Perempuan dalam sejarah sejak ratusan tahun lalu telah ditempatkan sebagai makhluk sosial kelas dua yang termarjinalkan dan tersubordinasi. Ia diperlakukan semena-mena, tidak mendapatkan haknya sebagaimana laki-laki, dan bahkan dianggap seperti barang yang dapat dipertukarkan. Pada abad ke-4 SM di Yunani perempuan dijadikan sebagai pemuas laki-laki, tugas perempuan hanya untuk melahirkan anak dan mengurus rumah. Pendidikan hanya diberikan kepada anak laki-laki sementara perempuan dilarang untuk belajar membaca dan menulis.
Perempuan dalam sejarah Roma (753 SM) hanya ditugaskan untuk memberikan keturunan dan kelahiran anak laki-laki begitu diharapkan. Sementara kelahiran anak perempuan dianggap membebani keluarga dan tidak dapat memberi andil apapun. Dalam sejarah dan tradisi India, hanya laki-laki yang dianggap sebagai makhluk bijaksana. Sementara perempuan hanya dianggap sebagai beban keluarga, bahkan pengguguran seringkali terjadi ketika diketahui bahwa yang dikandung adalah bayi perempuan.
Di Jazirah Arab sebelum kehadiran Islam perempuan tidak memiliki haknya, mewariskan perempuan adalah hal yang lumrah. Kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang wajar dilakukan. Laki-laki bebas untuk memiliki istri dengan jumlah tanpa batas tanpa memperhatikan hak perempuan. Kelahiran perempuan dianggap aib yang dapat mempermalukan keluarga. Tidak jarang bayi perempuan dibunuh dan dikubur hidup-hidup untuk menutupi rasa malu keluarga.
Di Indonesia sendiri, subordinasi dan marjinalisasi terhadap perempuan sering terjadi. Perempuan dilarang untuk berpendidikan tinggi agar tidak merusak harga diri laki-laki. Perempuan diajarkan untuk (hanya) berkutat di sumur, dapur dan kasur melayani suami dan mengurus keluarga. Ia harus segera menikah bahkan meski belum mencukupi umur. Perempuan yang melajang terlalu lama dianggap memalukan. Di beberapa daerah perempuan dijual oleh orang tuanya untuk dinikahi sebagai bayaran atas pinjaman hutang orang tuanya. Tanpa ditanya dan diminta pendapatnya, perempuan dituntut untuk patuh dan taat pada keputusan orang tuanya, dalam hal ini orang tua laki-laki sebagai pengambil keputusan di keluarga.
Bias Gender dalam Literatur Islam
Suara perempuan sejak ratusan tahun lalu tidak pernah didengar dan dipertimbangkan. Terlahir menjadi perempuan sama dengan membiarkan diri untuk mendapat tuntutan-tuntutan yang seolah (hanya) harus dilakukan oleh perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua yang harus patuh pada perintah laki-laki. Perempuan harus melayani laki-laki, perempuan harus mengikuti keinginan laki-laki, dan perempuan harus menjaga diri dan kehormatannya untuk laki-laki.
Meski nilai-nilai ini terlahir karena faktor sosial dan budaya, namun perlu disadari pula bahwa tafsir keagamaan yang bias gender turut memengaruhi pemahaman masyarakat terhadap perempuan. Misalnya, dalam memahami ayat tentang kepemimpinan (QS. al-Nisa’ [4]:34), mufassir klasik seperti Ibnu Katsir berpendapat bahwa kepemimpinan laki-laki adalah mutlak dalam segala bidang, baik dalam lingkup keluarga maupun sosial. Hal ini karena laki-laki dianggap memiliki kelebihan dibandingkan perempuan baik secara fisik, intelektual, maupun kemampuan dalam menafkahi.
Menurut al-Qurthubi kepemimpinan ini memberi kekuasaan kepada laki-laki untuk memegang kendali atas perempuan dan keluarganya. Menurut al-Razi kelebihan laki-laki juga berkaitan dengan pembagian waris yang lebih banyak, hak laki-laki (suami) mentalaq istri dan meruju’-nya kembali jika ia berkehendak. Sementara perempuan tidak bisa mentalaq suami dan tidak bisa meruju’-nya. Laki-laki juga boleh berpoligami sementara perempuan tidak, dan nasab keluarga yang disandarkan kepada laki-laki bukan kepada perempuan.
Perlunya Penafsiran Baru
Penafsiran-penafsiran ini hadir dan turut mewarnai literatur keilmuan Islam. Kitab-kitab rujukan utama dalam mengkaji dan mempelajari tafsir al-Quran justru menjadi sumber penafsiran bias gender tersebut. Hal ini tidak dipungkiri terjadi karena pada saat itu perempuan tidak dilibatkan dalam proses penafsiran al-Quran, tidak adanya perspektif perempuan dalam penafsiran, dan bahkan sangat jarang ditemukan perempuan sebagai mufassir.
Sementara itu perubahan zaman terus terjadi. Menerapkan pemahaman klasik pada abad ke-21 tidak lagi relevan. Perempuan bekerja di luar rumah, perempuan menafkahi keluarga, perempuan menjadi pemimpin, akan bertabrakan dengan dalil yang mengatakan perempuan harus berdiam di dalam rumah agar tidak menjadi fitnah, perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin karena akan menimbulkan kerusakan, dan perempuan hanya bertugas untuk pekerjaan domestik. Maka perlu hadir penafsiran baru yang kontekstual dan mampu menjawab perubahan zaman. Hal ini sebagai pembuktian bahwa al-Quran adalah kitab yang shalih li kulli zaman wal makan.
Menghapus Jejak Bias Gender
Al-Quran menegaskan dalam QS. al-Nisa’ [4]:1 bahwa baik laki-laki dan perempuan diciptakan dari unsur yang sama (min nafsin wahidah). Menurut Muhammad Abduh maksud ayat ini adalah bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dari esensi yang satu (unsur tanah), maka tidak ada di antara keduanya yang lebih tinggi derajatnya. Dalam ayat tersebut juga Allah memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya, artinya ketaatan dan kepatuhan hanya ditujukan kepada Allah, bukan kepada makhluknya. Perempuan tidak dituntut untuk taat kepada laki-laki, namun baik laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk taat hanya kepada Allah sebagai penciptanya. Inilah yang dinamakan kemurnian tauhid.
Asal penciptaan yang sama ini menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan dan peran yang sama. Allah memandatkan tugas kekhalifahan kepada keduanya, disebutkan dalam QS. al-An’aam [6]:165 bahwa Allah mengutus manusia di bumi untuk menjadi khalifah. Ayat tersebut secara umum ditujukan kepada semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan diamanahkan untuk mengurus, mengatur, dan mengelola bumi dengan baik. Serta menjaga dan memastikan kebaikan untuk sekitarnya dan mencegah adanya keburukan di sekitarnya.
Peran kekhalifahan yang Allah percayakan tidak hanya kepada laki-laki tapi juga perempuan, menunjukkan bahwa Allah tidak membeda-bedakan kemampuan manusia berdasarkan jenis kelamin. Perempuan sama dengan laki-laki memiliki potensi untuk mengatur dan mengelola apa yang ada di sekitarnya, termasuk dalam hal kepemimpinan, perempuan boleh menjadi pemimpin apabila ia memiliki potensi tersebut dan kemaslahatan ada padanya.
Adapun ayat yang menyebutkan bahwa al-rijaalu qawwamuna ‘ala nisaa, tidak bisa hanya dipahami secara tekstual saja. Namun harus dilihat secara konteksnya, bahwa pada masa itu perempuan tidak memiliki potensi untuk memimpin karena mereka hanya ditempatkan di rumah, mengerjakan pekerjaan domestik dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
Al-Quran Menyapa Laki-Laki dan Perempuan
Allah memberikan potensi yang sama kepada perempuan dan laki-laki. Dalam QS. al-Taubah [9]:71 secara eksplisit Allah menyeru kepada keduanya untuk saling tolong menolong, menyuruh kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Lafadz al-mu’minun dan al-mu’minat secara jelas disebutkan menunjukkan bahwa al-Quran hadir tidak hanya turun kepada laki-laki.
Allah menegaskan bahwa kemampuan menolong, menyuruh kepada kebaikan, dan melarang pada kemungkaran tidak hanya dimiliki laki-laki, perempuan juga memiliki potensi untuk dapat membantu sesama, menghadirkan kemaslahatan untuk banyak orang, dan menghilangkan keburukan di sekitarnya. Maka pendapat yang mengatakan bahwa perempuan adalah sumber fitnah dan keburukan adalah pendapat yang bertentangan dengan al-Quran.
Jenis kelamin tidak menentukan kualitas diri seseorang, kehebatan, kebaikan dan keimanan seseorang tidak Allah bedakan berdasarkan jenis kelamin. Hal ini sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. al-Hujuraat [49]:13 bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang bertakwa, yaitu yang mengerjakan kebaikan dan beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya keimanan. Sebagaimana Allah sebutkan dalam QS. al-Nahl [16]:97, secara eksplisit Allah menyebutkan kata laki-laki (dzakar) dan perempuan (untsa) yang Allah jamin akan mendapat kebahagiaan dan kehidupan yang baik apabila keduanya berbuat kebaikan dan beriman.
Janji tersebut Allah berikan kepada laki-laki dan perempuan, maka perempuan berhak untuk melakukan kebaikan baik untuk dirinya, maupun lingkungan masyarakat di sekitarnya. Melarang perempuan berkiprah melakukan kebaikan untuk banyak orang di sekitarnya dan hanya membatasi perempuan di ranah domestik adalah bertentangan dengan semangat al-Quran yang menyeru kepada keduanya baik laki-laki maupun perempuan untuk dapat memberikan maslahat kepada banyak orang di sekitarnya.
Membumikan Islam Ramah Perempuan
Perlu diketahui bahwa Islam sejak awal kehadirannya adalah untuk membumikan nilai-nilai dan ajaran yang menyebar rahmat bagi seluruh alam. Laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang setara, harus dipastikan mendapatkan kebaikan tersebut. Perempuan yang hingga saat ini masih rentan mengalami ketidakadilan seharusnya mendapat pembelaan dan perlindungan.
Namun, hingga saat ini, masih banyak sebagian orang yang mengajarkan dan menghadirkan pendapat agama yang bias gender di tengah kerentanan perempuan. Hal ini mengakibatkan perempuan seringkali menjadi korban yang disalahkan. Padahal Islam adalah ajaran yang berlandaskan ketauhidan kepada Allah, makna tauhid adalah mengesakan sehingga tidak ada yang lain selain Allah yang lebih tinggi derajatnya, lebih hebat dan lebih kuasa selain Allah.
Manusia adalah setara sehingga tidak ada hak untuk merendahkan yang lainnya hanya berdasarkan jenis kelamin. Menghadirkan Islam yang ramah, Islam yang berperspektif perempuan adalah bentuk pembelaan terhadap perempuan dan merupakan bentuk dakwah (mengajak) kebaikan di tengah kuatnya paham patriarki yang masih bertahan sampai saat ini.
Editor: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply