Alat tukar apa pun jenisnya merupakan salah satu elemen penting dalam aktivitas perekonomian. Ia bisa menjelma menjadi aset yang bisa dikuasai dan diwariskan. Terlepas dari kehebohan dan status transaksi di Pasar Muamalat Depok, menarik dicermati adalah penggunaan keping dinar dan dirham dalam kasus tersebut.
Jika menelisik sejarah mata uang, keping atau lembaran emas dikenal dengan sebutan dinar sementara jika terbuat dari perak dinamakan dengan dirham. Ada kesan sementara kalangan bahwa dinar dan dirham diklaim sebagai mata uang Islam. Padahal sesungguhnya jauh sebelum Islam hadir sejarah telah mencatat penggunaan yang luas dari kedua mata uang tersebut dalam transaksi khususnya oleh Bani Israel, Romawi dan Persia. Dalam naskah kitab suci umat Yahudi dan Kristen disebutkan adanya penggunaan mata uang emas (darics of gold), perak (silver), tembaga (bronze) dan besi (iron). Setidaknya Bani Israel alat tukar tersebut sebagaimana disebutkan dalam Kitab 1 Tawarikh 29: 7, Ezra 88: 27, Matius 17:24 dan Yohanes 6:7.
Keping Logam dari Decius
Al-Qur’an menyebutkan mata uang dinar dalam Surah Ali Imran ayat 75 dan Surah Yusuf ayat 20. Dalam Surah Al-Kahfi (18): 19 terdapat frasa bi wariqi-kum yang diartikan sebagian ulama sebagai kepingan perak. Menurut Ibn ‘Ashur (w. 1973), sang mufasir modern dari Tunis, warq pada ayat tersebut adalah lembaran perak atau mata uang dirham yang berlaku saat Romawi dipimpin oleh raja bernama Diqyus atau Decius yakni Penguasa Romawi Kuno saat itu.Trajan Decius, bernama lengkap Gaius Messius Quintus Decius Valerianus. Ia menjadi konsul pada tahun 232M, dan menjadi gubernur Spanyol di bawah pemerintahan Maximinus. Ia berhasil menumpas pemberontakan Pacatianus di Balkan hingga kemudian diangkat menjadi kaisar di Roma setelah kematian Philip I.
Mata uang Bangsa Arab tidak tercatat dalam sejarah. Mereka tidak mencetaknya sendiri melainkan menggunakan mata uang emas Hercules dari Byziantum dan mata uang perak Dinasti Sasanid dari Irak, di samping mata uang bangsa Himyar dari Yaman. Meskipun bukan terlahir dari rahim Islam, dinar emas, dirham perak diakui sebagai alat transaksi yang menempati tempat terhormat pada masa kenabian hingga era gemilang masa khilafah.
Dirham dan Mata Uang Islam
Mata uang Islam yang pertama dicetak pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab sekitar tahun 18H berbentuk kepingan perak (dirham) yang mirip dengan dirham persia. Masa selanjutnya mengalami adaptasi dengan dimunculnya ciri keislaman, seperti adanya tulisan Allah, Muhammad, nama khalifah. Kebiasaan ini diteruskan hingga pada tahun 67H Abdul Malik bin Marwan mengeluarkan dinar dandirham yang memiliki karakter khas Islam dan tidak lagi mengadopsi model Persia atau Romawi.
Penggunaan mata uang emas dan perak semakin semarak dan tetap dipergunakan hingga awal abad ke-19. Pada tahun 1862 M Dinasti Utsmaniyah mulai mencetak mata uang yang terbuat dari kertas (banknote) bernama Kaime. Terjadinya perang Dunia I tahun1914, mengakhiri penggunaan logam mulia sebagai mata uang digantikan uang kertas sebagai uangyang sah dan membatalkan berlakunya emas dan perak sebagai mata uang.
Jika ditinjau dari keabsahannya, mayoritas ulama tidak mempermasalahkan penggunaan uang dari kertas atau bahan benda apa saja. Dalihnya adalah pernyataan Khalifah Umar bin Khattab yang pernah hendak membuat mata uang dari kulit unta. Tentu saja sepanjang alasan hukum (illat) dapat terpenuhi, yakni adanya nilai (tsumuniyyah) yang terkandung dari mata uang kertas tersebut setara atau serupa dengan barang yang dapat ditimbang atau dinilai dengan nilainya, maka kedudukan uang kertas tidak berbeda fungsinya dengan emas dan perak.
Jika kemudian dapat disepakati keabsahan uang kertas sebagai alat pembayaran yang sah, maka boleh lah dikatakan kedudukanya dari aspek hukum sama dengan kedudukan emas dan perak yang pada masa kenabian menjadi alat pembayaran yang sah. Lebih jauh uang kertas juga harus diakui dan diposisikan sebagai harta kekayaan yang memiliki konsekwensi terkena kewajiban zakat.
Antara Uang Logam dan Kertas di Depok
Sebagian kalangan menilai bahwa fungsi uang yang dikenal saat ini tetap berbeda dengan dinar dan dirham. Jika pada alat tukar yang dikenal sebagai “uang” hanya lah menjadi satuan hitung dan alat tukar aktivitas bukan komoditas. Sementara dinar dan dirham selain sebagai satuan hitung, juga alat tukar juga dan menjadi komoditas sekaligus.
Agaknya ini yang menjadi dasar klaim Zaim Saidi, penggagas pasar muamalah di Depok yang memosisikan bahwa dinar dan dirham yang diedarkannya bukan lah mata uang melainkan komoditas.Transaksi lakukan dengan menukar koin emas atau perak tersebut dengan barang-barang yang dijajakan di Pasar Muamalah.Jika benar demikian maka fungsi dinar dan dirham hanya sebagai alat barter.
Kita terlebih generasi milenial tentu bertanya-tanya jika memang bisa berfungsi kenapa repot-repot? Toh transaksi dengan uang tunai pun sudah sedemikian tidak efektif dan merepotkan. Kini masanya beralih pada transaksi digital (online shopping) dengan uang elektrik (e-money). Zaman ini memang transaksi tidak terikat lagi kepada suatu mata uang tertentu.
Anak-anak muda milenial biasa membayar melalui smartphone payment, peer-to-peer payment (P2P Payment), QR Services, atau contactless payment lainnya dengan e-wallet, goPay, pay-pal atau hingga bitcoin. Entah sepuluh tahun ke depan dengan cara apa lagi yang dipergunakan, yang pasti dibutuhkan adalah pembayaran yang lebih praktis, aman, dan bisa dilakukan tanpa terikat ruang dan waktu.
Bagaimana pun juga, saya dan anda harus mengakui bahwa membelanjakan harta itu tidak serumit itu, yang lebih sulit adalah mengumpulkan pundi-pundinya.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply