Dalam menjalani kehidupan, manusia mengarahkan diri pada dua hal. Pertama, ikhtiar. Kedua, harapan. Tentu yang kedua ini berhubungan dengan doa. Sebagaimana dimafhumi, doa menjadi harapan hamba kepada Allah Swt. Semua apa yang dihaturkan ingin dipenuhi oleh-Nya.
Berdoa saja tidak cukup. Begitu pun, usaha saja tanpa doa, tidak cukup. Bahkan akan menjauhkan capaian dari karunia Allah Swt. Oleh sebab itu, keduanya harus sejalan dalam penuh kesungguhan.
Mengapa Doa dan Ikhtiar?
Manusia diberi potensi akal, fisik, ruh, dan jiwa. Keempat potensi ini menjadi bekal dalam menjalani kehidupan. Akal berfungsi untuk mengenal dan memahami apa yang tampak dan dipikirkan. Fisik berfungsi untuk kerja motorik dalam mengerjakan sesuatu. Ruh menjadi daya hidup. Tanpanya semua potensi tidak akan berfungsi. Jiwa berfungsi menjadi sistem psikofisik yang mengaitkan antara jasad dengan emosi dan konasi. Semuan potensi menyatu dalam menggerakkan manusia untuk mencapai apa yang diharapkan.
Usaha yang bersifat lahir memerlukan upaya kuat dan perjuangan. Ketika seseorang ingin kaya, misalnya, maka seluruh daya potensi harus dikerahkan untuk mencapainya. Ia harus berikhtiar segenap tenaga agar apa yang diinginkannya menjadi kenyataan. Ikhtiar menjadi keniscayaan. Tak mungkin sesuatu akan tercapai, apabila ikhtiar tidak dikerahkan.
Namun, disisi lain manusia itu lemah. Ia tidak bisa berdiri sendiri hanya mengandalkan kekuatan dirinya. Dalam keyakinannya terdapat Rabb yang Maha Mengatur dan Menjadikan Sesuatu. Apa yang diusahakan dengan keras sejatinya harus pula dikaitkan dengan harapan kepada-Nya. Seluruh upaya diiringi dengan permohonan kepada-Nya agar apa yang diinginkan bisa tercapai.
Dua hal ini tidak bisa terpisah dari proses pencapaian cita-cita yang diharapkan. Doa dan ikhtiar menjadi perangkat yang berkaitan satu sama lain. Manusia tetap harus berikhtiar. Doa pun tetap juga harus dipanjatkan, sebab dalam keimanannya terdapat keyakinan bahwa sebenarnya Allah yang berkehendak bukan dirinya.
Terus Berikhtiar dan Tetap Berharap kepada-Nya
Pesan indah al-Qur’an terkait doa dan ikhtiar dapat dimaknai pada QS. al-Syarh: 7-8. Surah ini bermakna kelapangan (hati). Salah satu kandungannya adalah peneguhan kepada Nabi Muhammad Saw untuk terus berbuat kebaikan dari satu kondisi ke kondisi lain. Juga, untuk terus berharap pada rida Allah Swt.
Pada ayat 7 dan 8 terdapat beberapa makna yang dapat dipetik. Pertama, ikhtiar pertama bukan akhir dari proses capaian. Ia akan beralih kepada ikhtiar kedua, dan seterusnya. Perencanaan satu jika tidak berhasil beralih pada yang kedua. Pekerjaan pertama apabila belum mencapai harapan dapat beralih pada upaya yang lain. Sesuai dengan pesan “Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain). dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah!” (QS al-Syarh:7), (Al-Qur’an Kemenag,2019)
Satu kebaikan yang telah diperbuat tidak menjadi final kebaikan. Setelahnya akan muncul kebaikan lain. Rangkaian kebaikan dari satu kondisi ke kondisi lain menjadi upaya kontinyu meraih apa yang diharapkan. Isyarat ini bisa dikaitkan dengan ikhtiar.
Ikhtiar merupakan kontinuitas dalam proses mencapai apa yang diharapkan. Upaya yang keras dan kuat diperlukan di dalamnya. Bukan sekadar tampilan perbuatan. Ia dikuatkan oleh semangat dalam mencapai sesuatu.
***
Selama apa yang diingin diwujudkan dalam kehidupan, kontinuitas ikhtiar menjadi keniscayaan. Tak mengalah pada ikhtiar pertama, namun beranjak dan beralih ke ikhtiar lain. Motivasi, komitmen, antusias, dan kontinuitas adalah formula untuk mencapai sesuatu. Isyarat ini terdapat pada redaksi fanshab “(teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain)”.
Kata nashaba, salah satunya bermakna naik atau mengangkat. Kata ini bermakna intensitas kenaikan kualitas upaya untuk mencapai sesuatu. Pada kondisi awalnya, ia berada di bawah. Dengan upaya (fi’l) tertentu ia menjadi di atas setelah proses menaikkan. Seolah menegaskan, upaya yang lain harus terus ditingkatkan setelah upaya pertama.
Kedua, apapun yang diupayakan harus dikaitkan pada pengharapan kepada Allah Swt. Manusia meskipun berupaya, yang menentukan adalah Allah Swt. Pada QS al-Syarh: 8, terdapat makna mendalam yang dapat diperhatikan. Apapun yang diusahakan harus tetap dikaitkan pada keyakinan bahwa usaha ini adalah upaya. Hasilnya diserahkan pada keputusan terbaik dari-Nya.
Manusia tetap harus dengan yakin mengharapkan tercapainya sesuatu. Pengharapan ini ditampilkan dengan doa yang terbaik kepada-Nya. Tiada yang dapat menentukan sesuatu kecuali Dia. Manusia hanya berusaha. Allah yang menentukan.
“Dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah!” (QS al-Syarh:8) merupakan isyarat penting bagi harapan. Upaya yang dilakukan harus terus kontinyu. Keputusan terbaik sesuai dengan pengaturan-Nya. Keridaan-Nya menjadi tumpuan harapan. Sebab, bisa jadi apa yang diupayakan menurut pandangan manusia adalah baik. Allah memandangnya buruk baginya. Begitu pun sebaliknya, bisa jadi menurut pandangannya adalah buruk. Allah memandangnya baik.
***
Seiring dengan keyakinan ini, manusia tetap terus berharap agar apa yang diinginkan tercapai. Harapan yang disuguhkan kepada-Nya seiring dengan upaya keras yang dilakukannya. Terus berharap kepada-Nya menunjukkan butuhnya pemenuhan apa yang dibutuhkan. Kontinyu dalam berdoa menunjukkan kedekatan hamba terhadap Allah yang dilandasi keyakinan bahwa Dia dekat.
Ia akan memenuhi permohonan hamba, apabila hamba berdoa kepada-Nya. “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku”. (QS al-Baqarah:186), (al-Qur’an Kemenag, 2019)
Wallahu A’lam.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply