Siapa yang tidak mengenal Karl Marx? Seorang filosof, ekonom, dan tokoh sosialis-revolusioner asal Jerman, yang pemikiran-pemikirannya menjadi mercusuar di kalangan para aktivis gerakan sosial khususnya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat kelas bawah (orang miskin dan buruh) dan sekaligus menjadi malapetaka bagi kelompok borjuis-kapitalis (pemilik modal yang suka menindas) dalam melancarkan agendanya.
Marx yang pemikiran filsafatnya identik dengan filsafat sosialisme mencoba untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat kelas bawah dari penindasan dan pengaruh kapitalisme, yang selama ini oleh Karl Marx dinilai banyak merugikan kaum proletar dan menguntungkan kelompok borjuis-kapitalis. Konsistensinya dalam melancarkan kritik dan memperjuangkan hak-hak mereka menjadikannya sebagai seorang aktivis buruh yang terkenal dengan konsep “masyarakat tanpa kelas”.
Pun tak kala menariknya adalah kritik Karl Marx terhadap agama. Ia bertolak belakang dari anggapan umum masyarakat yang memandang agama sebagai petunjuk bagi kehidupan umat manusia dengan menyatakan bahwa; agama bukanlah petunjuk bagi umat manusia melainkan adalah kerangkeng atau institusi penindas. Sebagaimana ungkapan Marx yang terkenal “Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan (tertindas), hati dari dunia, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat”.
Pandangan Kontroversi Karl Marx
Tampaknya ungkapan Marx tersebut bertolak dari sosio-kondisi di mana pada saat itu, agama dijadikan sebagai instrumen perselingkuhan oleh pihak gereja dengan para pemilik modal (kelompok penindas) untuk melanggengkan kekuasaan dan menindas masyarakat kelas bawah melalui transaksi (jual-beli) fatwa-fatwa kekristenan.
Akan tetapi kritik yang dilancarkan Marx, ditujukan kepada model praktik beragama manusia yang cenderung menerima nasib hidupnya yang malang, miskin, hina, dan tertindas. Perilaku semacam ini oleh Marx dinilai tengah bersekutu (sepakat) dengan para kapitalis untuk melanggengkan kemiskinan dan penindasan. Dengan demikian, jelaslah bahwa Karl Marx bukanlah seseorang yang anti-agama sebagaimana anggapan kebanyakan orang, melainkan adalah cara Marx dalam melawan penindasan dan ketidakadilan.
Namun siapa sangka, dibalik pandangan-pandangannya yang sangat tajam dalam mengkritik agama tampaknya tidak begitu berlaku bagi agama Islam. Hal ini dikarenakan Karl Marx ternyata mengagumi sosok Nabi Muhammad Saw. sebagai manusia revolusioner sejati yang telah berhasil dalam membebaskan umat manusia dari pelbagai penindasan dan ketidakadilan yang mengitarinya.
Dikutip dari buku Muhammad ‘Inda ‘Ulama Charb karya Syekh Khalil Yasin yang kemudian diterjemahkan oleh H. Salim Basyarahil bertajuk Muhammad Di Mata Cendekiawan Barat, bentuk apresiasi dan kekaguman Karl Marx terhadap sosok Nabi Muhammad ia telurkan dalam salah satu karyanya, yaitu Al-Hayat.
Penganggum Nabi Muhammad Saw
Marx menyatakan bahwa; lelaki Arab (Muhammad) yang menemukan letak kesalahan-kesalahan dari agama Nasrani dan Yahudi itu, tengah melakukan pekerjaan yang membahayakan terhadap dirinya di kalangan kaum musyrik para penyembah berhala. Sebab, Muhammad mendakwakan kepada mereka tentang agama tauhid (penyembahan terhadap satu Tuhan) dan menanamkan suatu keyakinan perihal keabadian roh melalui risalahnya (agama Islam).
Bahkan lebih jauh lagi, Karl Marx di dalam karya lainnya Ra’sul Mal, ia menyatakan secara tegas dan lugas bahwa; Muhammad sebagai seorang nabi dan utusan (pesuruh) Allah melalui risalahnya tengah melakukan terobosan baru untuk kemajuan suatu ilmu pengetahuan. Pun membawa panji-panji kebersamaan, egalitarianisme, dan menghilangkan sistem stratifikasi sosial antara satu suku dengan suku liannya yang telah mengakar di tengah-tengah masyarakat Arab kala itu.
Pasalnya, dari sekian banyak bangsa-bangsa di dunia ini, hanya bangsa Arab-lah yang menaruh perhatian besar terhadap stratifikasi sosial baik dari nenek moyang, genealogi, dan beragam keturunan. Sehingga, dengan menyebut suku (kabilah) semata, tentu mereka akan mengenal garis keturunan ke berapa dalam nasab mereka.
Karena itu, menurut Marx, sudah menjadi suatu kewajiban bagi Muhammad untuk membenahi kesalahan-kesalahan dari risalah para nabi terdahulu akibat adanya perubahan dan penggantian yang dilakukan oleh orang-orang bodoh. Pun, kita (orang-orang Eropa) patut kiranya mengakui kenabian dan kerasulannya, bahkan layak untuk mengabadikannya secara khusus operasional baik ucapan maupun perbuatannya.
Maka dari itu, bagi Karl Marx, Nabi Muhammad adalah sosok representasi masyarakat kelas bawah atau tertindas yang tidak sekadar menyampaikan pesan Allah melalui Al-Quran. Akan tetapi beliau menjabarkannya (memberikan contoh konkret) dalam kehidupannya. Seperti, ketika Nabi memberikan posisi strategis kepada Bilal, seorang budak Negro (berkulit hitam) menjadi Muazzin yang tentu saja menjadi suatu kehormatan bagi dirinya.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply