Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Rusaknya Agama Seiring Rusaknya Lingkungan

Lingkungan
Sumber: freepik.com

Pada dasawarsa terakhir ini, problem pencemaran lingkungan banyak mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Disebabkan karena pencemaran lingkungan merupakan isu global yang dampaknya menimpa dunia masa kini dan generasi masa mendatang. Begitu pentingnya, sehingga isu ini ikut berperan dalam menentukan jalannya percaturan politk di negara-negara tertentu.

Para ilmuwan sepakat bahwa, pencemaran lingkungan yang kira rasakan masa kini telah mencapai titik rawan yang meresahkan. Sehingga apabila hal ini berlanjut, malapetaka yang tak terletakkan akan menimpa kita dan generasi masa mendatang. Karena itu, manusia sebagai makhluk yang mendominasi alam ini harus mampu untuk mengubah sikap eksploitatif terhadap lingkungan menjadi sikap bersahabat dan melindungi lingkungan.

Agama dan Lingkungan

Professor Graham Parkes dari Universitas Hawwai, yang menekuni peran agama dalam mengatasi beberapa krisis budaya masa kini, meneliti tentang hubungan kebudayaan manusia dengan alam dan lingkungan. Parkes mengemukakan teorinya bahwa, pandangan keagamaan suatu kelompok masyarakat sangat berpengaruh dalam menentukkan sikap dan perilaku terhadap alam dan lingkungannya.

Teori ini tidak jauh dengan Max Weber, tentang pengaruh pandangan agama terhadap perilaku manusia. Max Weber menggarisbawahi pentingnya ide dalam membentuk budaya masyarakat. Weber, mengambil contoh kebangkitan semangat kapitalisme di Barat sebagai akibat dari pandangan keagaman yang terkandung dalam etika protestan. Kalau Weber menekankan bahwa konsep keagamaan menentukan sikap ekonomi suatu masyarakat, maka Parkes menekankan bahwa pandangan manusia terhadap alam atau lingkungan. Dan pada gilirannya, sikap seseorang terhadap lingkungan sangat dipegaruhi oleh pandangan keagamaannya.

Pendorong dan Pemicu

Kalau ditelusuri, kata Parkes, maka faktor utama terjadinya perusakan lingkungan adalah akibat penggunaan secara besar-besaran produk-produk teknologi modern. Dibalik dominasi teknologi mutakhir ini terletak pandangan keagamaan serta ideologi tertentu yang berperan sebagai pendorong dan pemicu sikap tidak bersahabat kepada alam atau lingkungan.

Bagi Parkes, ada 2 alur pemikiran mendasar sebagai landasan utama terbentuknya world view atau pandangan dunia di Barat yang mengakar kepada perilaku kurang bersahabat. Yang pertama, adalah latar belakang filsafat platonik yang menganggap alam nyata atau physical world tidak berwujud dalam kaitannya dengan alam rasional manusia. Yang kedua, adalah ajaran Yahudi-Kristen yang menempatkan alam dan lingkungan pada posisi yang lebih rendah dari martabat manusia.

Baca Juga  Hari Natal dan Persaudaraan Antara Umat Islam dan Kristen

Kedua landasan ideologis ini, lalu diperkuat oleh teori-teori modern yang dianut secara luas oleh manusia-manusia modern masa pencerahan (engligment) di Barat. Teori-teori tersebut antara lain adalah bahwa, jangankan pohon dan tumbuh-tumbuhan, bahkan binatang sekalipun tidak beragama. Sebagaimana dicetuskan oleh filosof Descartes.

Disamping itu, pandangan Newton yang menyatakan bahwa alam tabi’i (natural world) tidak lain hanyalah kumpulan partikel-partikel tanpa nyawa. Kombinasi dari pandangan hidup diatas mengantar bangsa-bangsa barat, memperlakukan alam sebagai lahan eksperimen dari objek bagi pencapaian kenikmatan dan kenyamanan dibumi.(Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, hal:159).

Berangkat dari asumsi diatas, yakni kegagalan agama dan budaya Barat untuk membentuk sikap bersahabat pada alam dan lingkungan. Parkes mengajak para ilmuwan dan budayawan serta pakar-pakar studi agama untuk berpaling kepada agama dan ideologi timur, teristimewa Budhisme, Taoisme, Konfusiunisme dan Shinto.

Bagi agama dan ideologi tersebut. Alam dan lingkungan tidak saja dinilai sakral yang mengandung unsur keTuhanan. Lebih dari itu, alam diyakini sebagai sumber dari segala bentuk kearifan.

***

Agama Shinto yang dianut oleh banyak orang jepang misalnya, meyakini bahwa tuhan berada dalam fenomena alam dan lingkungan. Alam jagat dalam ajaran Shinto didiami oleh shin (ruh) Tuhan. Gunung Fuji di Jepang oleh penganut Shinto sangat dijunjung karena merupakan salah satu tempat suci kediaman tuhan. Ajaran Budha yang direkam dalam kitab suci lotus sutra antara lain menunjuk bahwa pepohonan dan bumi memiliki semangat Budha, yakni kehidupan.

Malah, ketika ajaran sinkretisme atau perpaduan Budha dan Shinto, mengantarkan penganutnya untuk meyakini bahwa alam dan manusia merupakan anak keturunan tuhan. Demikian pula Taoisme dan Konfusiunisme yang masing-masing menekankan hubungan harmonis manusia dan alam. Salah satu buku klasik ajaran Konfusius, Chok menjelaskan bahwa langit dan bumi dinamakan orang tua agung yang memberi kehidupan dan mengamunisi kebutuhan hidup.

Baca Juga  Krisis Lingkungan dan Ecosophy Hossein Nasr

Ajaran-ajaran yang mengandung penghormatan tinggi pada alam diatas, kata Parkes, jelas membentuk watak penganutnya untuk tidak semena-mena memperlakukan alam dan lingkungannya semata untuk kepentingan pencapaian keuntungan material dan kenyamanan belaka. Karena itu, lanjut Parkes bahwa, semua manusia untuk mensosialisasikan atau menganut sikap keagamaan atau pandangan hidup agama-agama Timur untuk menyelesaikan persoalan pencemaran alam dan eksploitasi lingkungan hidup.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa, Allah swt menciptakan dunia dalam enam masa (Q.S. al-A’raf: 54 dan Q.S. Yunus: 3). Al-Qur’an juga mendeskripsikan tentang penciptaan adam dari tanah. Konsep khalifah (Q.S. al-An’am: 165) atau penanggung jawab dalam al-Qur’an adalah agar dapat dimanfaatkan oleh manusia. Namun, pemanfaatan ini harus dibarengi dengan tanggung jawab (Q.S. Yunus: 31).

Al-Qur’an antara lain menunjuk kepada konsep taskhir dan ikhtilaf sebagai acuan dalam membina interaksi manusia dengan alam. Taskhir berarti manusia diberi wewenang untuk menggunakan alam raya guna mencapai tujuan penciptannya sesuai dengan tuntunan ilahi. Al-Qur’an menegaskan bahwa, Allah menciptakan alam raya dan penghuninya dengan tujuan tertentu (Q.S. Sad: 27).

***

Adapun ikhtilaf berkaitan dengan penugasan Tuhan kepada manusia sebagai khalifah di bumi. Segala anugerah, kekayaan bahkan nyawa sekalipun, merupakan pemilikan sementara selama manusia hidup di bumi. Allah memberikan amanat kepada manusia yang berfungsi sebagai wakil Allah dimuka bumi adalah agar manusia tidak mengeksploitasi alam atau lingkungan, tetapi bertujuan untuk menciptakan interaksi harmonis dan kebersamaan dalam ketaatan kepada Allah.

Objek alam bukanlah musuh manusia yang harus ditaklukan sebagaimana mitos Yunani. Alam raya sejajar dan senasib dengan manusia dalam kedudukannya kepada Allah. Alam raya pun ikut mengangungkan Tuhan, walaupun manusia tidak dapat memahminya, (QS al-Hadid: 1, Q.S. Ar-Ra’d: 13, Q.S. al-Isra: 44). Bahkan binatang-binatang melata, unggas yang terbang, dan makhluk yang di air, kesemuanya merupakan komunitas seperti kalian (umamun amtsalkum) seru al-Qur’an.

Baca Juga  Tafsir Surah Hud Ayat 61: Menyelami Ekoteosentrisme

Kedua konsep diatas menahan atau memberi acuan, agar manusia tidak berbuat semena-mena. Apalagi melakukan perusakan dimuka bumi. Manusia harus bertindak sesuai dengan perannya sebagai khalifah dimuka bumi, yang menjaga keseimbangan dan keserasian dalam penciptaan nya agar tidak terjadi kerusakan.

Lebih lanjut, al-Qur’an menunjukkan betapa Allah swt menyejajarkan manusia dengan alam dalam kaitannya dengan perintah verbalnya. Dari perintah Allah yang ditujukan kepada alam untuk tunduk kepada ketentuan tuhan, al-Qur’an ingin menunjukkan bahwa; alam memiliki kepribadian yang patut dihormati (Q.S. Fussilat: 11).

Berdasarkan petunjuk al-Qur’an di atas jelas bahwa Islam sangat memperhatikan kesesuaian hubungan antar manusia dan alam. Ini menunjukkan agar tidak terjadi gangguan dalam sistem ekologis. Sebaliknya, kecaman terhadap perusakan dibumi berulang kali dijumpai dalam al-qur’an, (Q.S. al-Qasas: 77 dan Q.S. al-Baqarah: 60).

Nabi Muhammad saw sendiri dalam interaksinya dengan alam, hewan dan benda menunjukkan hubungan yang sangat manusiawi. Pedang, sandal, keledai, kuda sampai unta, semua beliau beri nama tertentu yng mengesankan suatu penghormatan dan kesejajaran.

***

Dari sini dapat diringkas bahwa, al-Qur’an sama sekali melarang tindakan eksploitatif terhadap alam dan sumber sumbernya. Manusia diperkanakan untuk memanfaatkan alam pada batas yang wajar dan tidak menganggu keserasian sistem ekologis. Apa yang kita saksikan berupa fenomena perusakan lingkungan masa kini, merupakan cerminan dari jurang yang melebar antara; idealitas ajaran Islam dan praktik dalam penganut kehidupannya.

Al Gore, yang dikenal sebagai aktivis dan peduli terhadap lingkungan mengatakan bahwa; “Lebih dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia. Lebih mantap pula keyakinan saya bahwa krisis ini tidak lain adalah suatu menifestasi nyata dari krisis agama kita”.

Editor: Ananul Nahari Hayunah