Dakwah merupakan sesuatu yang fundamental dalam Islam. Dakwah dipahami sebagai aktivitas transformasi ajaran Islam dengan doktrin kenabian sebagai realitas masyarakat. Nampaknya agama Islam tidak akan bisa dikonsumsi masyarakat tanpa didakwahkan oleh seseorang maupun kelompok.
Kegiatan dakwah sendiri dimulai sejak Nabi Adam sebagai manusia pertama di bumi. Kemudian dilanjutkan oleh para nabi-nabi yang diutus oleh Allah untuk mendakwahi umatnya yang menyimpang, sampai pada zaman Nabi Muhammad Saw. kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabiin dan para ulama hingga sekarang.
Pada perkembanganya dakwah akhirnya menjadi ilmu tersendiri yang masyhur disebut “ilmu dakwah”. Terdapat definisi dan sub bab yang termaktub di dalamnya. Salah satu yang paling mencuat dan sering diangkat para peneliti dibidang dakwah adalah mengenai strategi dakwah.
Al-Qur’an sebagai kitab yang komprehensif secara tersirat mengajarkan kepada Nabi Muhammad dan ummatnya lewat kisah-kisah yang termaktub didalamnya. Salah satu kisahnya yang mengajarkan tentang strategi dakwah pernah dicontohkan Nabi Ibrahim dalam Q.S Maryam [19]: 43-44.
Pengertian Dakwah
Secara terminologis “dakwah” berasal dari bahasa Arab yang berarti ajakan, seruan, pangilan atau undangan. Dasarnya terdapat Q.S An-Nahl ayat 125 yang secara tersirat menerangkan soal metode dakwah yang dipraktikkan oleh Rasulullah Saw.
اُدۡعُ اِلٰى سَبِيۡلِ رَبِّكَ بِالۡحِكۡمَةِ وَالۡمَوۡعِظَةِ الۡحَسَنَةِ وَجَادِلۡهُمۡ بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُؕ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ضَلَّ عَنۡ سَبِيۡلِهٖ وَهُوَ اَعۡلَمُ بِالۡمُهۡتَدِيۡنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanya dan dialah yang lebih mengetahui orang orang yang mendapat petunjuk”.
Mengacu penafsiran ulama, Imam at-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat ini adalah suatu perintah dari Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. agar menyeru umatnya untuk taat kepada Allah Swt. (Ibnu Jarir At-Thabari, Jami’ Al-Bayan, Juz 14 hal. 400).
Ibnu Katsir menegaskan dalam tafsirnya, bahwa Rasulullah diperintah Allah untuk mengajak manusia dengan hikmah (berdasarkan kitab Al-Qur’an dan sunnah), mauidha al-hasanah (tutur yang lembut), mujadalah (diskusi atau perdebatan ilmiah yang santun). Agar misi dakwahnya diterima oleh umat pada waktu itu. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2, hal. 352).
Mengacu penafsiran para ulama di atas, maka dakwah secara terminologis menurut Toha Yahya Omar adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah. Untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Sedangkan menurut Quraish Shihab dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna. Baik terhadap pribadi maupun masyarakat.
Dalam proses dakwah seorang dai harus memformulasikan kegiatan dakwahya agar berhasil. Strategi dakwah menjadi suatu yang esensial dan akan mempengaruhi proses merubah seseorang ke jalan yang lurus. Kemudian strategi dakwah juga adalah suatu metode, siasat, taktik yang dipergnakan dalam aktifitas atau kegiatan dakwah, yang dimana peranya sangat menentukan dalam proses pencapaian tujuan dakwah.
Strategi Dakwah Nabi Ibrahim
Strategi dakwah pernah dipraktikkan langsung oleh Nabi Ibrahim AS ketika mendakwahi ayahnya sendiri. Termaktub dalam Q.S Maryam [19]: 42-43 bagaimana model dakwah yang santun, komunikatif dan rasional yang dipraktikkan oleh Nabi Ibrahim.
Digambarkan dalam Q.S Maryam[19] ayat 42, Nabi Ibrahim ketika itu mengawali komunikasinya dengan santun dan lembut kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?
Ali al-Shabuni mengungkapkan dalam tafsirnya, bahwa panggilan “yaa abati” oleh Nabi Ibrahim menunjukkan panggilan kasih sayang kepada sang ayah. Beliau bertekad keras agar ayahnya selamat dari keyakinan sesat dan ingin menuntun kejalan yang lurus. Untaian kata-kata Nabi Ibrahim itu tersusun santun, komunikatif dan rasional (Ali Ass-Shabuni, Sofwat at-Tafasir hal. 200).
Dari kisah di atas bisa diambil pelajaran bahwa dengan tutur kata yang baik dan memiliki sifat welas asih adalah suatu potensial dalam keselamatan dan keberhasilan berdakwah. Terkadang dakwah tidak diterima masyarakat karena dai langsung menjustifikasi bahwa ini adalah suatu keburukan dan tidak bisa mentolelir karena ketidak-tahuan atau belum mendapatkan hidayah dari Allah. Maka seorang pendakwah harus visioner dan memiliki misi tahapan dalam merubah ke jalan yang diridhoi Allah Swt.
Kemudian Nabi Ibrahim menyampaikan secara rasional dengan santun. Bahwa apa yang telah ayahnya sembah tidak ada manfaatnya. Tidak dapat menolong sedikitpun dan tidak mampu melihat dan mendengar. Ini menunjukkan bahwa akal adalah pusat dari segala keyakinan. Sebab akal akan mentansformasi pengetahuan kedalam hati sehingga timbul pengakuan.
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus” (Q.S Maryam[19] ayat 43).
***
Kalimat dakwah yang biasanya bermodel kata perintah dalam dua ayat ini malah mengandung pertanyaan. Hal tersebut menjadi pelajaran bagi pendakwah, bahwa ketika melihat seseorang masih dalam kesesatan bukan langsung berkonklusi dengan emosional tinggi. Akan tetapi cari kronologi yang bisa diangkat menjadi argumentasi.
Kemudian dalam berdakwah, tidak kalah pentingnya melakukan komunikasi yang baik dan benar. Quraish Shihab dalam tafsirnya memaparkan bahwa Nabi Ibrahim tidak secara tegas menyebut berhala sebagai sesembahan ayahnya. Namun menyebut sifatnya. Nabi Ibrahim memberi nasihat kepada ayahnya dengan halus dan tidak mengatakan sebagai bodoh karena menyembah sesuatu yang buta dan tuli. Ibrahim bertindak santun, komunikatif, lembut, halus dan rasional. (Tafsir Al-Misbah hal. 196).
Strategi dakwah Nabi Ibrahim sangat bisa dijadikan contoh. Bahwa prilaku syirik pun yang tidak bisa ditolelir masih diberi kesempatan untuk berfikir dan cara berdakwahnya pun ramah, toleran serta penuh kasih sayang. Seorang pendakwah atau penceramah harus tetap bersikap hormat kepada objek dakwahnya. Meskipun berlatar belakang bodoh sekalipun. Sebab pertama yang akan dinilai mad’u (orang yang didakwahi) adalah attitude seorang dai.
Kemudian seorang pendakwah janganlah langsung menghakimi dengan dalih nafsunya sendiri. Beri orang yang didakwahi mengemukakan pendapat, alasan dan argumentasi. Nabi Ibrahim berdakwah bukan dengan cara memerintah dan memaksa agar mau ikut dengan ajaranya. Namun lebih ke meyakinkan kepada ayahnya bahwa apa yang ia sembah hanyalah patung yang tidak ada manfaatanya. Wallahu a’lam
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply