Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Risalah Imam Sya’rawi Kepada para Filsuf yang Beriman

Syarawi
Sumber: republika.com

Manusia pada hakikatnya mengemban tugas yang mulia serta dapat dikatakan berat. Allah Swt telah memilih kita sebagai manusia untuk menjadi penggantinya di bumi. Allah Swt tidak hanya memberikan kita tugas tanpa memberi persiapan, Dia menganugerahkan kepada kita akal, yang tiada dimiliki oleh mahluk-mahluk-Nya yang lain. Sudah jelas bagi kita bahwa manusia dianugerahi akal adalah untuk memikirkan ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta. Allah telah menetapkan hukum-hukum-Nya bagi alam sehingga manusia dengan akalnya dapat memahami. Setidaknya ada dua tugas utama dari akal manusia menurut Imam Mutawalli Sya’rawi yaitu mencari kebenaran dan mencari kebijaksanaan.

Kebenaran

Salah satu fitrah akal manusia adalah menuntun manusia kepada kebenaran. Meskipun demikian, terjadi perdebatan terhadap jenis, sifat, tingkat, serta sejauh mana manusia bisa sampai kepada kebenaran. Diskursus yang paling mutakhir dalam upaya mencari kebenaran oleh manusia terjebak pada apa yang disebut sebagai relativisme.

Relativisme adalah paham tentang kebenaran yang beraneka wajah. Kebenaran bukanlah suatu yang independent dari peristiwa akan tetapi lahir dari sudut pandang seseorang. ‘hal itu mungkin benar bagimu, tapi itu salah bagiku’ ucapan yang akan sering kita dengar dewasa ini.

Kebijaksanaan

Salah satu tugas akal manusia yang banyak dilupakan sekarang ini adalah mencapai kebijaksanaan, sebenarnya usaha mencari kebijaksanaan lahir bersama dengan usaha mencari kebenaran. Sebagaimana kita bisa melihat bahwa filsafat lahir bersamaan dengan ilmu pengetahuan di Yunani (versi barat). Filsafat dalam makna bahasanya adalah cinta kepada kebijaksanaan, dalam satu versi sejarah, filsafat lahir sebagai reaksi terhadap kaum sofis yang suka mempermainkan kebenaran lewat bahasa. Oleh karena itu para ahli filsafat atau filsuf berusaha untuk mencari kebijaksanaan alih-alih terjebak dalam permainan kebenaran kaum sofis. Lantas apa hubungan antara kebijaksanaan dan kebenaran?

Baca Juga  Ikhwan al-Shafa’ dan Upaya Rekonsiliasi Agama dan Filsafat

Sederhana saja, manusia memperoleh pengetahuan dari pembelajaran dan pengamatan. Pengetahuan dan kebenaran adalah suatu hal yang dimiliki oleh manusia akan tetapi penggunaan dan sikap manusia terhadapnya tidak bisa ditentukan oleh pengetahuan itu sendiri. Kita memerlukan sesuatu yang melampaui pengetahuan dan kebenaran tersebut. Itulah kebijaksanaan.

Sebagai contoh, kita memiliki teman yang memiliki keterbatasan fisik, hal tersebut adalah kebenaran. Ketika suatu kesempataan kita disuruh untuk memperkenalkan teman kita maka tidak akan bijak bila kita memaparkan keterbatasan fisiknya. Itulah kebijaksanaan yaitu ketika kita dihadapkan kepada pilihan untuk bersikap atas pengetahuan tersebut. Manusia boleh bergelut dalam kebenaran, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita bersikap terhadap suatu kebenaran dengan bijaksana.

Kebijaksanaan adalah hal yang dibawa oleh agama Islam lewat perantara Rasul ﷺ , ‘…yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka…’ Islam tidak hanya mengajarkan manusia tentang pengetahuan-pengetahuan akan tetapi juga hikmah-hikmah dalam ajarannya.

Meskipun akal adalah anugerah yang istimewa dari Allah Swt, sebenarnya akal juga menyiratkan keterbatasan dalam diri manusia. Manusia sebagai mahluk yang diberi akal tidak boleh menyombongkan dirinya, hal ini karena pada dasarnya akal manusia terbatas.

Keimanan

Salah satu hal yang dapat menunjukkan keterbatasan akal adalah ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an. Sebagai contoh, lafaz Alif lam mim adalah realitas yang tidak dapat dipikirkan kebenarannya oleh manusia dan mereka dengan akalnya hanya berusaha menduga-duganya lewat tafsir.

Di sinilah iman kita mengemban tugasnya untuk memahami realitas-realitas yang tidak dapat kita pikirkan dengan akal. Rasulullah berpesan kepada kita sebagaimana dalam tafsir ibnu Katsir agar kita mengimani ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an.

Baca Juga  Muhammad Abduh (2): Sikap Terhadap Tafsir Klasik

Sya’rawi mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah ujian bagi keimanan. Sebagai contoh, Rasulullah ﷺ menyeru kita untuk menyentuh Hajar aswad dan menciumnya, serta melempar jumrah kepada sesuatu yang diibaratkan sebagai iblis. Kedua benda tersebut adalah batu, akan tetapi kita mengikutinya dengan dasar keimanan (rasa percaya).

Sebenarnya akal juga menjadi ujian bagi keimanan kita. Jika kita menyandarkan seluruh pemahaman terhadap realitas kepada akal, maka kita menyembah akal. Sedangkan Allah menginginkan kita untuk menerima segala sesuatu sebagai ketetapan-Nya.

Ketetapan-ketetapan Allah memang dapat didekati dengan nilai hikmah. Seperti larangan meminum khamr mengandung hikmah bagi Kesehatan, kenyamanan sosial dan ekonomi. Akan tetapi menurut Sya’rawi hikmah tidak boleh didahulukan dari rasa iman. Kita tidak mungkin menunda pelaksanaan ajaran Allah hanya karena kita belum mengetahui hikmah dari ketetapan-ketetapan-Nya. Apa yang harus kita yakini adalah bahwa setiap ketetapan Allah Swt pasti memiliki hikmah meskipun kita mengetahuinya atau tidak.

Seorang ahli makrifat berkata: “Akal itu layaknya tunggangan yang mengantarkan kita ke pintu raja, akan tetapi ia tidak turut masuk bersamamu”

Akhir kata, Imam Sya’rawi berpesan kepada kita sebagai intelektual atau filsof Muslim agar senantiasa menempatkan rasa keimanan diatas kebenaran dan kebijaksanaan. Syariat diturunkan kepada kita sebagai petunjuk bagi akal yang terbatas dan hikmah yang belum kita pahami sepenuhnya.

Editor: An-Najmi Fikri R