Seorang sufi mengingatkanku pada hadis Nabi yang terkenal “ Islam datang dengan asing, dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang yang berada dalam keterasingan.” (HR. Muslim no.145). Seorang sufi adalah seorang pejalan. Ia mengandaikan hidup adalah perjalanan. Dalam perjalanan itulah, seorang sufi tahu, dari mana dan kemana ia akan menuju. William C.Chittick dalam bukunya Jalan Cinta Sang Sufi (2003) menyebut ada tiga dimensi sufisme: syariat, thariqat dan hakikat ; atau ilmu, amal, dan mencapati Tuhan; atau teori, praktik dan kesadaran spiritual. Chittick menambahkan, “Untuk menapaki jalan sufi, berarti harus menaati semua perintah dan larangan Tuhan sesuai dengan apa yang telah disunnahkan Nabi.”
Syekh Abdul Qadir Jailani juga menuturkan nasihat serupa yang ia tuliskan dalam bukunya Surat-Surat Cinta Kekasih Allah (2015), “Hakikat Islam adalah penyerahan diri! Pertama kali kalian ber-Islam dan kemudian menyerahkan diri. Sucikan lahirmu dengan Islam dan sucikan batinmu dengan penyerahan (taslim).” Syekh menambahkan pasrahkan dirimu kepada Tuanmu Yang Maha Suci dan terimalah dengan rida semua pengaturan-Nya atas segala urusanmu. Jatuhkan keinginanmu dan terimalah takdirmu yang telah ditentukan Tuhanmu. Terimalah semua yang dibawa takdirmu. Sungguh Tuhanmu lebih mengenalmu dibanding dirimu sendiri. Terimalah firman-Nya dengan sepenuh keyakinan. Terimalah perintah-Nya dan larangan-Nya dengan penerimaan sempurna. Terimalah agama-Nya dengan seluruh hatimu, dan jadikan ia sebagai penutup batiniah dan lahiriahmu.
Jalan yang Ditempuh Salik
Sejatinya kita semua adalah seorang salik. Kita adalah pejalan yang sedang menggapai kembali dan menemukan Tuhan. Bukankah sejatinya dahulu manusia sudah bersaksi kepada Tuhan sebelum ia lahir di dunia?. Al-Imam al-Habib Abd Rahman bin Abdallah Bilfaqih Ba Alawi atau Imam Bilfaqih menulis bab ini dalam Al Rashafat: “Hak mengasihi adalah sesuatu yang kukuh dan teguh/ sesuai dengan janji suci pada masa lampau/ sudah sempurna diantara rukun dan hatim/ Tuk penuhinya pada masa kini dan mendatang”. Ismail Fajri Alatas dalam bukunya Al Rashafat (2013) memberikan sarah makna sesuai janji suci pada masa lampau diartikan bahwa saat itu arwah manusia seluruhnya telah bersaksi atas sebuah janji suci yang menjadi pijakannya dalam mengarungi kehidupan. Selama di dunia, umat islam berkumpul di Padang Arafah setiap tahun untuk kembali mengingat momen perjanjian tersebut sebagai antisipasi atas perkumpulan serupa yang akan terjadi kelak pada hari kebangkitan.
Seorang salik tahu dan mengerti bahwa jalan pertama seorang pendaki adalah jalan pengenalan diri. Ke dalam diri itulah, ia harus mengenali setiap inci, sehingga menempuh kesadaran ruhani. Mengenali diri menjadi tidak mudah karena manusia sering tertutup oleh dosa dan juga nafsu yang menutupinya dari jalan menuju Tuhan. Al-Hallaj dengan sangat indah menggambarkan siapa itu Salik dengan syairnya: “Demi dirimu, aku bergegas menempu daratan dan lautan/ demi dirimu, kuseberangi gurun dan kubelah gunung jadi dua/ dan kupalingkan muka dari segala hal/ hingga masanya aku capai tempat/ di mana aku sendiri bersamamu”.
Pencarian akan hakikat diri mengingatkan kita pada cara kita menyikapi hidup di dunia sebagai seorang hamba. Sudah tentu sebagai seorang hamba, kita mesti menurut atau taat kepada tuannya. Kepada Tuhanlah kita mesti mematuhi apa yang menjadi ketentuannya. Para sufi adalah seorang yang taat dan meneladani para Nabi dan mursyid di kehidupan dunia ini.
Kaum sufi memandang dunia seperti apa yang sudah dituntunkan Nabi. Andrew Harvey (2018) menuliskan ulang hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari: “Hiduplah di dunia ini seolah kau musafir, seorang yang lewat saja, dengan sepatu dan pakaian sarat debu. Sesekali kau akan duduk di bawah kerindangan sebatang pohon, lain kali kau akan menapaki padang pasir. Jadilah orang yang lewat, karena dunia ini bukan rumahmu.”
Jalan Menjadi Salik
Sebagai seorang pejalan tentulah kita akan membawa bekal yang akan kita siapkan untuk menghadapi kerasnya jalanan yang akan kita tempuh. Selain keyakinan kepada Sang Khalik bahwa perjalanan kita akan diberkahi dan selamat, kita juga menyiapkan apa yang menjadi kebutuhan kita selama perjalanan.
Imam Al Ghazali mengatakan perjalanan salik dalam menempuh tarekat ada tiga macam : Khauf (Takut kepada Allah), Raja’ (Berharap hanya kepada Allah) dan Cinta yakni mendahulukan terhadap yang dicinta (Allah).
Jalan menjadi salik memang tidaklah mudah. Ia akan menempuh tantangan dan godaan. Sebab ia akan dituntut untuk meneguhkan hati dan secara total menyerahkan diri kepada Tuhannya. Berserah diri secara batiniah maupun ruhaniah dengan ketakutan dan ketundukan kepada Tuhan.
Seorang salik adalah seorang pencinta. Ia dilarang untuk mendua. Itulah mengapa Syekh Abdul Qadir Jaelani memberi peringatan “Celakalah kalian, kalian mengaku cinta kepada Allah, tapi membuka hati kalian untuk yang lain”.
Merapal Dzikir
Kedudukan dzikir amatlah tinggi. Ia bukan sekadar mengucap kalimat semata. Dalam hadis qudsi Allah berfirman: “Sekiranya ada tujuh langit dan tujuh bumi yang diciptakan oleh zat selain Diri-Ku dan diletakkan pada satu sisi timbangan, kemudian pada sisi yang lain diletakkan laa ilaa ha illa Allah, maka laa ilaa ha illa Allah pastilah lebih berat darinya.
Ali bin Abi thalib pernah menanyakan kepada Nabi, “Manakah jalan yang sedekat-dekatnya kepada Allah, semudah-mudahnya dan sebaik-baiknya bagi hamba-Nya?, Nabi menjawab : “Ialah zikir, menyebut dan mengingat Tuhannya” (Aceh, Abubakar, 1987).
Jalaluddin Rumi memberi tamsil kedudukan dzikir bagi seorang salik. “Reguklah dzikir dan bebaskan diri dari pikiran! Jika kau tidak menempuh perjuangan ini, oh manusia yang menginginkan Tuhan, inginkah kau kehilangan?” (D8844).
Ada satu hal yang membedakan seorang salik dengan yang lainnya. Seorang salik menempuh jalan ruhani dengan ilmu. Dengan ilmu, seorang salik akan mengetahui bahwa dasar pencarian Tuhan adalah ilmu. Ia akan sampai kepada Tuhannya dengan ilmu. Tanpa ilmu, amatlah musykil seorang salik akan sampai hingga bersama dengan tujuan hidupnya : Tuhan.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply