Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Sisi Menarik dari Hamka Mengenai Perempuan

hamka
Sumber: youtube.com

Dikenal sebagai sosok ketua MUI pertama, dan seorang sastrawan, wartawan, penulis, serta politisi yang berkiprah untuk bangsa Indonesia. Selain itu tokoh Muhammadiyyah ini juga memiliki sisi yang menarik untuk dikaji, yaitu perihal pandanganya mengenai perempuan. Sebagaimana judul buku yang telah diterbitkan oleh Gema Insani pada tahun 2015, yang berjudul ‘’Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan’’. Tentu berbicara tentang perempuan pasti tidak akan terlepas dari wanita-wanita yang meminta hak-haknya yang sama rata dengan laki-laki yang dinamai ‘’Vrouwen Emancipatie’’, atau lebih masyhur dengan sebutan‘’feminisme’’.

Dalam penulisan artikel ini, penulis ingin menelisik lebih mendalam, yaitu perihal pribadi Hamka sendiri dalam menyikapi perempuan, serta pandangan-pandanganya tentang perempuan, yang pastinya tidak akan terlepas dari jati dirinya sebagai seorang muslim sejati, sebagai berikut:

Kesetaraan Gender Dalam Keluarga

Untuk lebih menarik akan kepenulisan ini, penulis memulai untaian jahitan tulisan ini, dari sosok istri beliau, yaitu Hajjah Siti Raham binti Endah Sutan, yang mana selepas meninggalnya sosok istrinya tersebut, seorang Buya Hamka mendapatkan sebuah undangan untuk menghadiri acara di stasiun Televisi TVRI pada 20 Januari 1972, dalam tajuk ‘’Mimbar Agama Islam’’ untuk memberikan penerangan agama kepada khalayak ramai

Dan dalam acara bertajuk ‘’Mimbar Agama Islam’’ tersebut, mencuatlah sebuah pertanyaan yang cukup menarik, menurut hemat penulis, yang dilontarkan oleh H. Ismail, yaitu ‘’mengapa pada nisan istri Buya, tertulis Hajjah Siti Raham binti Endah Sutan, tidak dituliskan Hajjah Siti Raham Hamka sebagaimana lazimnya zaman sekarang’’?

Maka, Buya Hamka pun menjawab: “Dan saya tutur Hamka, sekali-kali tidak menyindir atau menyalahkan wanita-wanita yang meminta hak yang sama dengan laki-laki, yang dinamakan ‘’Vrouwen emancipatie’’, atau ‘’feminisme’’, lalu mengubah pusaka agamanya yang sejelas itu, dan menghilangkan kepribadianya, dan merasa megah karena membangsakan diri kepada suami, bukan kepada ayah. Saya tidak mengkritik itu pungkas Hamka, namun saya hanya berharap agar supaya kaum perempuan yang masih belum kehilangan pribadi karena kawin, yang masih terdapat dengan jelas dan terang di Sumatera barat, janganlah sekali-kali dikatakan kolot. Bahkan itulah hak yang diberikan Islam kepada perempuan.

Baca Juga  Tafsir Surah al-Fatihah Ayat 6

Begitu juga tutur Hamka, ketika saya beserta istri hendak naik Haji ke Makkah Al-Mukarromah pada tahun 1968, tertulis di paspor nama saya sendiri, serta nama istri pun tertulis Siti Raham binti Endah Sutan, dan ada pula orang bertanya, ‘’mengapa tidak ditulis Sti Raham Hamka, atau nyonya Hamka?,‘’Tidak, pungkas Hamka, dia tidak kehilangan pribadinya karena bersuami saya’’.

Sisi Menarik Hamka Tentang Perempuan

Hamka mengisahkan bagaimana kebiasaan Barat yang memesona perempuan Indonesia, bahkan sampai sekarang jikalau seorang gadis telah bersuami, bukan namanya saja yang lebur ke dalam nama suami, pungkas Hamka, namun sekaligus hak kekayaanya sendiri taka ada lagi. Bahkan seorang George Bernard Shaw pernah mengatakan: ‘’Di saat seorang perempuan telah bersuami, maka di saat itu juga semua harta miliknya, menurut undang-undang Inggris menjadi milik suaminya.

Sungguh berbeda jauh, pungkas Hamka, dengan addiinul Islam(agama Islam), yang mana hal tersebut terpatri, dari ucapan seorang ulama atau sarjana Islam yang sangat masyhur, yaitu al-Imam al-Hafizh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, yang meninggal pada tahun 751 H (1350), yang menyatakan, sebagaimana Hamka kutip, dalam bukunya ‘’Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan’’, bahwsanya seorang anak gadis yang telah baligh, berakal, serta cerdas, tidak diperbolehkan bagi seorang ayah, yaitu untuk berbuat sesuka hatinya terhadap harta kepunyaan anak gadisnya, terkecuali dia ridho akan hal tersebut, dan seoarang ayah pun, dilarang untuk memaksakan kehendaknya, yaitu untuk mengeluarkan harta anak gadisnya diluar keinginannya. Padahal, membelanjakan seluruh hartanya tanpa keridhoanya jauh lebih mudah, daripada menikahkanya  dengan orang yang bukan pilihanya sendiri tanpa kerelaanya. 

Dan adakah tutur Hamka, peradaban Eropa dari semenjak zaman Yunani dan Romawi sampai ke zaman modern sekarang ini, mempunyai penghargaan sebegitunya terhadap kaum perempun?. Bahkan justru terdapat ungkapan yang cukup masyhur, dari lidah seorang Plato yang mengungkapkan:‘’Saya bersyukur kepada dewa-dewa karena saya dilahirkan merdeka bukan budak, laki-laki bukan perempuan.

Wallahua’alam.

Editor: An-Najmi Fikri R

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 62 (1): Tentang Empat Golongan