanya kemenangan dan kejayaan yang berasal dari hati tenang melalui madep/sholat.
Pada gapura ngamal terdapat stilasi dari simbol Surya Majapahit yang susunannya memusat dari 4 bunga dan cengkeh. Bermakna penghargaan pada Majapahit dan Walisongo serta pengingat untuk ngamal/ zakat setelah beruntung dari perdagangan cengkeh. Pada masa itu, cengkeh merupakan rempah khas Indonesia sehingga para saudagar dari Arab maupun Cina ke Indonesia untuk membelinya. Ada juga stilasi tumbuhan menjalar dengan banyak buah yang memiliki makna kesuburan dari orang yang berzakat.
Gapura poso memiliki simbol surya Majapahit yang berbentuk bunga wijaya kusuma yang memiliki 8 mahkota susun 3. Simbol ini bermakna penghargaan pada Majapahit dan Walisongo serta harapan kuat lahir batin dalam menjalankan poso/puasa.
Sedangkan gapura yang terakhir, yaitu gapura munggah. Stilasinya dari simbol Surya Majapahit yang bentuknya bunga bermahkota 8 tapi juga seperti perisai yang bermakna penghargaan untuk kerajaan Majapahit, Walisongo, serta pengingat setelah melewati gapura munggah ini akan menjadi kuat secara lahir batin dan memancar ke 8 arah mata angin.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.