Para khilafahtisme (baca: penganut paham khilafah) saat ini masih gencar mempromosikan sistem khilafah kepada berbagai kalangan. Mereka terus menyuarakan dalam menegakkan khilafah dimuka bumi. Menurutnya, khilafah adalah suatu kewajiban yang harus ditegakkan.
Melaksanakan kewajiban ini sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya.
Simpatisan khilafah menggunakan dalil al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 30 tentang kewajiban menegakkan dan mendirikan khilafah.
Allah berfirman:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’
Al-Baqoroh: 30
Istilah khilafah mengacu kepada ayat tersebut berkenaan dengan penciptaan manusia dan menjadikannya khalifah di muka bumi. Mereka menafsirkan dalam kata “khalifah” disitu adalah menegakkan suatu pemerintahan yang didalamnya berlaku hukum-hukum Allah.
Maksud Ayat
Khilafahtisme mengutip penjelasan Imam al-Qurtuby dalam kitabnya menerangkan bahwa:
“Ayat ini merupakan dasar pengangkatan imam (pemimpin) dan khalifah yang perintahnya harus didengar dan ditaati, agar persatuan dapat terwujud karenanya dan hukum-hukumnya dapat terlaksana dengan kewajiban.”
Tidak ada khilaf (beda pendapat dikalangan ulama) tentang kewajiban pengangkatan imam (pemimpin) atau khalifah di kalangan umat Islam, juga di kalangan para imam, kecuali ada satu riwayat dari Al Asham.
“Namun dia adalah orang yang tidak mengerti syariat, begitu juga orang-orang yang berkata seperti perkataannya dan mengikuti pendapat juga madzhabnya.”
Berdasarkan penjelasan diatas, mereka mewajibkan penegakan sistem pemerintahan khilafah.
Dari sinilah terlihat kekeliruan mereka dalam menafsirkan makna “khalifah” yang ada dalam ayat diatas. Karena hanya memenggal penjelasan dari Imam al-Qurtuby dan tidak memahami lebih dalam terhadap apa yang dimaksudkan oleh beliau.
Mari kita lihat penjelasannya lebih lanjut yang ada di dalam kitab tafsir al-Qurtuby. Imam al-Qurtuby tidaklah sepakat atas apa yang di katakan oleh al-Asham. Ia menerangkan:
“Dalil bantahan kita atas pernyataan al-Asham diatas adalah firman Allah Swt. ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’(Qs. Al-Baqarah: 30), ‘Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi.’ (Qs. Shaad: 26), ‘Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi.’ (Qs. An-Nuur: 55).”
“Dalil lain adalah sikap Abu Bakar RA ketika hendak meninggal dunia. Dia menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Umar. Saat itu tidak ada seorangpun yang berkata, ‘ini adalah perkara yang tidak wajib atas kami juga atasmu.”
“Nah semua itu menunjukkan akan kewajiban pengangkatan imam/khalifah dan hal ini termasuk salah satu rukun dari rukun-rukun agama yang dengannya kaum muslimin akan Berjaya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Sampai disini sudah bisa kita tarik benang merah dari penjelasan Imam al-Qurtuby. Ada dua point utama, Pertama, Bahwasannya pengangkatan Imam/Khalifah itu adalah wajib. Dan semua ulama pun sepakat atas kewajiban dalam mengangkat seorang pemimpin.
Kedua, perlu dipertegas bahwa dalam penjelasannya, Imam al-Qurtuby tidak menjelaskan terkait penerapan sistem pemerintahan khilafah, apalagi mewajibkannya. Yang beliau tekankan disitu adalah kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah.
Sistem pemerintahan khilafah sama sekali tidak ada kaitannya dengan ayat ini. Para mufassir pun tidak ada yang mengatakan bahwa ayat ini merupakan seruan untuk menegakkan khilafah seperti yang diusung oleh para khilafahisme.
Agar kita tidak keliru dalam memahami kata khalifah dalam al-Qur’an, Prof. Quraish Shihab menjelaskan terkait dengan perbedaan makna khilafah dan khalifah di dalam al-Qur’an.
Perbedaan Makna Khilafah dan Khalifah
Beliau menjelaskan, Kata khalifah dan khilafah terambil dari kata khalaf yang artinya di belakang. Khalifah berati seorang yang datang dari belakang orang lain atau sesudah orang lain. Dalam al-Qur’an, kata khalifah ada dua makna.
Pertama, digunakan untuk menunjuk Adam sebagai khalifah di bumi. Maksudnya adalah semua manusia adalah khalifah. Manusia diharuskan untuk menjaga bumi beserta isinya agar tidak rusak.
Kedua, khalifah di dalam al-Qur’an digunakan untuk menunjukkan pengangkatan Nabi Daud sebagai penguasa. “kami menjadikanmu khalifah di bumi”. Maksudnya, khalifah dalam arti penguasa yang memiliki kekuasaan politik untuk mengatur masyarakat.
Khalifah dalam makna yang kedua ini bisa dipahami sebagai sistem pemerintahan. Tapi yang perlu digarisbawahi sistemnya sangat terbuka dan berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, antara satu masa dengan masa yang lain.
Intinya, khilafah adalah sistem pemerintahan, sementara khalifah adalah orang yang mengelola pemerintahan atau bumi secara umum. Seperti yang dikatakan tadi, sistem pemerintahan atau khilafah itu sendiri berbeda antara satu masyarakat dengan lainnya, antara satu negara dengan negara lainnya.
Khilafah bukan sistem pemerintah yang baku dan kaku. Ia perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan konteks dunia modern.
Relevansi Sistem Pemerintahan Khilafah di Era Modern
Terkait dengan relevansi nya sistem pemerintahan khilafah di dunia modern, Prof. Azyumardi Azra angkat bicara mengenai ini. Beliau menuturkan:
Gagasan khilafah di masa kontemporer menyerukan pembentukan satu kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di muka bumi ini; Sebuah gagasan yang dapat dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya.”
Lagipula, gagasan mengenai khilafah ini yang katanya untuk mempersatukan umat Islam justru memperkeruh masalah umat dan membuatnya semakin runcing akan konflik internal umat Islam.
Khususnya di Indonesia, upaya yang terus dilakukan oleh para khilafahisme untuk mengkampanyekan narasi ini malah memicu perpecahan dan pertengkaran baik di internal umat Islam maupun eksternal dari umat beragama lainnya.
Dasar negara pancasila itu sudah final untuk kebaikan seluruh umat beragama di Indonesia. Sehingga tidak perlu lagi ada usaha untuk mengganti sistem pemerintahan yang sudah disepakati para pendiri bangsa. Menyerukan berdirinya khilafah di Indonesia saya ibaratkan seperti menabuh gendang di perkampungan orang tengah malam, sungguh sangat mengganggu. Jadi, berhentilah menabung gendang.
Editor: Rubyanto
Leave a Reply