Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Shaltut dan Soroush: Diferensiasi Agama dan Pemahaman Agama

Pemahaman
Sumber: pinterest.com

Umat Islam memandang serta mengimani agama sebagai suatu hal yang sakral dan murni dari Tuhan. Sebagai bagian dari agama samawi, Islam hadir menjadi penutup dan penyempurna dari risalah nabi-nabi terdahulu. Risalah yang menjanjikan kebenaran demikian pula kebahagiaan di dunia dan Akhirat. Agama dengan “teori” kebenarannya menjadikan pemeluknya semakin ‘tunduk’ akan peran agama terhadap jalan hidup manusia.

Agama yang diyakini sebagai suatu yang sakral dan murni dari Tuhan kemudian dipahami oleh manusia dalam rangka menemukan makna yang Tuhan sampaikan sesuai dengan fenomena maupun pengetahuan manusia yang ia alami. Maka, pengalaman manusia terhadap agama menjadi sebuah pengetahuan atas agama. Dari situ, manusia memetakannya secara sistematis menjadi berbagai pengetahuan yang selaras dengan pengalaman keagamaannya.

Namun, pengalaman keagamaan yang bersifat manusiawi ini acap kali diyakini sebagai ajaran dogmatis (agama) yang tidak dapat berubah. Pasalnya, ia tumbuh dari suatu yang sakral dan murni. Oleh karenanya, manusia, umat Islam khususnya, menjadikan pemahaman ini sebagai ajaran yang sudah sempurna, final, dan telah selesai dari usaha memahami kembali. Apakah benar demikian?

Diferensiasi Agama dan Pemahaman Agama: Bagian Mahmud Shaltut

Dalam menjawab problem ini, beberapa sarjana Muslim seperti Mahmud Shaltut dan Abdolkarim Soroush berusaha memberikan pemahaman kepada umat Islam akan posisi pemahaman agama atas ajaran agama yang notabene adalah dua sisi yang berbeda. Keduanya, Shaltut dan Soroush, sama-sama “bersepakat” bahwa agama dan pemahaman agama adalah sama sekali berbeda.

Kemudian, pemikiran dua tokoh ini, menurut penulis, merupakan suatu respon terhadap golongan yang konservatif serta reformis dalam Islam. Menjadi demikian karena golongan ini berusaha untuk melegitimasi pemahaman mereka terhadap hal yang sifatnya dogmatik. Sehingga, pemahaman mereka atas teks agama haruslah diamini, diterima, dan dilaksanakan.

Lebih lanjut, Shaltut menegaskan bahwa pemahaman manusia dalam Islam bukanlah bagian dari agama (al-fahmu al-insānī fī al-islām laisa dīnan yaltazimu). Ia mengatakan demikian karena pemahaman terhadap Al-Qur’an (wahyu) membutuhkan pemahaman ulama atau pun para cendekiawan. Kebutuhan akan pemahaman para ulama ini bertujuan untuk menemukan makna teks Al-Qur’an atau pun hadis nabi yang penjelasannya tidaklah mendetail.[1]

Baca Juga  Tuhan Itu Nyata (1): Gugatan Dawkins Terhadap Tuhan

Karenanya, menurut Shaltut, dari upaya para sarjana Muslim menemukan makna dalam teks Al-Qur’an, muncul pelbagai macam pemikiran dan pemahaman manusia. Yaitu pemahaman yang berkaitan dengan teks suci (Al-Qur’an) dengan menggunakan teori-teori dan penerapan tertentu.

Namun demikian, Shaltut memberikan semacam batasan akan penggunaan pemahaman manusia di dalam menerjemahkan atau pun menafsirkan teks Al-Qur’an. Yaitu, bahwa seseorang harus tetap berpedoman pada hadis nabi dan kaidah-kaidah atau pun standar kebenaran yang telah berlaku dalam Islam. Tujuannya, agar tidak melenceng dan bertentangan dari ajaran Islam.[2]

Diferensiasi Agama dan Pemahaman Agama: Bagian Abdolkarim Soroush

Demikian halnya Soroush yang sepakat bahwa agama dan pemahaman agama adalah hal yang berbeda. Oleh karenanya, agama memiliki karakter dogmatis dan bersifat tetap, berbeda dengan pemahaman agama yang niscaya berubah dan bersifat produktif.

Dalam hal ini, Soroush berusaha memberikan spesifikasi tentang “apa itu agama” sehingga berbeda dengan pemahaman atasnya. Baginya, secara spesifik agama memiliki karakter sebagaimana berikut. Pertama, agama tidak akan pernah bertentangan dan perbedaan di dalamnya tidaklah mungkin terjadi. Kedua, agama (berikut ajaran pokoknya) adalah kebenaran.

Ketiga, agama sudah utuh dan sempurna. Keempat, agama terbebas dari budaya, tradisi manusia, dan infiltrasi pemikiran manusia yang penuh dengan kekurangan. Kelima, agama—seperti penjelasan yang ada pada paragraf sebelumnya—adalah bersifat tetap dan solid.[3]

Al-Qur’an adalah Agama, Sedangkan Penafsiran merupakan Pemahaman Agama

Kita bisa sepakati bersama bahwa Al-Qur’an adalah agama. Yakni, karena di dalamnya memuat ajaran-ajaran agama Islam yang fundamental dan tidak mungkin berubah atau pun bertentangan satu ajaran dengan ajaran lainnya. Sebagai tamsil, ajaran Islam tentang perintah keimanan, salat, puasa, zakat, dan haji adalah pokok dogmatik Islam yang disepakati oleh seluruh umat Islam, tidak terkecuali.

Baca Juga  Meresapi Makna Kiamat: Semantik Kognitif dan Metaforis

Demikian, Khaled Abou El Fadl mengistilahkan kelima perintah ajaran Islam tersebut dengan “apa yang disepakati oleh semua Muslim”; meyakini dan menerimanya sebagai pasal sekaligus asas mendasar iman. Dengannya, tampak jelas perbedaan antara seorang Muslim dengan non-Muslim.[4]

Teks Al-Qur’an telah menyebutkan keimanan dengan begitu jelas. Di situ, keimanan bermakna akidah yang meliputi kepercayaan kepada Allah dan Hari Akhir; dan ushūlu sharī’ah (asas ajaran Islam) yang mencakup kewajiban salat, zakat, haji, kehormatan manusia. Karenanya, tidak akan terjadi penafsiran dan pemahaman yang berbeda (red: tentang keimanan tersebut). Adapun turunan dari keduanya (akidah dan syariat), seperti halnya tata cara pelaksaannya, adalah termasuk dari pemahaman agama yang meniscayakan adanya perbedaan.[5]

Dua Kubu Paradigma: Teks yang Terbatas dan Fenomena

Penafsiran yang tergolong pada buah pemikiran manusia barang tentu tidak akan selamanya benar dan akan mengalami rekonstruksi serta reproduksi seiring berlalunya waktu dan bergantinya zaman serta tokoh-tokohnya. Hal demikian tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa penafsiran-penafsiran yang telah ada adalah keliru lagi salah. Namun, perlu diketahui dan dipahami, bahwa hal tersebut dalam rangka menjaga agar agama (Al-Qur’an) tetap berbicara sesuai dengan sejarah masa lalu dan masa kini.

Maka, adalah hal yang absah jika penafsiran atas agama digolongkan kepada paradigma manusia, sehingga bersifat profan dan tidak terlepas dari historisitasnya. Karenanya, Amin Abdullah memetakan paradigma kepada dua kubu: pertama, al-nushūsh al-mutanāhiyah, yang terdiri dari Al-Qur’an dan sunah. Artinya, teks Al-Qur’an dan sunah tidak perlu adanya pembaruan, karena teks tersebut terbatas dan sudah selesai.[6]

Kedua, al-waqāi’ ghairu al-mutanāhiyah, yaitu alam, fenomena alam, peristiwa-peristiwa ilmu, dan teknologi. Demikian termasuk di dalamnya adalah pemahaman dan penafsiran individu maupun kelompok akan tetap berpacu kepada dan atas era serta kondisi yang mengitari sang penafsir tersebut. Sehingga perubahan dan pembaruan dalam hal ini adalah suatu yang niscaya.

Baca Juga  Merespon Generasi Z Ketika Berbicara Agama

***

Tanpa pembaruan pemahaman, doktrin keagamaan pada suatu era akan membeku dan bisa saja dapat kehilangan relevansinya. Dengan demikian, penyegaran adalah penting dalam rangka mencari relevansi pemahaman dan interpretasi doktrin Al-Qur’an dengan tantangan pergumulan dan pergulatan zaman yang secara kontinu bergulir mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin intensnya pertemuan dan gesekan antara pelbagai tradisi keagamaan.[7]

Hal demikian juga merupakan salah satu upaya agar penafsiran atas teks keagamaan tidak dianggap sebagai pemahaman yang telah sempurna dan tetap, sehingga penafsiran dan pemahaman atasnya sudah berhenti sampai di situ saja tanpa adanya kajian dari penafsiran tersebut.

Dari apa yang telah dipaparkan di atas tentang agama dan pemahaman atasnya, dapat ditarik benang merah bahwa keduanya adalah hal yang berbeda. Agama bersifat sempurna, sakral, dan ilāhiyah sehingga terhindar dari kesalahan dan pertentangan. Adapun pemahaman atasnya, demikian pula penafsiran, adalah bersifat produktif, kritis, dan bisa saja konstruktif; masih terdapat perbedaan pendapat di dalamnya sehingga niscaya berubah sesuai sejarah yang mengitarinya. Wallāhu A’lam.

Editor: Dzaki Kusumaning SM


Catatan Kaki

[1] Mahmud Shaltut, al-Islām ‘Aqīdah wa Sharī’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2001), h. 8.

[2] Ibid.

[3]Abdolkarim Soroush, al-Qabdl wa al-Basth fi al-Sharī’ah,(Beirut: Dar al-Jadid, 2010), 30-31.

[4] Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wresting Islam from the Exstremists (terj. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. cet. ke-1, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 139.

[5] Mahmud Shaltut, al-Islām ‘Aqīdah wa Sharī’ah, h. 8-9.

[6] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012), h. 135.

[7] Ibid.