Membaca al-Qur’an adalah salah satu ibadah bagi umat muslim. Membaca al-Qur’an tidaklah hanya sekedar membaca saja, namun perlu pula mempelajari kaidah-kaidah dalam membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Membaca al-Qur’an dengan baik dan benar harus terus diupayakan.
Upaya yang sama untuk membaguskan bacaan al-Qur’an adalah dengan memberikan nada-nada yang indah dalam membacanya. Seni dalam membaca al-Qur’an atau yang kita kenal dengan istilah nagham adalah suatu upaya untuk memperindah bacaan dan membuat lebih menghayati dalam melantunkan ayat-ayat al-Qur’an.
Asal Mula Munculnya Seni Membaca Al-Qur’an
Ibnu Manzur menjelaskan dalam Lissan Al- ‘Arab ,dinukil oleh Dr. Basyar Awad Ma’ruf dalam bukunya Al-Bayan Fi Hukm At-Taghani Bi Al-Qur’an, bahwa ada 2 teori tentang asal mula munculnya nagham al-Qur’an.
Pertama, dinyatakan bahwa sumber nagham al-Qur’an berasal dari ghina atau nyanyian yang turun temurun dilantunkan oleh bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang.
Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu al-Qur’an berasal dari khazanah tradisional Arab. Dengan teori ini di jelaskan bahwa lagu-lagu al-Qur’an bernuansa irama Arab. M Husni Thamrin dalam tesisnya, Nagham Al-Qur’an: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia, menuturkan bahwa kesenian masyarakat Arab pra-Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam seni tilawah al-Qur’an. Seni suara yang dalam tradisi Arab disebut handasah al-shaut diadopsi dalam bacaan al-Qur’an secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Sebelum Nabi Muhammad Saw. lahir, orang-orang Arab sudah mengenal kesenian musik dan syair (sastra) yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Tradisi tersebut terus berlanjut ketika Rasulullah menyampaikan misi risalahnya di tengah-tengah masyarakat Arab. Mereka yang jatuh cinta kepada Islam lalu mengaplikasikan handasah al-shaut dalam bacaan al-Qur’an.
Dengan kata lain, dalam konteks ini telah terjadi Islamisasi terhadap seni suara yang dipraktikkan oleh orang-orang Arab sejak era pra-Islam. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal perkembangan nagham-nagham (lagu) al-Qur’an pada era selanjutnya.
Perkembangan Nagham Al-Qur’an dari Era Nabi Muhammad SAW Sampai Sekarang
Terkait dengan kapan penerapan irama dan lagu dalam bacaan al-Qur’an mulai dilakukan, belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali menyenandungkan al-Qur’an dengan irama yang indah adalah Rasulullah Saw sendiri.
Dikatakan dalam suatu riwayat bahwa Abdullah bin Mughaffal pernah mengilustrasikan kemerduan suara Nabi ketika melantunkan surah al-Fath sehingga mampu membuat unta yang ia tunggangi menjadi terperanjat.
Dalam sebuah riwayat lain dikisahkan, Rasulullah Saw. pernah lewat ketika Abu Musa sedang membaca al-Qur’an. Nabi pun berhenti untuk mendengarkan bacaan sahabatnya itu. Beliau lalu bersabda, “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.” (HR Bukhari 5048, Muslim 793).
Beberapa waktu setelah itu, ketika Abu Musa datang kepada Rasulullah, Nabi pun mengabarkan kepadanya bahwa beliau telah mendengarkan bagusnya bacaan Abu Musa. Abu Musa lalu berkata, “Andai aku tahu engkau sedang mendengarkannya, tentu aku akan benar-benar memperindah bacaanku.”
Rasulullah Saw. tidak mengingkari pernyataan sahabatnya tersebut. Ini menunjukkan bahwa memperindah bacaan al-Qur’an adalah hal yang dianjurkan supaya dapat menghasilkan kekhusyukan bagi pembaca dan pendengarnya.
Ragam Nagham dalam Membaca Al-Qur’an
Seni baca al-Qur’an baru menampakkan geliatnya pada awal abad ke-20 yang berpusat di Makkah dan Madinah, serta di Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu agama (termasuk nagham) sejak awal 19 M.
Dalam tradisi Makkawi (Makkah) dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Maya, Rakby, Jiharkah, Sika, dan Dukkah. Sementara, dalam tradisi Misri (Mesir) terdapat Bayyati, Hijaz, Shobah, Rashd, Jiharkah, Sika, dan Nahawand.
Pendapat Para Ulama tentang Nagham Al-Qur’an
Menurut Dr. Basyar Awad Ma’ruf dalam bukunya yang berjudul al-Bayan fi Hukm at-Taghanni bi Al-Quran, para ulama tidak bersepakat menyikapi pembacaan al-Qur’an dengan berbagai ragam nada dan lagu, seperti seni tilawah atau tartil Alquran yang banyak populer sepanjang sejarah.
Pertama, hukum baca al-Qur’an dengan varian lagu tersebut ialah makruh. Pendapat ini disampaikan Imam Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Said bin al-Musayyib, Said bin Jabir, al-Qasim bin Muhammad, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim an-Nakha’i, dan lainnya. Opsi ini juga menjadi rujukan sejumlah ulama masa kini, seperti Syekh Muhammad Abu Zahrah. Argumentasi yang dikemukakan oleh ulama yang menyebutkan bahwa ini makruh ialah sejumlah hadis.
Ada suatu hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw memperingatkan agar hendaknya tidak membaca al-Qur’an dengan nada (lahn), seperti ahlul kitab dan orang fasik. Akan datang suata masa para kaum yang mengulang-ulang bacaan al-Qur’an disertai lagu dan variasi-variasi baru. Riwayat ini dinukilkan oleh at-Tirmidzi di Nawadir al-Ushul, Thabrani di al-Ausath, Abu Ya’la di al-Jami’.
Kedua, menyatakan membaca al-Qur’an dengan tilawah atau tartil berikut macam-macam lagunya diperbolehkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafi’i, Abdullah bin al-Mubarak, at-Thabari, Ibn Bathal, Abu Bakar Ibn al-Arabi, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Deretan nama dari sahabat juga berpandangan yang sama antara lain, Umar bin Khatab, Ibnu Abas, Abdullah bin Mas’ud. Para ulama kontemporer seperti Syekh Rasyid Ridha, Syekh Labib as-Sa’d, dan Dr Abd al-Mun’im al-Bahi, termasuk membolehkannya.
Terlepas dari semua itu mengenai makruh dan mubahnya memberikan nada-nada dalam membaca al-Qur’an ada satu hal yang penting. Bagaimanapun, kita harus membaca al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid.
Editor: Rubyanto
Leave a Reply